Kultur Pecundang: Rahasia Kehebatan Pelatih-Pelatih Italia

Kultur Pecundang: Rahasia Kehebatan Pelatih-Pelatih Italia

- Sepakbola
Kamis, 23 Jan 2014 14:09 WIB
Kultur Pecundang: Rahasia Kehebatan Pelatih-Pelatih Italia
Jakarta - Dalam hal pemecatan pelatih, Serie A adalah juaranya. Dalam empat musim terakhir, jumlah pelatih yang dipecat di Serie A selalu unggul jauh ketimbang Premier League, Bundesliga, maupun La Liga.

Sepanjang bergulirnya kompetisi 2010-2012 di Italia, tercatat sudah 34 pelatih dipecat. Angka ini berbanding jauh ketimbang Jerman (27), Spanyol (26), dan Inggris (17).

Jumlah itu belum ditambah dengan angka-angka yang terus bertambah pada musim ini. Baru memasuki giornata ke-20, sembilan pelatih telah jadi korban. Vladimir Petkovic (Lazio) dan Massimiliano Allegri (AC Milan) adalah bagian kecil dari cerita itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah hal ini menandakan bahwa Serie A adalah kompetisi terketat hingga menuntut hasil maksimal dan tak mentolerir kekalahan? Pendapat itu bisa saja diterima. Tapi nyatanya tak hanya Serie A yang mengalami fenomena ini.

Kompetisi nomor dua sekelas Serie B pun mencatatkan jumlah angka pemecatan yang relatif sama, atau bahkan lebih tinggi dari Serie A. Bila dirata-ratakan tiap musim, kurang lebih 12 pelatih di Serie B pasti dipaksa turun sebelum kompetisi usai. Ini sebuah angka yang amat tinggi jika dibandingkan dengan liga-liga lain di Eropa, yang rata-ratanya hanya memecat enam pelatih tiap musimnya.

Lantas dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa klub-klub Italia, entah apapun levelnya, memang doyan dalam urusan pecat-memecat pelatih. Tak percaya? Cobalah cek daftar pelatih klub Italia sepanjang sejarah klub mereka berdiri.

Kebanyakan pelatih datang dan pergi dalam waktu yang singkat. Paling banter 1-2 tahun. Jika ada yang bertahan lebih dari 2 tahun, itu hanya minoritas dengan presentase teramat kecil.

Rekor pelatih terlama pun mungkin dipegang Carlo Ancelloti yang membesut AC Milan selama 9 musim. Di Italia, periode waktu selama itu adalah sesuatu yang wah! Namun, jika bergeser sedikit ke Inggris, pengabdian Ancelloti itu tak tentu ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Alex Ferguson bersama MU, ataupun Bill Shankly dengan Liverpool.

Keberlangsungan Ancelloti dan AC Milan 100% tentu dikarenakan oleh faktor piala. Total sembilan piala dipersembahkan Ancelloti kepada AC Milan, termasuk dua gelar Liga Champions. Maka beruntunglah David Moyes, yang membesut tim selama 11 tahun (Everton) tanpa memberikan gelar apapun, tapi tak pernah diapa-apakan. Keberuntungan Moyes adalah cerita dongeng yang tak akan pernah terjadi di Italia.

Lebih dari Sekadar Tabel Klasemen

Ada sebuah fakta menarik lain terkait fenomena pemecatan allenatore. Tercatat, bahwa tolok ukur pemecatan yang terjadi di Italia, tak hanya semata dilihat dari hasil di tabel papan klasemen.

Di Inggris, Jerman, ataupun Spanyol, lazimnya pelatih yang diturunkan secara paksa adalah pelatih yang klubnya merongsok ke zona (rawan) degradasi. Atau, contoh lainnya adalah klub-klub besar, yang pada awal musim menggelontorkan dana banyak, tapi hasil nyatanya tak tampak di peringkat liga. Di Italia, cerita itu kadang berbeda.

Coba tengok apa yang menimpa Luigi Di Canio bersama Genoa musim lalu. Secara mengejutkan, presiden klub Enrico Peziosi memecat Di Canio dengan dalih Genoa hanya mampu menang dua kali, seri tiga kali dan kalah dua kali. Artinya Di Canio hanya dinilai performarnya dalam tujuh pertandingan!

