Atas iming-iming keuntungan, banyak negara selalu berlomba untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Padahal, jika ditelisik, keuntungan sebagai host World Cup tidaklah terlalu besar. Namun umat manusia yang ada di bumi ini kadung mengamini hal tersebut.
Selain karena uang, negara tuan rumah pun tak perlu bersusah payah melewati babak kualifikasi agar bisa tampil di Piala Dunia. Dengan keuntungan yang ditawarkan, maka tak heran banyak negara mati-matian ingin menjadi host salah satu edisi event empat tahunan tersebut.
Tapi, jika keuntungan hanya dinikmati oleh tuan rumah, lalu apa gunanya ikut Piala Dunia? Misalnya saja negara Mauritania nun jauh di Afrika Utara. Buat apa bersaing jika ketika lolos hanya akan ditundukkan oleh negara-negara adidaya sepakbola?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, sekedar menjadi peserta pun "mendapatkan" iming-iming banyak hal. Begitulah Piala Dunia, sungguh anggun.
Mencitrakan Negeri Sendiri
Riza Sihbudi, seorang peneliti utama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bidang hubungan internasional atau kebijakan politik luar negeri, menyatakan bahwa politik luar negeri hakikatnya merupakan "perpanjangan tangan" dari politik dalam negeri suatu negara.
Tapi, ini tidak berlaku untuk di lapangan hijau. Sepakbola boleh jadi punya diskursus tersendiri: negeri boleh bergejolak, tapi timnasnya tak boleh. Warganya boleh lapar, asal timnasnya tetap dituntut lapar akan gelar. Negerinya boleh saja dihantam krisis, namun timnasnya juga harus mampu menghantam semua lawan-lawannya. Begitulah sepakbola.
Lalu, bukankah Piala Dunia menjadi arena paling pas untuk menunjukkan hal ini?
Spanyol sebagai contohnya. Orang-orang Spanyol mempunyai primodialisme yang sangat tinggi. Mereka berpegang teguh pada tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Tapi ini berbeda dengan orang Catalan. Mereka selalu enggan mengakui sebagai bangsa Spanyol. Mereka tak pernah henti-hentinya memprotes pemerintah pusat dan menuntut adanya desentralisasi pemerintahan di negara itu. Meskipun kini Catalunya telah menjadi daerah otonom, namun orang Catalan beranggapan bahwa orang pusat selalu saja arogan pada mereka, terutama soal aliran uang dari pusat ke daerah.
Hal senada juga dilakukan oleh orang-orang Basque, bangsa yang punya raja dan perangkat pemerintahan sendiri. Mereka ingin melepaskan diri dari Spanyol.
Bangsa Basque enggan untuk tunduk pada Raja Spanyol. Mereka gerah diperintah sang raja, lebih "panas" lagi saat Jendral Franco yang otoriter membantai sebagian dari mereka. Itulah sebabnya di otak bawah sadar mereka, dendam itu masih tersimpan hingga kini.
Sedangkan Madrid, asal bangsa Castilla, diisi orang-orang pintar. Orang-orang pemikir. Namun karena kepintarannya mereka selalu dipaksa untuk kurang tidur untuk berpikir keras tentang cara menyatukan Spanyol dan menghindarkan Spanyol dari isu-isu disintegrasi.
Bahkan, karena terlalu sering memikirkan hal tersebut, perekonomian negara seringkali terbengkalai, rawan dilanda krisis. Great depresition 2008 tak dapat mereka hindari. Spanyol dilanda krisis, pengangguran bertambah banyak.
Walau begitu, pada tahun 2008, timnas mereka justru menjadi juara Eropa. Kemudian dua tahun berikutnya menjadi juara dunia untuk kali pertama.
Kegemilangan Spanyol di Afrika Selatan memang tak lepas dari tangan dingin Vicente del Bosque. Soal taktik, Del Bosque memang jagonya. Namun lebih dari itu, ia berhasil meredam primodialisme dan juga isu disintegrasi ketika La Furia Roja berlaga.
Xabi Alonso yang orang Basque, tak pernah ragu untuk memberi umpan kepada Fernando Torres yang orang Castilla. Carles Puyol yang seorang Catalan pun tak akan rela gawang Iker Casillas yang orang Castilla dibobol lawan.

Mereka bermain sungguh padu, tak peduli dari mana teman sejawatnya berasal. Mereka yang pernah mengawinkan tropi Piala Dunia dan Piala Eropa seakan lupa bahwa nenek moyang mereka pernah terlibat sengketa. Bukankah itu sebuah alasan tersendiri? Seolah dunia dibuat lupa, bahwa Spanyol punya setumpuk masalah pelik.
Lain lagi dengan Jerman. Bangsa yang sebelumnya terpecah dan dianggap selalu membenci orang kulit hitam, luluh lantah arogannya di hadapan kompetisi terbesar sejagat raya. David Odongkor dan Gerald Asamoah yang mengawalinya.
Kritik sempat menghujani keputusan Juergen Klinsman karena menyertakan kedua pemain kulit hitam itu. Mereka yang mengkritik adalah para penganut ideologi ultra-kanan.
Terlebih saat Jerman dirundung malu, kalah 1-4 dari Italia, di partai pemanasan. Penyertaan pemain kulit hitam makin dijadikan kambing hitam oleh golongan ultra-kanan. Namun sang pelatih tak bergeming. Klinsmann tetap menyertakan mereka di skuat Der Panser pada gelaran Piala Dunia 2006.
"Saya percaya, tidak ada yang salah dari Anda (Juergen Klinsmann) dan para pemain. Mereka berada jalur yang benar. Saya tak ingin kritik justru menganggu Anda. Berjalanlah sesuai dengan keyakinan Anda," ujar Andrea Merkel sang Kanselir Jerman sembari menyemangati Klinsman.
Jika orang nomor satu saja menyemangati, begitu juga dengan mayoritas pendukung Die Nationalmannschaft. Mereka tak terlalu menyoalkan kehadiran Ondongkor dan Asamoah. Chant untuk kedua pemain berkulit hitam βyang notabene sangat dibenci Hitlerβtetap saja digaungkan di stadion.
"Sesuatu yang indah muncul kembali dalam hubungan perasaan masyarakat kami. Tanpa adanya rasa arogan dalam masyarakat," ujar Merkel menyikapi fenomena yang sebelumnya tak pernah ia lihat.

Berkat Klinsman juga timnas Jerman kini tak pernah ragu untuk memakai jasa pemain kulit hitam. Pada Piala Dunia 2010, Jerome Boateng dan Cacau tak pernah mendapat perlakuan berbeda. Lukas Podolski dan Miroslav Klose yang punya darah Polandia pun tetap mereka elu-elukan rakyat Jerman.
Padahal, seperti yang kita tahu, Jerman sangat benci orang Polandia. Tapi itu tak jadi soal. Persoalan utama adalah, kapan kiranya bintang di dada jersey Jerman bertambah.
Alhasil, Piala Dunia 2010 menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Jerman telah meninggalkan kearoganan mereka. Citra ras Arya tak lebih penting dari rasa kejermanan mereka.
Kebangkitan Rakyat Lembah Dniper
Ukrainia memang sudah memproklamirkan kemerdekaannya sejak tahun 1991. Namun tanpa adanya Andriy Shevchenko ataupun Andriy Voronin siapa yang kenal negara itu? Luasnya saja hanya sedikit lebih besar daripada Pulau Bali.
Pada tahun 2006, di sudut-sudut kota Ukraina, semua rakyat berharap penuh pada komandan mereka, Andriy Shevchenko. Harapannya agar Ukraina dapat berbuat lebih di Piala Dunia Jerman. Dengan begitu, dunia akan tahu bahwa Ukraina itu nyata adanya.
Sebagaimana mestinya sebuah negara sempalan Uni Soviet lainnya, Ukraina selalu saja ada di bawah bayang-bayang Uni Soviet. Padahal, jika ditarik lebih jauh, Uni Soviet-lah yang sebenarnya berasal dari Ukraina, dari bangsa Rus Kiev yang sudah mendirikan negara di sekitar lembah sungai Dniper sejak tahunΒ 880Β hingga pertengahanΒ abad ke-12.
Namun apa daya, berkat terlalu lama ikut Uni Soviet kegemilangan itu tenggelam dimakan zaman. Satu-satunya jalan agar mereka kembali dipandang sebagai negara yang berbudaya dan merdeka adalah lewat piala dunia. Tentu ini bukan misi sembarangan untuk sang jenderal, Shevchenko.
Untuk membantu tugas berat Sheva, Oleg Blokhin, pelatih Ukraina saat itu rela tak mendapat gaji kala menangani timnas Ukraina. Blokin rela meninggalkan jabatanyan di jajaran parlemen demi membantu Ukraina tampil maksimal di final Piala Dunia.
Benar saja, Ukraina mampu menjadi kuda hitam yang menggila di tanah Jerman. Mereka berhasil menemani Spanyol lolos dari Grup H meski Italia kemudian memaksa mereka untuk pulang lebih awal.

Walaupun begitu, perjuangan timnas Ukraina yang hanya sampai babak perempat final sudah barang tentu mendapat apresiasi dari rakyatnya. Begitupun juga dunia. Negara yang beribukota di Kiev itu tak lagi dipandang sebelah mata.
"Kami telah terlalu lama berada di bawah Uni Soviet. Sampai-sampai kami tak punya bahasa sendiri. Tapi kini, sepakbola adalah bahasa kami. Bahasa yang mampu menunjukkan identitas kami di mata dunia," tutur Gregory Surkis, presiden Federasi Sepakbola Ukraina.
Itulah Piala Dunia. Ketika mimpi tak bisa dibeli, Piala Dunia-lah yang memberi. Ketika banyak orang tak mampu meyelesaikan sederet problematika, Piala Dunia bisa meredamnya. Sepakbola, terlebih lagi Piala Dunia, memang tempat paling aman untuk menggantung angan.
=====
* Akun twitter penulis: @prasetypo dari @panditfootball
(a2s/krs)











































