David Moyes kembali mematahkan rekor lama Manchester United. Hari Minggu (20/4) lalu, pertama kalinya semenjak musim 1969/1970 Red Devils "membiarkan" Everton mengalahkan mereka dua kali dalam satu musim.
Catatan ini melengkapi rentetan rekor Moyes lainnya yang "dicetak" musim ini, seperti kekalahan kandang pertama dari tim gurem West Bromwich Albion semenjak 1978, di-dobel oleh Manchester City dan Liverpool dalam satu musim untuk pertama kalinya, dan juga kekalahan terbanyak di Old Trafford dalam satu tahun kompetisi dalam 12 tahun terakhir.
Ditilik dari segi prestasi musim ini, tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa Moyes adalah seorang manajer sukses. Ketika Liga Inggris menyisakan 3 laga MU kini telah tersingkir dari Piala FA, Piala Liga, Liga Champions dan berada di peringkat tujuh Premier League, sekaligus dipastikan tidak masuk Liga Champions musim depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu ini kontras dengan musim lalu. Pada 2012/2013, semenjak pekan ke-13 United tak pernah sekalipun meninggalkan puncak klasemen. Berkali-kali mereka mampu membalikkan keadaan meski sudah ketinggalan terlebih dahulu.
Krisis Percaya Diri?
Salah satu argumen yang sering didendangkan agar mempertahankan Moyes adalah karena United masih dianggap berada pada masa transisi. Mereka sedang mengalami sebuah perubahan besar dari kerajaan Alex Ferguson, yang memang jadi tim tersukses Inggris di era Premier League.
Meski berada pada masa transisi, namun bukan berarti Moyes dapat bersantai menjalankan nahkodanya. Bukankah tetap ada standar minimal dalam sebuah transisi? Boleh dikatakan Moyes termasuk dalam manajer yang gagal mendapatkan raihan tersebut.
Padahal, warisan yang diberikan Ferguson juga bukan tim sembarangan. United musim lalu adalah juara bertahan dengan jarak 11 poin dari rival mereka, Man City. Tapi, tahun ini sudah dua kali Moyes ditundukkan oleh tetangganya itu. Skornya pun cukup untuk membuat wajah para fans United panas, yaitu kalah 1-4 dan 0-3.
Mesti dicatatkan bahwa United juga pernah kalah telak dari The Citizens pada era Fergie. Namun, secara prestasi United tidak seburuk kali ini. Pada musim 2011/2012, United tetap menempel ketat City di papan atas klasemen dan hanya kalah dalam perebutan gelar juara karena selisih gol pada menit-menit akhir. Pada musim berikutnya, United juga sukses membalas sakit hati dari City dengan memenangkan gelar juara Premier League terakhir untuk Ferguson.
Para pembela Moyes bisa beralasan bahwa United bukanlah tim dengan materi terbaik di Inggris, meski musim lalu memenangkan liga dengan gap yang cukup lebar dari peringkat kedua dan tiga. Bahkan ada kalimat yang sering diucapkan untuk menggambarkan "Setan Merah" masa itu. United akan tetap menang walaupun bermain buruk.

Lalu apa yang membuat United era Fergie bisa melakukannya?
Banyak yang beranggapan bahwa pria 72 tahun tersebut ahli dalam membangun mental dan percaya diri. Tertinggal pada babak pertama namun mampu membalikkan keadaan di akhir pertandingan jadi keunggulan Fergie. United boleh kalah untuk urusan kualitas permainan maupun materi pemain. Tetapi, secara mental, mereka juaranya.
Ini jadi sesuatu yang tidak ditemukan dalam diri Moyes, yang sejak awal terlanjur dipercaya sebagai "The Chosen One".
Misalnya saja menjelang pertandingan melawan Liverpool di Old Trafford. Manajer asal Skotlandia tersebut malah mengatakan bahwa: "Mereka (Liverpool) datang ke sini sebagai tim yang diunggulkan."
Pernyataan tersebut langsung ditanggapi oleh Brendan Rodgers dengan penuh keprihatinan pasca pertandingan: "Saya tidak akan pernah mengatakan jika tim tamu yang datang ke Anfield adalah tim yang diunggulkan."
Tidak cukup sampai di situ. Setelah dikalahkan oleh City, Moyes juga mengatakan jika saat ini United kalah level dari tetangga rivalnya itu, sehingga harus mengejarnya. Bisakah Anda membayangkan Fergie berujar hal yang sama?
Mustahil. Malah Fergie dengan gagahnya memberikan label City sebagai tetangga berisik. Masih menurut Fergie: "City adalah klub kecil dengan mentalitas yang juga kecil."
Cara pandang inilah yang ditanamkan Fergie pada anak-anak asuhnya. Haram hukumnya bagi para punggawa United untuk menghadapi pertandingan tanpa kepala tegak dan arogansi yang melambung tinggi. Dan, mentalitas inilah yang membuat Fergie mampu memeras seluruh kemampuan anak asuhnya hingga ke tetes terakhir, selain tentu karena kemampuannya dalam meramu taktik. Satu hal yang tak dimengerti Moyes.
Maka wajar saja jika fans United mengibarkan spanduk "Wrong One-Moyes Out" yang ditarik oleh pesawat kecil di atas kota Manchester, pada saat pertandingan melawan Aston Villa lalu. Bagaimana mereka dapat mempercayai klub sebesar MU di tangan Moyes, jika dirinya sendiri juga selalu pesimistis?
Para suporter tentu telah mampu mencium bau sebenarnya dari Moyes. Bahwa ia yang telah menangani Everton lebih dari 10 tahun itu tak mengerti apa artinya jadi seorang pelatih klub sebesar Manchester United.
Kalah Mental dan Kalah Pikiran
Kita baru berbicara masalah mental. Lalu bagaimana dari segi permainan?
Secara taktikal, sejauh ini United pun memiliki banyak persoalan. Taktik yang diterapkan jauh tertinggal dari tim-tim besar Liga Inggris lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan bagaimana Chelsea, City, dan Liverpool βtiga kandidat juara musim iniβbermain.
Ketiga tim tersebut bermain sangat cepat di lini depan dengan pergerakan pemain yang dinamis. Bandingkan dengan United yang masih mengandalkan permainan sayap klasik, meski sebenarnya bermain mengandalkan sayap bukanlah sebuah dosa dalam sepakbola.
Namun apa yang diperlihatkan oleh United musim ini justru menggambarkan sebuah tim yang sedang frustasi. Ketika ditahan imbang 2-2 oleh Fulham pada 9 Februari lalu, menurut data Opta kala itu mereka memecahkan rekor sebagai tim Eropa yang paling banyak mengirim umpan silang.
Dalam satu pertandingan itu, kedua sayap United telah menghujani kotak penalti Fulham dengan 81 kali umpan silang. Jumlah tersebut bisa menjadi sesuatu yang mengerikan jika memang konversi yang dihasilkan positif. Namun kenyataannya justru berbalik 180 derajat, United gagal menang melawan tim juru kunci tersebut.
Moyes mengubah Manchester United menjadi Everton. Baik secara prestasi maupun roh permainan. Transformasi tersebut semakin lengkap karena orang-orang di balik Moyes sekarang adalah sosok yang sama dengan dulu di Everton.
Phil Neville ditunjuk sebagai first team coach bersama dengan ketiga asisten lainya,yaitu Steve Round (asisten manajer), Chris Woods (pelatih kiper) dan Jimmy Lumsden (pelatih). Semuanya adalah bekas tangan kanan Moyes.
Fakta lain adalah saat membandingkan pencapaian Everton musim lalu dan United sekarang. Hingga pertandingan ke-34, keduanya memiliki statistik yang hampir sama.

Masalah semakin menumpuk dengan Moyes yang tidak fasih menangani para pemain di sebuah tim besar. Saat menangani Everton, ruang ganti Moyes terkenal sejuk dan kondusif. Bahkan hal ini yang menjadi salah satu alasan Fergie menunjuknya.
Sesuatu yang berbeda terjadi sekarang. Gosip panas berhembus, laporan Mirror menyebutkan bahwa ada perselisihan antara Giggs dan Moyes. Keduanya berseteru terkait dengan metode latihan yang diterapkan di Carrington, pusat latihan United.
Giggs yang merangkap sebagai pemain dan staf pelatih tersebut menyebutkan cara Moyes tak sesuai dengan karakter United. Meski akhirnya kabar tersebut dibantah oleh pihak klub.Apa Selanjutnya?
Pilihan kini ada di jajaran direksi klub. Apakah masih menginginkan masalah-masalah di atas kembali terulang musim depan? Atau mungkin masih memberikan kepercayaan kepada orang yang justru sedang tidak percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri
Tapi mungkin pertanyaan utamanya bukan masih inginkah jajaran direksi mempertahankan Moyes, tapi masih sanggupkah mereka mempertahankan Moyes?
Apalagi jika kita melihat bagaimana posisi United sebagai sebuah tim para era sekarang. Manchester United adalah klub besar, dengan jutaan fans yang tersebar diseluruh muka bumi. Dan, bagi direksi, penggemar adalah aset besar, apalagi sejak United mengumumkan go public pada tahun 2012.
Belum lagi jika bicara Liga Champions. Bermain sampai babak 16 besar saja, sebuah tim bisa mendapatkan 18,5 juta euro hanya dari uang hadiah keikutsertaan. Ini belum ditambah belasan juta euro dari pemasukan hak siar televisi. Bagi klub yang sedang menanggung utang ratusan juta euro seperti United, tentu mereka tak boleh bermain-main dengan gelontoran uang dari kompetisi Eropa ini.
Tidak lolos ke Liga Champions berarti semakin beratnya beban finansial yang mesti ditanggung oleh para petinggi klub. Juga bisa bermakna penolakan dari para pemain bintang kelas dunia yang enggan jika hanya terlihat di kompetisi kasta kedua, seperti Europa League.
Ya, memberikan waktu tambahan untuk Moyes memang secara tak langsung menanggung risiko (finansial) yang sangat tinggi. Jika sukses, maka semua akan baik-baik saja. Jika tidak, maka akan semakin sulit untuk mengembalikan MU posisi semula. Tak percaya? Coba tanya saja Liverpool. Butuh waktu 5 tahun untuk The Reds kembali ke Liga Champions, setelah sekali terlempar pada musim 2009/2010.
Bagi fans United, tentu itu satu kondisi yang sungguh mengerikan. Jalan satu-satunya untuk menghindari hal ini mungkin memang dengan segera bertindak cepat sebelum permasalahan terlanjut mengakar dan membusuk dalam tim. Sebelum semua tonggak kerajaan United yang dibangun dalam waktu 25 tahun terlanjur runtuh dan menjadi debu. Ya, satu-satunya cara mungkin hanya dengan berkata β¦. Sudahlah, Moyes!
===
* Akun twitter penulis: @mildandaru dari @panditfootball
(a2s/roz)











