Ini pemecatan yang cukup aneh karena kala itu posisi Genoa pada klasemen tak buruk-buruk amat. Klub itu pun mampu bertenger pada posisi 10 klasemen – jauh dari zona degradasi.

Hal serupa juga dialami Massimo Ficcadenti bersama Cagliari pada musim 2011/2012. Ia dipecat karena Cagliari kalah dua kali beruntun dari Lazio dan Atalanta. Padahal posisi Cagliari pada tabel klasemen berada di papan tengah. Nasib ini tak hanya dialami oleh Di Canio dan Ficcadenti. Dalam waktu empat tahun terakhir, tercatat Alberto Malessani, Mangia Devis, dan Delio Rossi pernah merasakan hal sama.

Data pemecatan pelatih sepanjang lima musim terakhir pun menunjukkan sebuah hasil yang cukup menarik. Hampir 70% pergantian pelatih selalu berujung kegagalan, yaitu posisi klasemen yang tetap atau mungkin malah melorot makin tajam pada akhir musim.

Karena Kultur Adalah Segalanya

Pemecatan pelatih yang berujung pada penurunan prestasi ini nyatanya tak menciutkan para pemilik klub untuk tetap keukeuh melakukan perjudian. Lantas mengapa "fenomena" ini bisa terus terjadi?

Kecenderungannya, kondisi ini bukanlah "fenomena" melainkan bagian dari sebuah "budaya". Budaya sepakbola Italia memandang hasil akhir adalah segalanya. Sepakbola dilihat dari satu ukuran statistik: menang atau kalah. Gialuca Vialli dalam buku The Italian Job memberikan komparasi menarik terkait budaya sepakbola Italia ini. Kali ini ia membandingkannya dengan Inggris, negara sepakbola modern berasal.

Dalam bukunya itu Vialli menganalogikan kultur kedua negara ini dengan dua petinju amatir. Sebut saja petinju A dan petinju B.

Saat bertanding, petinju A adalah petarung yang agresif. Ia akan menyerang lawannya tanpa ampun. Pertahanan terbaik adalah menyerang, itulah filosofi yang diembannya. Di atas ring, petinju A ingin menunjukan hasil latihan kerasnya sepanjang tahun kepada penonton. Ia bertarung memakai hati.

Lain hal dengan petinju B. Saat bertarung, ia lebih bersabar. Badannya melenggak meliuk menahan segala gempuran. Orang akan jemu dan kelu meliat tingkahnya yang enggan menyerang. Ia menunggu momen yang pas, hingga akhirnya hook matang ia hantamkan kepada lawannya. Si petinju B bertarung memakai otak dan menggunakan kalkulasi.

Bagi petinju A, menang dan kalah adalah dinamika kehidupan. Maka ia siap menanggung segala konsekuensi dari sebuah pertarungan: jadi pemenang atau pecundang sama saja. Hal yang paling penting adalah bertarung dengan hati.

Ini berbanding terbalik dengan petinju B. Baginya, pertarungan adalah bagian dari hidup dan mati. Karena itu, ia pikirkan segala cara agar tetap terus bertahan hidup, tak peduli apapun caranya dan ketidaksukaan orang padanya.Toh dalam benaknya hasil lebih dihargai orang daripada proses.

Pasti Anda sudah bisa menebak mana petinju yang merepresentasikan sepakbola Italia, bukan?

Budaya yang Berujung Fenomena

Dari analogi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa: "di Italia sepakbola adalah pekerjaan, sementara di Inggris sepakbola adalah permainan". Demikian kata Vialli. "Inggris bermain dengan hati, Italia bermain dengan otak" pun lalu jadi tagline ciri khas buku The Italian Job itu.

Di Italia, fakta bahwa para gladiator berdarah-darah di atas lapangan hijau atau mati-matian berusaha merebut kemenangan, jadi satu hal yang diabaikan. Jika hasil akhir tak berpihak, maka mereka tetap saja pecundang. Tak ada waktu untuk bermain-main di balik kedok "masa pembelajaran".

Meski terdengar kejam, dari kultur seperti inilah banyak pelatih hebat lahir: para pelatih yang belajar dari kegagalan mereka. Status pecundang mereka memiliki batas waktu, dan bahkan akan terhapuskan jika mereka mampu mengangkat prestasi klub baru. Para pecundang di Italia memang datang dan pergi.

