Lambat laun, semua berubah. Sepakbola telah menjadi alat politik paling efektif bagi rakyat. Bagi rakyat yang hendak menyuarakan asipirasinya, mereka akan datang ke stadion. Karena masyarakat sadar, bahwa tidak semua dari mereka bisa memperjuangkan hak-haknya di meja-meja parlemen.
Lambat laun, semua berubah. Sepakbola dijadikan kendaraan politik bagi mereka yang berkuasa, lewat kelompok-kelompok kepentingan. Oleh mereka yang terlalu dekat dengan sepakbola.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anelka Kena Batunya
Di tengah sepinya bursa transfer, menyeruak kisah dari Nicolas Anelka, striker West Bromwich Albion. Selepas mencetak gol ke gawang West Ham, 28 Desember 2013, Anelka melakukan selebrasi yang dinilai sebagai tindakan ofensif. Selebrasinya dianggap sebagai sebuah selebrasi quenelle, meletakkan satu tangan pada pangkal lengan satunya.
Meski gerakan yang dilakukan pada quenelle sendiri terlihat "biasa-biasa" saja dan semula kurang populer, tapi gestur itu dihubung-hubungkan dengan mantan pembesar Jerman, Adolf Hitler. Padahal, arti harafiah dari quenelle sendiri adalah makanan sejenis donut yang terbuat dari campuran ikan atau daging.

Gestur Anelka katanya terkait dengan Nazi, dan dianggap melecehkan kaum Yahudi. Ya, tindakan Anelka tersebut dianggap sebagai tindakan anti-semitisme. Sebuah tindakan anti-yahudi.
Anelka berkilah. Selebrasi tersebut ia dedikasikan untuk sahabatnya Dieudonne M'bala M'bala, seorang seniman, komedian, dan politikus Prancis. Memang, M'bala M'bala-lah yang pertama kalinya menciptakan dan memperkenalkan quenelle pada publik, pada tahun 2005 silam.
Baik M'bala M'bala maupun Anelka pernah berdalih atas makna salam itu. Menurut mereka, yang menjadi target quenelle adalah para pemilik kemapanan. Tapi itupun sebenarnya hanya bentuk kritikan lain pada kaum Yahudi. Selama ini, yang identik dekat dengan kemapanan dan tampuk kekuasaan, memang Yahudi.
Lantaran sering tampil di depan publik dengan gestur quenelle, Dieudonne;esendiri dicekal oleh pemerintah Prancis. Tuduhannya: anti-semitisme. Selebrasi Anelka yang didedikasikan untuk sahabatnya juga menuai protes.
FA telah melakukan investigasi. Hukuman untuk Anelka akan datang sebentar lagi. Gaya perayaan Anelka dinilai bermuatan politik, sementara FA dan institusi-institusi sepakbola lainnya melarang muatan politik dalam sepakbola. Anelka bersalah!
Anelka dianggap tidak mengamalkan slogan-slogan seperti, respect, kick politic out of football. Anelka telah melanggar HAM, karena Anelka mendukung Nazi yang telah melakukan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi.
Tapi efek dari kasus ini tak hanya berimbas pada Anelka. Karena ulah pemainnya itu, West Bromwich Albion pun akan mendapat ganjaran. Mereka diputus oleh salah satu sponsor mereka, Zoopla.
Meskipun tetap akan mendanai WBA sampai akhir musim, Zoopla telah menjatuhkan vonisnya dan menarik diri dari The Baggies. Ini karena WBA jutru acuh atas peringatan keras dari pihak sponsor untuk tak menyertakan Anelka dalam laga-laga WBA. Hasilnya, pada akhir musim, kerja sama Zoopla dengan WBA pun akan terputus.
Hal yang wajar, karena perusahaan search engine property tersebut milik seorang keturunan Yahudi, Alex Chesterman. Tentu pemilik tersebut sangat tersinggung atas tindakan Anelka yang dianggap anti-semitisme.
FA pun tak tinggal diam. FA langsung melakukan investigasi atas tindakan Anelka. Menurut FA, Anelka telah membawa aroma politik dalam sepakbola. Dan itu tentu dilarang. Di belahan dunia manapun, sepakbola harus bersih dari politik. Seolah sudah menjadi keharusan, investigasi FA pun harus berujung sanksi.
FA Turut Serta
Jika induk semangnya (baca: FIFA) saja berpolitik dan sangat dekat dengan para penguasa, tak heran jika FA pun demikian. Maklum, FA juga merupakan bagian kecil dari rezim yang telah dibangun FIFA. Alhasil apa yang dilakukan FA juga tak ubahnya dengan apa yang dilakukan FA.
Begitupun dengan apa yang menimpa Anelka. FA sepertinya kebakaran jenggot dengan kelakuan Anelka. Sebagaimana menanggapi kasus Suarez dan kasus-kasus non-sepakbola lainnya, FA begitu reaktif. Apalagi sang pelaku adalah warga non-Inggris. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada perlakukan berbeda bagi pemain asing yang dikasuskan FA.

Hanya dalam waktu relatif singkat –kurang lebih tiga hari—kata quenelle pun demikian populer. Pada 28 Desember 2013, Anelka melakukan gestur quenelle. Sementara pada 30 Desember 2013, quenelle sudah jadi kata ketiga yang paling sering dicari artinya di Google.
Dengan mati-matian menggertak Anelka, FA ingin sekali terlihat netral. Ingin tampak sebagai garda depan dalam membasmi politik dalam sepakbola. Dan FA pun tampaknya ingin menjadikan dirinya sebagai percontohan dalam mengelola sepakbola yang bersih.
Jika federasi sepakbola Spanyol hanya memberikan hukuman denda pada Kanoute atas dukungan untuk Palestinanya, FA ingin tampil lebih galak lagi. Ancaman tidak boleh bertanding selama lima pertandingan pun disebut-sebut sebagai hukuman minimal untuk Anelka. Hukuman ini lebih berat ketimbang Ryan Shawcross yang dilarang main selama tiga laga, karena mematahkan kaki Aaron Ramsey.
Namun tampaknya FA keliru. Setelah tindakan reaktifnya ini kita semua justru tahu kemana tendensi politik FA.
"Ya, ada beberapa orang yang memanfaaatkan nama besar pada olahraga ini, hanya untuk mempromosikan diri mereka sendiri. Ada orang yang hanya muncul di even besar, bukan karena mereka mencintai olahraga ini, namun karena mereka ingin terlihat ada di sana," begitu tutur Arsene Wenger menanggapi terlalu politisnya Liga Inggris.
Maybe The Jokes Are On Us
Pada dua bagian narasi tentang FA dan Anelka di atas, sebenarnya cerita terlihat "mengalir" dengan baik. Ada pemain yang bermasalah, dan ada FA serta media Inggris yang ingin menunjukkan taring kekuasaannya. Ada diskusi tentang bagaimana badan otoritas sepakbola yang (lagi-lagi) menunjukkan sikap politiknya lewat jargon "kick politic out of football" (baca artikel: "Depolitisasi Sepakbola").
Tapi kita belum sampai pada narasi ketiga, yaitu di balik kekisruhan quenelle ini, hanya ada satu pihak yang tertawa bahagia: Dieudonne M'bala M'bala.
Si pencipta gestur

Melalui Anelka dan kasusnyalah M'bala M'bala kini berhasil menambah pengaruhnya. Melalui media-media yang mengangkat quenelle-lah, maka jutaan orang mulai meng-google namanya. Ironis. Keinginan FA dan media untuk mendidik publik akan gesture quenelle, justru jadi pemicu yang membuat quenelle lebih terkenal lagi.
Lebih buruk lagi, M'bala M'bala kini berusaha untuk mengkapitalisasi terkenalnya quenelle ini. Salah satu stasiun televisi, France 24, mengabarkan bahwa istri M'bala M'bala sedang mendaftarkan quenelle kepada lembaga hak cipta dan properti di Prancis. M'bala M'bala juga akan meluncurkan merchandise bertemakan quenelle, seperti gelas, gantungan kunci, dan pernak-pernik lainnya.
"Quenelle tidak lagi milik saya. Quenelle adalah milik revolusi," ujar M'bala M'bala.
Jika ucapan ini terdengar seperti lelucon, mungkin memang iya. Alih-alih dikendarai oleh politik, mungkin kali ini sepakbola dikemudikan oleh seorang komedian yang menyatakan dirinya sebagai anti-zionist.
Pada satu sisi, M'bala M'bala seolah telah mengembalikan sepakbola pada khitahnya sebagai suatu hiburan jenaka. Sebagai suatu "permainan". Tapi ini dilakukan atas nama mereka-mereka yang dibantai Nazi puluhan tahun lalu.
Lalu, jika M'bala M'bala pemenangnya, yang kalah mungkin kita.
====
* Akun twitter penulis: @SigtPrasetyo dari @panditfootball
(a2s/din)