Kenapa Banyak Pelatih Bagus adalah Mantan Gelandang Bertahan?

Kenapa Banyak Pelatih Bagus adalah Mantan Gelandang Bertahan?

- Sepakbola
Sabtu, 24 Mei 2014 08:36 WIB
AFP/Gerard Julien
Jakarta -

Kebiasaan yang berulang akan menghasilkan karakter, dan karakter adalah tipikal yang mudah terbaca.

Dalam sepakbola hal itu bisa terbaca, terutama, dalam konteks pemain yang beralih profesi menjadi pelatih. Seorang pemain sayap, maka saat menjadi pelatih maka tim yang diasuhnya akan punya tekanan yang khusus pada serangan dari sayap. Begitupun seorang mantan striker maka dia pasti lebih fokus menyoroti taktik dalam konteks serangan, begitupun sebaliknya.

Namun ada teori menarik yang dipaparkan Jordi Cruyff kepada harian Daily Mail. Anak legenda Belanda, Johan Cruyff, menjelaskan bahwa sepanjang sejarahnya pelatih-pelatih terbaik di dunia biasanya adalah mereka yang saat menjadi pemain berperan sebagai defensive midfielder atau gelandang bertahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang boleh meragukan kapasitas Jordi saat berbicara isu taktik. Tapi ucapan Jordi itu terafirmasi oleh nama-nama pelatih yang dalam 10 atau 20 tahun terakhir ini dianggap punya capaian prestasi tertentu. Lihat saja nama-nama yang pernah membawa anak asuhnya menjuarai Liga Champions: Pep Guardiola, Fabio Capello, Rafael Benitez, Roberto di Matteo, Vicente del Bosque, dan Frank Rijkaard. Mereka semua bermain sebagai gelandang bertahan saat masih menjadi pemain.

Bahkan final Liga Champions musim 2013/2014 juga akan mempertemukan dua kesebelasan yang diasuh dua orang yang dulunya bermain sebagai gelandang bertahan: Diego Simeone dan Carlo Ancelotti.

Saat memperkuat Atletico Madrid, Inter Milan dan Lazio, Simeone adalah seorang gelandang bertahan klasik bertipikal destroyer yang tangguh. Dia tak segan beradu kaki dan badan, bahkan tak jarang memainkan trik licik yang bisa merugikan lawan. David Beckham di Piala Dunia 1998 adalah korban paling terkenal dari kelicikannya.

Begitu juga Ancelotti yang di awal karirnya bersama Parma dan AS Roma juga bermain sebagai gelandang bertahan. Bedanya barangkali pada gaya bermain. Don Carlo dikenal sebagai tipikal gelandang bertahan yang stylish dengan pembawaan tenang. Pada era kejayaan AC “The Dream Team” Milan di bawah kendali Arrigo Sacchi, Anceloti mulai ditempatkan lebih ke depan sebagai gelandang serang bersama Ruud Gullit. Posisi dan tanggungjawab untuk menjadi benteng pertahanan lapis pertama di lini tengah diserahkan pada Frank Rijkaard.

Duel antara Simeone dan Ancelotti di final Liga Champions bukanlah satu-satunya duel antara pelatih berlatar belakang sebagai gelandang bertahan. Ancelotti pernah memimpin anak asuhnya di final Liga Champions menghadapi lawan yang juga diasuh oleh mantan gelandang bertahan: Rafael Benitez. Pada 2005 dan 2007, keduanya bertemu di final Liga Champions dalam status sebagai pelatih AC Milan dan Liverpool.

Pada musim 2003, Ancelotti memimpin AC Milan menghadapi Juventus yang diasuh Marcello Lippi. Saat menjadi pemain, Lippi adalah seorang libero/sweeper yang perannya agak mirip dengan gelandang bertahan di era sekarang dalam hal menjadi inisiator awal serangan.

Catenaccio Lahir dari Seorang Gelandang Bertahan

Ada catatan menarik dari para pelatih berlatar belakang gelandang bertahan ini. Banyak evolusi taktik-taktik baru yang mereka ciptakan dicatat dalam halaman penting sejarah taktik sepakbola.

Di mulai dari Cattenaccio. Nerreo Rocco dan Helenio Hererra pencetus cattenacio adalah seorang gelandang yang fokus bertahan. Dalam formasi 2-3-5 atau WM saat keduanya jadi pemain, posisi mereka selalu mengisi 2-3 gelandang di depan bek.

Saat menjadi pelatih apresiasi patut diberikan karena kejelian mereka melihat adanya titik lemah pertahanan dalam sistem populer di masa itu. Lewat cattenacio, peran libero bisa lebih termaksimalkan. Posisi libero adalah posisi pertama bagi pemain untuk bebas melakukan zonal marking.
 
Posisi ini sebenarnya ditemukan Karl Rappan di Swiss. Tapi oleh Hererra dan Rocco, peran libero mulai dioptimalkan menjadi dinamo penggerak serangan pertama yang disusun dari belakang. Hadirnya catenaccio mengejewantahkan bahwa tak selamanya yang menyerang itu akan menang, pada tim yang bertahan pun kemenangan bisa didapatkan.

Kejelian cattenacio sebenarnya bagamaina bisa memanfaatkan ruang sempit untuk menyerang ke titik lemah lawan. Dan eksploitasi yang dilakukan Hererra dilakukan di sayap kiri lewat koordinasi Armando Picchi dan Fachetti. Melalui skema itu dia membawa Inter meraih kejayaan lewat La Grande Inter di dekade 60-an.

Marcello Lippi, yang dihadapi Ancelotti dalam final Liga Champions 2003 dalam laga yang mempertemukan Juventus vs AC Milan, dulunya seorang libero yang tumbuh dan berkembang dalam dominasi taktikal yang memberi ruang pada libero sebagai inisiator serangan ini.

Total Footbal Kemampuan Johan Cruyff Melihat Ruang

Dalam perkembangan taktik, selalu ada yang hidup dan mati, dan cattenacio memudar dan berevolusi setelah Inter Milan ditekuk Ajax Amsterdam dalam final Liga Champions tahun 1972. Evolusi taktik pun memasuki dominasi berikutnya, suatu taktik yang identik dengan Ajax Amsterdam dan timnas Belanda, yaitu total football.

Total football memang dipopulerkan Rinus Michel – seorang pelatih yang berposisi sebagai striker saat menjadi pemain. Namun para pemain Belanda sendiri mengakui bahwa Rinus Michel tak berpengaruh banyak dalam pengolahan total football. Si jenius John Cruyff yang mengatur skema itu agar berjalan sempurna di lapangan.

Secara posisi Cruyff memang bukan seorang gelandang bertahan, namun dalam skema total football yang selalu merotasi pemain, maka saat bertahan Cruyff yang kerap diplot sebagai gelandang bertahan. Cruyff memiliki kemampuan bertahan karena di awal karirnya dia pernah bermain dalam posisi dan peran yang mirip seperti libero. Dalam skema total football dialah yang jadi dinamo penggerak saat bertahan dan menyerang.

“Dialah yang menjadi otak dalam tim. Kami membahas bagaimana mengisi ruang sepanjang waktu. Dialah yang menentukan kemana kita harus berlari, kemana kita harus pindah dan di mana kita harus diam," ucap rekan setim Cruyff di timnas dan Ajax, Barry Hulshoff, kepada BBC.

David Winner dalam buku Brilliant Orange menjelaskan bahwa total football adalah taktik yang mengaitkan antara ruang dan cara mengeksploitasinya, karena itu fleksibilitas dan pergerakan pemain mutlak mesti dilakukan untuk mencapai tujuan itu.

Permainan zonal selalu menjadi tipikal dalam total football. Secara sederhana saat bertahan maka pemain wajib menutup segala ruang dan membuat lapangan terasa sempit bagi musuh. Karena itulah total football sering disebut juga sebagai pelopor pressing football.

Saat menyerang malah sebaliknya, ukuran lapangan wajib dibuat seluas mungkin lewat rotasi-rotasi seluruh pemain. David Winner menyebut bahwa penyempurnaan total football sebenarnya terjadi ketika John Cruyff mengimplementasikannya saat melatih Barcelona (1988-1996).

Total football dan cattenacio adalah dua hal yang kontradiktif: bertahan dan menyerang, man to man dan zonal. Fakta berbicara bahwa dua sistem ini disempurnakan oleh para pelatih yang saat jadi pemain sempat memerankan sebagai gelandang bertahan. Ketika ditelaah maka akan didapat kesimpulan bahwa dari dua sistem ini didapat kesamaan: pemanfaatan ruang - entah itu untuk bertahan maupun menyerang.
 
Pemahaman Ruang, Kunci Utama Gelandang Bertahan

Lantas ketika kita mengembalikan semua ini pada hipotesis Jordi Cruyff, sang ayah memberi argumentasi yang mencoba mengafirmasi hipotesis anaknya itu.