Demikian pula dengan klub yang tak begitu lama-lama mengingat atau mendendam pada para pecundang. Dipecat sebagai pelatih pun bukanlah aib yang terlalu berat-berat amat. Marcello Lippi, Carlo Ancelotti, Giovanni Trapattoni, Fabio Capello pun pernah merasakan jadi seorang pecundang.

Tingginya angka pemecatan pelatih njuga membuat presentase pekerjaan pelatih selalu terbuka lebar di Italia. Jika tidak, bagaimana mungkin Gian Piero Gasperini, yang dipecat dari klub gurem Genoa, bisa ditampung oleh klub besar semacam Inter Milan?

Budaya Italia membuka peluang itu. Ada sebuah adagium yang berkata bahwa pelatih yang berbuat salah belum tentu seorang pelatih yang buruk. Italia betul-betul menghargai pelatih yang mengamalkan pepatah lama "Anda akan belajar lebih dalam dari kekalahan, daripada kemenangan". Jadi, manajer yang baik adalah manajer yang selalu belajar dari kekalahan.

Pengaruh Faktor 'O' terhadap Taktik

Nasib para allenatore di Italia memang 100% dikontrol oleh pemilik klub. Tetapi, justru arogansi pemilik-pemilik inilah yang membuat nasib pelatih sulit diterka. Hal ini tak lain karena kebijakan standar ganda yang dilakukan owner pada allenatore.

Jika hubungan sang pemilik dengan pelatih masih berjalan mesra, maka kalah 5-6 kali beruntun masih bisa ditoleransi. Lain hal jika keduanya tak lagi mesra. Siap-siap saja dipecat dengan alasan yang tak masuk logika.

Sistemlah yang membuat kekuatan pemilik tak terbendung. Di Inggris, pemecatan pelatih biasanya dipertimbangkan secara matang, karena efek yang didapat sangat berpengaruh pada klub. Pelatih di Inggris memilik tugas dan peran yang rumit, mulai dari mengurusi akademi, transfer, hingga kontrak pemain. Akibatnya, saat pelatih berganti, sistem pun mau tak mau menyesuaikan diri.

Di Italia allenatore hanya mengurusi bagaimana cara menang di lapangan tok! Karenanya, tak ada rasa bersalah jika sang pemilik melakukan pemecatan pelatih. Sistem dan fondasi klub masih tetap kokoh. Masih tetap berada di tangan seorang direktur teknik.

Tapi ada sebuah pertanyaan menarik. Lantas bagaimana dengan taktik dan srategi pada tim senior, jika pelatihnya selalu gonta-ganti?

Kalau pun Sun Tzu masih hidup, para pelatih Italia mungkin yang akan paling antusias berdiskusi dengannya. Dalam menerapkan taktik, Sun Tzu menyarankan pendekatan yang berdasarkan kualitas dan karakteristik lawan. Inilah ciri dari sepakbola Italia: variasi dan fleksibilitas taktik. Tak ada satu strategi yang paling unggul.

Di Italia, para pelatih menggunakan banyak sistem yang berbeda. Sistem ini yang kadang dikritik oleh pesepakbola di luar Italia. "Fleksibilitas taktis selalu dikritik negatif dan sering dikaitkan dengan sikap reaktif. Asumsi dasar di masyarakat adalah bahwa yang lemah adalah yang reaktif, sementara yang kuat proaktif. Tapi, ketika seorang pelatih Italia melakukan perubahan formasi, ini bukan hanya sekadar reaktif atau proaktif, tapi sedang mencari sebuah solusi," bela Vialli menyikapi kritikan tersebut.

Flesibilitas taktik ini yang membuat seorang pemain harus bisa seadaptif mungkin terhadap sebuah sistem. Lantas, ketika pelatih baru datang dan mengobrak-ngabrik sistem yang ada, itu bukan masalah berarti bagi pemain. Kalaupun taktik itu bermasalah, adalah pelatih yang menjadi pecundangnya, bukan si pemain.

Lalu, musim ini siapa yang ingin menyusul jadi pecundang?


====

* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball




(a2s/roz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads