Salah Paham Soal Postur Tubuh dalam Sepakbola

Salah Paham Soal Postur Tubuh dalam Sepakbola

- Sepakbola
Rabu, 19 Feb 2014 16:12 WIB
Ilustrasi: Alex Livesey/Getty Images
Jakarta -


"Gol pertama tadi terjadi karena postur pemain belakang Indonesia kalah tinggi dari postur striker lawan, Bung!"

"Lagi-lagi crossing pemain kita dimentahkan bek-bek lawan yang memiliki postur lebih besar."

Sebagian dari kita mungkin sudah bosan dengan kalimat-kalimat seperti di atas. Klise yang terus-menerus direproduksi memang tak enak untuk selalu didengarkan. Cukup jelas, tim nasional kita terpuruk bukan sekadar karena perbedaan postur yang njomplang dengan pemain lawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa bedanya postur pemain Indonesia dengan postur pemain Malaysia atau Thailand, dua tetangga yang sudah menggondol trofi Piala Tiger/Piala AFF, sementara kita sekali pun tak pernah? Bukankah pemain-pemain Jepang juga bertanding dengan pemain-pemain Eropa yang memiliki postur lebih besar? Lagipula, bukankah Messi tidak pernah beralasan kalah postur ketika gagal mencetak gol ke gawang lawan?

Ucapan soal postur tidak sepenuhnya salah. Kelebihan postur tubuh memang memberikan keuntungan bagi pemain sepakbola. Yang salah adalah ketika menjadikan penyebab kekalahan melulu pada perkara postur tubuh.

Sepakbola memang olahraga yang menggunakan kekuatan fisik, maka tidak aneh jika kemampuan fisik menjadi nilai tambah yang dibutuhkan. Namun kemampuan fisik yang berpengaruh dalam olahraga bukan sekadar postur tubuh semata.

Jika berbicara fisik manusia, ada banyak parameter yang harus kita bicarakan. Apalagi jika konteks pembicaraannya adalah sepakbola, olahraga yang sangat kompleks yang bahkan kondisi rumah tangga pemain dapat mempengaruhi hasil pertandingan.

Terdapat banyak parameter fisik yang mempengaruhi dalam sepakbola. Membahas keseluruhan parameter fisik dalam sepakbola akan menjadi satu topik penelitian karya ilmiah tersendiri. Beberapa contoh parameter fisik yang umum kita ketahui adalah postur tubuh, VO2max, kadar asam laktat dalam darah, persentase massa lemak tubuh, kekuatan aerobik, kekuatan anaerik, dan masih banyak lagi.

Kesalahan umum yang sering terjadi adalah menyamaratakan kebutuhan fisik atlet secara umum. Padahal kebutuhan fisik atlet sepakbola tentu akan berbeda dengan kebutuhan fisik atlet basket. Dengan aktivitas yang berbeda akan menyebabkan kebutuhan fisik yang berbeda pula.

Kita ambil contoh pada permasalahan VO2max. Beberapa pelatih masih tergila-gila pada VO2max. Banyak yang beranggapan bahwa semakin tinggi VO2max akan semakin baik. Dampaknya, porsi latihan untuk meningkatkan VO2max akan tinggi.

Padahal jika menengok rataan statistik, pemain sepakbola paling jauh hanya berlari hingga 10-12 kilometer dalam 90 menit. Rata-rata bahkan lebih pendek dari itu. Jadi untuk apa pemain sepakbola memiliki VO2max sama dengan pelari maraton yang berlari hingga 42 kilometer?

VO2max yang tinggi memang penting bagi pemain sepakbola, namun juga tidak perlu hingga setinggi pelari maraton. Dengan begitu, porsi latihan yang berlebihan tersebut dapat dialokasikan ke latihan lain yang juga penting bagi pemain sepakbola.

Untuk dapat mengetahui karakteristik fisik seperti apa yang baik bagi pemain sepakbola, maka harus terlebih dahulu mengetahui aktivitas apa saja yang mereka lakukan di lapangan. Untuk mengetahui aktivitas, tidak boleh dilupakan bahwa bahkan sesama pemain sepakbola pun punya aktivitas yang tidak sama di lapangan. Seorang kiper memiliki aktivitas yang berbeda dengan seorang gelandang, maka tentu karakteristik fisik kiper tidak bisa disamakan dengan gelandang. Begitu juga pemain tengah memiliki aktivitas yang berbeda dengan pemain sayap, maka karakteristik fisik kedua posisi ini pun akan berbeda.