"Gelandang bertahan selalu memiliki peran kontrol terhadap pemain di sekelilingnya. Dia mesti melihat ke depan, belakang, kanan dan kiri. Itu sebabnya dia harus memiliki kesadaran yang sangat baik dan kemampuan untuk membuat keputusan dengan cepat. Kesadaran akan ruang adalah bagian mutlak dari seorang gelandang bertahan, area pandangnya yang teramat luas membuat gelandang bertahan adalah bagian terpenting dalam sebuah tim," katanya.

Dalam buku biografinya I think therefore I Play, Andrea Pirlo pun mengutarakan definisi yang cukup menarik "Defensive midfielder looks downfield and sees the forwards. I’ll focus instead on the space between me and them where I can work the ball through. It’s more a question of geometry than tactics. The space seems bigger to me. It looks easier to get in behind – a wall that can easily be knocked down."

Kejelian akan penguasaan ruang, itulah kunci utama seorang gelandang bertahan. Apa yang diucapkan Cruyff dan Pirlo sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ilmuwan di Brazil dengan meneliti daya periferal pemain sepakbola. Daya periferal adalah kemampuan melihat lingkungan ke samping dan belakang tapi arah pandangan pemain itu tertuju ke arah depan. Dibandingkan posisi lain, rata-rata gelandang bertahan memiliki daya periferal yang lebih tinggi.
 
Patrick Vieira kepada FourFourTwo menegaskan gelandang bertahan memaksa pemain untuk harus selalu sadar siasat. Kata Vieira, “Untuk melakukan ini, Anda perlu berbicara banyak pada tim dan selalu menggunakan otak Anda, karena cukup sering Anda harus berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat . Anda harus menutup kesenjangan antara lini tengah dan empat bek di belakang, menutup penuh fullback kiri dan kanan ketika mereka naik ke depan dan bek tengah ketika mereka mendorong lebih lanjut atas lapangan."

Berbeda dengan pemain tengah lain, saat menyerang seorang gelandang bertahan mesti tetap awas meliat kondisi di belakangnya. Karena dia menjadi palang pintu pertama saat menerima serangan balik. Perannya yang kompeks kadang harus awas seperti seorang bek tengah.

Gelandang Bertahan dan Evolusinya yang Rumit

Selalu ada stereotip bahwa gelandang bertahan adalah pemain dengan tugas dan tipikal destroyer. Pemain yang memiliki passing buruk, tapi wajib punya kecepatan, antisipasi, dan tekel serta siap beradu badan dan kaki dengan siapa pun. Lantas ketika muncul istilah deep-lying midfielder, holding midfielder, anchor-man, box to box midfielder, advanced playmaker dan istilah-istilah njlimet lainnya , banyak yang dengan mudah memberi cap istilah-istilah itu bukan padanan yang pas bagi gelandang bertahan.

Tentu saja itu tidak tepas. Jika menarik garis waktu jauh mundur ke belakang dan menengok kembali evolusi taktik sepakbola, peran gelandang bertahan yang membantu penyerangan dengan berbagai macam teknik, taktik dan pengembangan-pengembangan lain sebenarnya sudah terjadi di masa lampau. Apa yang terjadi saat ini adalah pengulangan dengan berbagai modifikasi yang sebenarnya tak terlalu signifikan.

Namun dengan segala kompleksivitas tugas yang diembannya, wajar saja jika pelatih-pelatih mantan gelandang bertahan biasanya selalu memiki kemampuan menelaah dan mengolah taktikal lebih tinggi ketimbang posisi pemain lainnya. Pengalamannya saat bermain membuat dia tahu lebih dalam bagaimana cara bertahan dan menyerang.

Seorang striker tentu tahu banyak bagaimana caranya membongkar pertahanan. Seorang pemain bertahan jelas punya pemahaman mengenai bagaimana membangun benteng pertahanan yang solid. Tapi yang punya pemahaman dan pengalaman yang nyaris seimbang soal bagaimana menyerang dan bertahan, jawabannya tentu adalah seorang gelandang bertahan.

Karenanya patut ditunggu, pada laga final Liga Champions nanti, siapakah yang akan jadi terbaik di antara para pelatih berlatar belakang gelandang bertahan. Apakah gelandang bertahan yang bertipikal destroyer seperti "El Cholo" Simeone ataukah gelandang flamboyan seperti "Don Carlo" Ancelotti?

====

*ditulis oleh @aqfiazfan dari @panditfootball

(roz/cas)

Hide Ads