"... takut saya bukan kepada teror suporter. Tetapi lebih kepada saya merasa tidak mampu membohongi diri saya, kalau saya sangat mencintai Persija." (Bambang Pamungkas)
Kali pertama Bambang Pamungkas membobol gawang Persija jakarta, ia tak menitikkan air mata. Tak ada tangis sesenggukan seperti Gabriel Batistuta kala mencetak gol pertama ke gawang Fiorentina. Tak ada pula emosi teramat dalam yang membuat Fabrizio Miccoli harus diganti pada jeda turun minum ketika ia membobol gawang Lecce, klub yang diakui Miccoli sebagai "cinta sejatinya".
Dalam raut wajah Bepe memang tak ada duka mendalam. Dalam momen beberapa detik yang tertangkap kamera, Bepe malah terlihat bingung berekspresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hatinya sunyi.
Striker yang kini membela Pelita Bandung Raya (PBR) itu seolah tak percaya. Momen yang dinantikan dan disiapkannya akhirnya benar-benar datang; membobol gawang Persija. Klub yang telah memenangkan hatinya. Sosok mantan yang masih ia cintai. Dan entah berapa kali Bepe telah memutar skenario "buruk" itu dalam benaknya, tapi ia tetap terlihat tak siap.
Kemudian, dengan cerdik, disembunyikannya wajah bingung itu ke bahu demi bahu rekan-rekannya yang menghampirinya untuk memberi selamat dan menghiburnya. Sebagaimana Batistuta menyembunyikan air matanya pada bahu kawannya di Roma, dan sebagaimana Miccoli yang juga dilindungi oleh bahu demi bahu para punggawa Palermo.
Mungkin ini salah satu sisi the beautiful game. Tersisip kebaikan-kebaikan lembut di antara kentalnya aroma maskulinitas dan keinginan untuk menang.
Gol pertama Bepe untuk PBR, gol kala ia pertama kali starter, sekaligus gol pertama ke gawang Persija itu menjadi sejarah tersendiri baginya. Jika saja Bepe ingin menulis buku keduanya, mungkin kira-kira begini catatannya:
"Stadion Si Jalak Harupat, Senin (17/02), menit 39, memanfaatkan assist Gaston Castano, saya yang berbaju PBR mencetak gol pertama ke gawang klub yang selalu saya cintai, Persija Jakarta. Usai gol saya bingung sepersekian detik menyikapinya."

Tapi ekspresi datar dalam gol itu seolah menjawab semua pertanyaan pada Bepe akhir-akhir ini. Pertanyaan tentang profisionalismenya dan tentang ia yang belum habis setelah hampir semusim absen.
Ini pertanyaan-pertanyaan yang sangat dibencinya, dan konon menjadi salah satu alasan mengapa ia kemudian menjaga jarak dengan jurnalis. Seperti diungkapkannya pada buku "Bepe20 Ketika Jemariku Menari", pertanyaan yang ingin sekali ia jawab dengan:
"Ffuh, sangat menyebalkan!"
Pertanyaan itu juga membuat Bepe sampai merasa perlu menuliskan bab "Tidak Ada yang Perlu Dibuktikan"dalam bukunya tersebut.
Ya, ekspresi datar itu adalah tanda dari Bepe kalau ia tidak perlu membuktikan apa-apa. Gol itu adalah murni karena khittah-nya sebagai seorang striker. Bepe seolah mengulang lagi pernyataan Mario Balotelli, yang juga pernah tak merayakan gol seusai membobol gawang Jerman.
"Ketika mencetak gol, saya tak merayakannya, karena saya hanya melakukan tugas saya. Ketika seorang tukang pos mengantarkan surat, apakah ia merayakannya?" ujar Mario.
Tapi gol ke gawang Persija ternyata tak berhenti di situ. Pada babak kedua, Bepe kembali melukai "Macan Kemayoran" kebanggaannya. Namun, kali ini, ia tak bingung lagi untuk menyikapi golnya.
Bepe berlari ke samping dan menengadahkan wajahnya ke atas tanda bersyukur. Ia juga mulai berani berekspresi teatrikal, yang terkesan sudah ia siapkan dalam benaknya. Mengernyitkan wajah, meringis, seperti melepaskan rasa sakit dan takut yang hebat sangat.
Barulah kali itu ekspresi Bepe mirip dengan apa yang dilakukan Batistuta. Walau tetap tanpa berlinang air mata, ekspresi Bepe tetaplah bisa dipadankan dengan istilah komentator Italia menyebut ekspresi Batistuta kala itu, "un gesto bellissimo". Sebuah ekspresi yang indah.
Kepindahan pemain ke klub lain dan kemudian melawan mantan klubnya lumrah terjadi. Kalau kemudian dimusuhi, dicap pengkhianat dan sejenisnya, itu sudah risiko. Tapi dalam kasus Bepe, kepindahannya ke PBR sangat dimaklumi suporter Persija, The Jakmania. Bepe terpaksa pergi karena buntut krisis finansial.
Jakmania mahfum terhadap keputusan striker yang lebih dari satu dasawarsa membela klub tersebut. Ibaratnya, Bepe sudah mencapai level "ningrat" di sana. Bertindak apapun, sang suporter tetap memuja. Kalau boleh memplesetkan sebuah judul film, jebolan Diklat Salatiga ini adalah "Prince of Persija".
Keningratan Bepe di Persija itu direfleksikan oleh Jakmania yang datang ke Bandung kemarin. Mereka tetap setia memberi applaus serta suitan kagum kala Bepe mencetak gol. Bukan cemoohan, seringai atau booo yang terdengar.
Malah, usai pertandingan, sang Prince of Persija pun membalas dengan lambaian ibu jari dan telunjuk khas The Jak. Indah bagi mereka, karena terjadi di Bandung yang merupakan kota sang rival.
Bukan hanya kemarin Bepe beromantis-romantis dengan The Jak. Ada yang lebih romantis lagi.
Di dalam "Surat Untuk The Jakmania" sang legenda menuliskan kecintaannya pada para pemujanya. "... sejujurnya darah saya berwarna oranye dan di hati saya hanya ada Persija. Saya mengerti Jakmania sangat mencintai saya dan begitu pun sebaliknya. Saya merasa Jakmania sudah menjadi bagian dalam hidup saya," bunyi penggalan surat yang tertuang di bukunya. Surat itu ditulis Bepe pada 1 Januari 2005, sebelum ia akan hijrah ke Selangor FC, Malaysia.
Dua gol, meski pertandingan berakhir seri, menunjukkan kalau Bepe seorang pemenang dan juara. Teknik dan mentalnya mampu mengalahkan kecamuk emosi di hatinya. Pembuktian profesionalisme yang tak perlu dipertanyakan lagi pada Bepe. Karena ia memang tidak perlu membuktikan apa pun dan pada siapa pun.
Bambang tetaplah seorang Bambang yang menjadikan bola sebagai senjata Pamungkas kala mendapatkan umpan dan kesempatan.
Ekspresi gol pertamanya, romantisme dengan suporter, buku yang dituliskannya seharusnya membuat kita tak perlu bertanya-tanya lagi padanya. Bepe sudah sangat jelas menunjukkan bahwa sepakbola, lebih dari sekadar pertandingan olahraga.
====
* Foto-foto: ANTARA/Fahrul Jayadiputra
* Akun twitter penulis: @fjrhman dari @panditfootball
(a2s/krs)