Kisah Negeri Samba Mengenal Sepakbola

Brasil dan Sepakbola [Bagian 1]

Kisah Negeri Samba Mengenal Sepakbola

- Sepakbola
Jumat, 02 Mei 2014 20:55 WIB
Ilustrasi: Getty Images
Jakarta -

Seperti kebanyakan pelabuhan di Brasil, hari itu pada 1894, dermaga pelabuhan kota Santos tetap dipenuhi oleh orang yang berlalu lalang. Mandor-mandor yang berdandan dandy terus sibuk memberi perintah, sementara para kuli panggul juga tetap sibuk. Sebagian dari mereka naik ke atas kapal, sebagian lagi turun. Meski keringat bercucuran, mereka tak sempat menyeka. Mereka terlalu sibuk memanggul muatan kapal.

Dari sekian banyak mandor berpakaian perlente itu, ada satu yang tak sibuk memberi instruksi. Ia adalah John Miller. Seorang imigran asal Inggris yang sedang bertugas di negri kaya kopi itu.

Bukan karena ingin berleha-leha ia datang ke pelabuhan hari itu. Namun ia hendak menjemput anaknya, Charles Miller, yang sedianya pulang sehabis menuntut ilmu di Inggris, di kota Southampton.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gelisah dan tak sabar muncul ketika melihat kapal yang lambat-lambat hendak merapat ke dermaga. John yakin, kapal itu adalah kapal yang ditumpangi anaknya yang datang membawa gelar sarjana bidang teknik perkereta-apian.

Peluit bertiup dan anak buah kapal kian sibuk mengarahkan kapal ke dermaga. Jangkar siap untuk diturunkan. John pun mulai membuang pandang ke segala arah, mencari-cari sang anak yang telah mengarungi samudra demi pendidikannya.

Tak butuh waktu lama setelah kapal bersandar, John sudah menemukan buah hatinya. Tentu hatinya gembira.

Namun tak lama keriangan hatinya itu berubah jadi keheranan. Anaknya yang ia sekolahkan jauh-jauh untuk menjadi insinyur itu bukan membawa perkakas ala seorang insinyur. Charles justru menenteng dua buah benda bulat berbahan kulit. Belakangan John ketahui bahwa benda itu bernama bola.

Melihat ayahya terheran-heran, tanpa ditanya, Charles pun menjawab, "Ini bukti kelulusanku, Ayah," ujar Charles.

"Anakmu ini sudah lulus dalam bidang sepakbola!," ujar Charles, dengan seringai di wajahnya.



Mengakar pada Kaum Buruh

Seperti terjadi pada kebanyakan belahan dunia manapun, sepakbola memang selalu diperkenalkan oleh orang Inggris. Tak heran jika imigran asal Inggris juga yang mengenalkan sepakbola ke tanah Brasil.

Charles Miller adalah anak seorang pegawai jawatan kereta api. Ayahnya, John Miller, adalah pegawai jawatan yang bertugas untuk membuka jalur kereta api dari pelabuhan Santos menuju pedalaman Sao Paulo. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mengangkut kopi dari perkebunan yang terletak di pedalaman Sao Paulo. Meski Brasil sudah merdeka sejak tahun 1882, memang sumberdaya alam mereka masih saja dikeruk oleh orang-orang Eropa.

Sebenarnya, John mengirim anaknya ke Southampton bukan untuk menjadi pemain bola, apalagi misionaris sepakbola di Brasil. Dengan harapan dapat meneruskan pekerjaannya kelak, John menyekolahkan Charles ke Southampton di jurusan teknik perkereta-apian.

Pun dengan Charles. Sebenarnya ia tak pernah menyangka jika kepulangannya ke Sao Paulo pada tahun 1984 itu akan membawa suatu perubahan besar di Brasil. Ia pun bukan pemain pemain bola pro. Di Inggris, ia hanya seorang sayap kiri klub amatir St. Maryโ€™s, cikal bakal Southampton FC.

Namun ternyata semua berjalan di luar dugaan. Berkat dua buah bola yang dibawa Charles, akhirnya Brasil mengenal sepakbola.

Seperti yang diinginkan oleh sang ayah, Charles pun meneruskan pekerjaan orangtuanya di jawatan kereta api Sao Paulo. Di tempat kerjanya itulah ia mulai mengenalkan sepakbola. Ia mengajak teman-teman dan juga buruh-buruh kereta api lainnya untuk mengolah si kulit bundar, disela-sela kesibukan mereka. Lantaran permainan ini mudah dimainkan, para buruh pun lalu menggemari permainan ini.

Lambat laun, tak hanya imigran dan para pekerja jawatan kereta api yang memainkan sepakbola. Para pekerja di perusahaan gas pun mulai menggandrungi permainan tersebut.

Kendati dikenalkan oleh seorang terpelajar, namun sepakbola di Santos amat lekat dengan para buruh. Hal yang kemudian menjadi wajar, karena sepakbola di Sao Paulo memang sering dimainkan oleh para buruh disekitaran lokasi kerja mereka.

Ya, tak butuh waktu lama bagi sepakbola untuk mengambil alih kepopuleran kriket. Dengan sekejap, warga Sao Paulo langsung menggilai olahraga ini. Baik imigran maupun penduduk lokal, semua sibuk memainkan bola.

Diasingkan dari Sepakbola

Berselang tujuh tahun dari kedatangan Charles Miller, hal serupa terjadi di Rio de Janeiro. Kota yang berjarak 200 mil dari Santos itu juga terserang wabah sepakbola. Namun, kali ini bukan Charles Miller yang jadi aktornya, namun seorang bangsawan Anglo-Brasilian bernama Oscar Cox.

Sepulang dari menuntut ilmu di Lausanne, Swiss, pada tahun 1901 Cox mulai mengenalkan sepakbola di Rio. Segendang sepermainan dengan yang terjadi di Santos, pasca kedatangan Cox, sepakbola begitu mengharu biru di kota itu. Tiap sore, anak-anak muda selalu bermain bola.

Dalam sekejap pula, permainan itu menjadi populer, dengan lapangan bola yang menjamur. Di setiap sudut kota Rio ada lapangan bola. Di awal abad 20, Rio telah menjadi kota yang mempunyai lapangan paling banyak diantara kota-kota lain di Amerika Latin.

Setahun kemudian, Cox bersama 19 temannya pun sepakat untuk membentuk sebuah klub, Fluminense. Klub sepakbola pertama yang ada di Rio. Namun, karena Fluminense dibentuk oleh para bangsawan, klub itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang ningrat, terpelajar, berasal dari keluarga terpandang saja. Sementara yang miskin dan berkulit hitam tentu tak boleh mereka bergabung dengan Fluminense.

Fluminense sendiri bukan sekadar klub. Pasca berdiri, tim itu menjadi ajang pamer para bangsawan Inggris yang ada di Rio De Janeiro untuk memamerkan begitu tingginya budi pekerti para imigran dan juga tuan-tuan tanah.

Dalam sepakbola Rio, pribumi kala itu benar-benar jadi kelas dua. Sudah tak boleh ikut bergabung dengan Fluminense, mereka pun tak boleh menonton pertandingan satu-satunya klub di Rio itu. Untuk menonton, mereka sampai-sampai harus memanjat pagar ataupun memanjat pohon.

Tak hanya itu, pribumi pun tak boleh memainkan bola di lapangan-lapangan yang ada di Rio De Jenairo. Ironis memang. Tapi begitulah adanya. Jika di Sao Paulo sepakbola begitu akrab dengan para pekerja, di kota Rio sepakbola justru sangat akrab dengan mereka yang ningrat.

Tapi, memang begitulah adanya. Sedari dulu Rio memang menjadi salah satu kota yang selalu tampil beda dengan kota-kota lain di dataran Brasilia. Jika kota macam Sao Paulo dan Santos dipenuhi oleh para petani kopi atau buruh-buruh bongkar muat, Rio sedari dulu telah menjadi kawasan elit. Rio adalah milik para bangsawan Eropa yang sedang mengurus bisnisnya di negri kaya sumberdaya itu.

Itulah mengapa, pada masa awal perkenalannya dengan sepakbola, Sao Paulo dan Rio De Jenairo begitu berbeda. Begitu timpang. Kota yang satu menjadikan sepakbola sebagai permainan rakyat jelata, sementara kota yang lain menjadikan sepakbola menjadi permainan si kaya.

Namun kondisi itu justru semakin menambah semangat orang-orang Brasil untuk lebih mengenal sepakbola. Ketidakmampuan mereka untuk membeli bola, diakali dengan menggunakan kulit jeruk ataupun buntalan kaus kaki. Lantaran tak boleh memainkan bola di lapangan, mereka pun memainkan bola di jalanan.

Orang-orang Eropa-lah memang mengenalkan sekaligus mengasingkan masyarakat Brasil dengan sepakbola. Namun, pengasingan itu yang justru nantinya akan mengakar dan membentuk karakter sepakbola Brasil.

(Bersambung)



===

* Ditulis oleh @prasetypo dari @panditfootball

(a2s/din)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads