Lahirnya Futbolarte Brasil

Brasil dan Sepakbola (Bagian 2-habis)

Lahirnya Futbolarte Brasil

- Sepakbola
Rabu, 14 Mei 2014 13:04 WIB
Ilustrasi: Getty Images
Jakarta -

Lewat refleksi panjangnya, masyarakat Brasil telah berhasil menciptakan sebuah kesenian dalam mengolah bola. Mereka mengenalnya dengan nama "futbolarte", atau the art of football.

Mari kembali ke tulisan pertama tentang awal mula perkenalan Brasil dengan sepakbola. Untuk tahu datangnya futbolarte, mau tak mau kita harus berbicara tentang perkembangan sepakbola di kota Rio De Janeiro. Sebuah kota tujuan migrasi yang menjadikan sepakbola sebagai komoditas yang teramat mahal.

Sepakbola di Rio De Janeiro adalah permainan bangsawan. Mereka yang pribumi dan berkulit hitam tak punya hak memainkannya. Begitu juga untuk sekadar menonton Fluminese, klub pertama kota itu. Tak mungkin boleh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Betapa mahalnya sepakbola di kota itu. Tak pantas bagi mereka yang bekulit hitam dan tak punya uang untuk memainkan bola. Maklum, meski Brasil sudah menghapuskan perbudakan sejak tahun 1888, namun praktik diskriminasi berdasarkan warna kulit masih berjalan. Terutama dalam sepakbola.

Buntalan kaus kaki ataupun kulit jeruk terpaksa dijadikan pilihan untuk menggantikan bola. Sementara jalanan dijadikan lahan bermain pengganti lapangan. Tapi, siapa sangka, dari kejadian-kejadian abnormal itulah karakter sepakbola Brasil lahir dan berkembang.

Berakar pada Malandro dan Capoeira

Ketika kita melihat permainan sepakbola Brasil, rasa-rasanya kita sedang melihat seorang yang alami terlahir untuk memainkan sepakbola. Kelincahan gerak kaki dalam mengolah si kulit bundar seolah lahir tanpa susah.

Jika Anda bertanya pada orang-orang Brasil mengapa bisa seperti itu, mereka mungkin akan menjawab dengan: Malandro.

Malandro adalah salah satu figur folklor Brasil. Jauh sebelum Pele lahir, jauh sebelum Garincha ada, masyarakat Brasil telah lebih dulu mengenal dan mengidolakan Malandro, seorang kulit hitam yang miskin dan tinggal di kampung kumuh atau favelas.

Malandro adalah seorang yang licik. Ia sering mencuri makanan dari orang-orang kulit putih, lalu memberikannya kepada ibunya, ataupun anak-anak yang kelaparan. Malandro juga lihai dalam mengolah bola. Di lapangan, ia bisa menggiring bola dengan cepat juga mengelabuhi orang-orang kulit putih.

Manakala orang-orang berkulit hitam tak punya akses untuk bermain bola, Malandro justru bisa menjadikan orang-orang kulit putih sebagai bulan-bulanan. Ia berhasil mengelabui atau melewati pemain-pemain kulit putih dengan sangat luwes. Capoeira telah mengajarinya sebuah teknik melewati lawan tanpa bersentuhan. Kulit jeruk dan buntalan kaus kaki telah menempa kemampuan teknik olah bola Malandro.

Ya, Malandro adalah figur pemain bola yang mampu memadupadankan teknik beladiri capoeira dengan skill bermain bola. Dan, ketika hendak mengetahui sepakbola Brasil, maka kita juga harus memahami capoeira. Karena jenis bela diri inilah yang menjadikan pemain-pemain Brasil begitu tricky saat melewati lawan.



"Kemampuan menggiring bola pemain bola Brasil berkembang lantaran adanya kasus rasisme sepakbola di Brasil. Dan capoeira-lah yang telah mempengaruhi hal itu. Gaya tersebut merupakan sebuah improvisasi. Gaya yang diciptakan oleh para pemain kulit hitam untuk melindungi diri saat berhadapan dengan kulit putih. Karena dahulu, jika Anda seorang kulit hitam, Anda tak boleh bersentuhan dengan pemain yang berkulit putih. Orang-orang kulit hitam lebih memilih menggunakan tipu daya untuk melindungi bola saat di lapangan," ungkap Domingos da Guia, seorang bek berbakat berkulit putih, yang bermain untuk Brasil di tahun 1930-an.