Melihat aktivitasnya di lapangan, postur tubuh yang tinggi mungkin menjadi hal mutlak bagi kiper. Kemampuan melompat juga menjadi keharusan untuk meningkatkan jangkauan. Namun VO2max sepertinya bukan menjadi perhatian penting bagi kiper. Area kerja yang sempit membuat kiper tidak akan berlari lebih dari 5 kilometer pada tiap pertandingannya. Jadi untuk apa memiliki VO2max yang tinggi?

Di sisi lain, postur tubuh yang tinggi menjadi tidak penting bagi pemain sayap. Seberapa sering mereka melakukan duel udara, lebih sering mana dengan aktivitas mereka menggiring bola beradu cepat dengan pemain lawan? Postur besar tentu akan mengurangi kelincahan pemain.

Begitu pula dengan pemain-pemain lain pada posisi yang berbeda. Dengan aktivitas yang berbeda maka akan dibutuhkan karakteristik fisik yang berbeda pula. Berbicara aktivitas di lapangan, kita juga tidak boleh lupa bahwa hal ini bergantung pada filosofi bermain. Meski dengan posisi yang sama, filosofi permainan yang berbeda akan membuat karakteristik fisik yang dibutuhkan berbeda pula. Gelandang Barcelona akan berbeda aktivitasnya dengan gelandang Stoke City, misalnya.

Karena itu, membicarakan kebutuhan fisik pemain sepakbola akan menjadi pembicaraan panjang yang tidak berujung. Untuk itulah seorang pelatih yang baik akan mencari dan memilih konsep dan cara bermain terlebih dahulu sebelum merancang porsi latihan.

Atau jika melihat pada cakupan yang lebih luas lagi, negara yang memiliki perencanaan sepakbola yang baik akan lebih dulu memiliki rancangan cara bermain seperti apa yang ingin diperagakan oleh tim nasionalnya. Dari sini, baru kemudian diketahui karakteristik fisik seperti apa yang dibutuhkan untuk menjalankan filosofi bermain tersebut. Dengan begitu, proses seleksi pemain dan proses pembinaan bibit muda juga akan disesuaikan kepada rancangan besar yang telah ditetapkan. Seperti yang mungkin juga sudah anda ketahui, negara-negara besar sepakbola sudah melakukan ini sejak lama.

Melihat rata-rata pemain indonesia yang tidak memiliki postur tubuh yang tidak besar sebenarnya tidak melulu harus dijadikan sisi negatif. Postur tubuh yang kecil akan memungkinkan pemain Indonesia untuk bergerak lebih lincah dibandingkan pemain-pemain Eropa. Selanjutnya tinggal disesuaikan bagaimana pola permainan yang paling cocok bagi orang-orang Indonesia.

Tidak perlu harus sama dengan apa yang diperagakan oleh negara-negara Eropa. Tidak juga menjadi kaku dengan mengatakan bahwa cara bermain tiki taka ala Spanyol sebagai sang juara dunia saat ini menjadi cara bermain yang terbaik. Tiki taka memang cara bermain yang baik bagi Spanyol, namun belum tentu bagi Indonesia. Indonesia mungkin memiliki cara bermain tersendiri yang belum pernah ditunjukan oleh negara lain.

Maka dari itu, sudah bukan saatnya lagi beranggapan bahwa pemain yang berpostur tubuh besar lebih baik dari yang berpostur tubuh kecil. Tidak juga dengan mengatakan pemain yang dapat berlari lebih kencang adalah lebih baik dari pemain yang berlari lebih lambat. Masih banyak faktor yang harus kita lihat sebelum mengatakan si A lebih baik dan si B kurang baik.

Sepakbola terlalu kompleks untuk sekadar mengatakan kita kalah karena postur tubuh. Penyebab kekalahan sebuah tim jauh lebih kompleks dari itu. Kita belum membicarakan masalah teknik, mental, strategi, dan yang lainnya. Tapi, bukankah itu yang membuat sepakbola menjadi sangat menarik?


====

* Penulis adalah mahasiswa Program Studi Magister Keolahragaan Institut Teknologi Bandung. Akun twitter: @aabimanyuu dari @panditfootball

(a2s/roz)

Hide Ads