Berbeda dengan tinju, capoeira adalah salah satu beladiri yang mengandalkan kekuatan kuda-kuda, pada tumpuan kaki. Seni beladiri, yang awalnya digunakan untuk membebaskan para budak, ini mengharuskan satu sama lain tak bersentuhan, namun bisa saling melukai. Capoeira bukanlah sekedar teknik membela diri, tapi juga merupakan sebuah tarian.

Gerakan-gerakan yang dipakai dalam capoeira memang serupa dengan gerakan tarian samba. Dan inilah yang kemudian digunakan oleh para pemain Brasil dalam mengolah bola.

Para Brazillian menggunakan teknik capoeira untuk menggocek bola di tengah lapangan, atau untuk melakukan dribble dengan cepat. Mereka akan memakai sebuah teknik untuk mengelabui lawan tanpa bersentuhan. Sebuah seni bela diri yang membuat sepakbola Brasil begitu gilang gemilang.

Maka tak heran, jika gaya bermain pemain Brasil begitu berbeda dengan gaya permainan daerah manapun. Mereka dapat men-dribble dengan baik, memiliki ketangkasan dan kecerdikan, dan punya teknik individu yang amat baik. Karena mereka tak hanya sedang memainkan bola, tapi juga mementaskan capoeira di tengah lapangan hijau.

Pun ketika Brasil mempunyai pemain kulit hitam dengan skill brilian dan tricky dalam melewati lawan, maka sang pemain akan dianggap sebagai titisan Malandro. Pemain yang mampu memadupadankan antara capoeira dan teknik mengolah bola. Pemain yang bisa menciptakan suatu gerakan-gerakan akrobatik di luar nalar.

Dan hal inilah yang menjadikan gaya Brasil begitu khas. Sangat berbeda dengan kebanyakan negara di dunia. Mereka selalu mengandalkan teknik individu, menggocek bola dengan cerdik dan juga tangkas. Sampai-sampai, jika kita lihat, terkadang mereka bermain tanpa pola, tanpa mengenal taktik. Sangat berbeda dengan gaya permainan Eropa yang metodik.

Hal yang kemudian dapat dimaklumi, karena memang begitulah kultur sepakbola mereka. Sedari awal, Brasil belajar sepakbola secara informal. Alih-alih mengenal taktik atau pola, para seniman sepakbola ini belajar dari jalanan dan buntalan kaus kaki. Dampak dari sebuah perlakuan rasisme selama ratusan tahun.

"Gaya permainan kami memang sangat kontras dengan Eropa. Kami bermain dengan keindahan dan tidak kaku. Lebih mengandalkan kecemerlangan tekinik individu. Memadukan kecerdikan dan ketangkasan. Kebencian kami pada masa lampau telah membuat kami mampu menggabungkan tarian dan sepakbola. Hal yang kemudian membedakan kami dengan yang lain," ungkap seorang sejarawan Brasil, Gilberto Freyre dalam bukunya yang berjudul Casa Grande e Senzala (Sang Tuan dan Para Budak), pada tahun 1938.

Tak ada yang mengira jika perlakuan rasis di Brasil justru menciptakan menciptakan Brazillian Style. Gaya yang telah menjadi trademark mereka selama ini. Begitu juga dengan Charles Miller, ia juga tak pernah mengira jika sepakbola, oleh-oleh yang dibawanya dari Inggris itu, dapat menyatukan Brasil.

Di tangan Brasil, sepakbola telah diberi sentuhan estetis nan ekspresif. Sebuah sentuhan seni. Gerakan-gerakan dasar dalam megolah si kulit bundar dipoles sedemikian rupa sehingga sepakbola berubah jadi sebuah tarian di lapangan hijau. Sebuah futbolarte.



====

*ditulis oleh @prasetypo dari @panditfootball
*Foto-foto: Getty Images

Baca Bagian 1: Kisah Negerti Samba Mengenal Sepakbola

(roz/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads