Atletico Madrid vs Real Madrid: Fatamorgana Ibukota Spanyol

Atletico Madrid vs Real Madrid: Fatamorgana Ibukota Spanyol

- Sepakbola
Sabtu, 24 Mei 2014 12:35 WIB
Getty Images/Gonzalo Arroyo Moreno
Jakarta -

Seperti kebanyakan kota di Eropa, Madrid sedang mengalami musim semi. Namun, musim semi ini berbeda dengan yang sudah-sudah. Tak hanya bunga yang mengembang, senyum-senyum simpul penduduk Madrid pun demikian.

Betapa bangga mereka. Dua tim terbaik dari ibu kota berhasil mencapai partai puncak Liga Champions musim ini. Sebuah raihan yang memang belum pernah didapatkan oleh sekian banyak kota-kota maju di Eropa sana.

Ya, Atletico Madrid akan bertemu dengan Real Madrid di Lisbon, Portugal, Minggu (25/5) dinihari WIB nanti. Yang satu ingin menggondol trofi kompetisi Eropa level teratas pertama mereka, sedangkan yang satunya lagi ingin menggenapi raihan 'Si Kuping Besar' menjadi sepuluh biji.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siapapun pemenangnya, entah itu Atleti ataupun El Real, jalanan ibukota Spanyol pasti akan dipenuhi oleh para penggemar sepakbola. Kembang api, parade, pesta, bir, dan dansa, semuanya sudah disiapkan untuk menyambut sang juara.

Namun, setelah pesta usai, apa yang hendak dilakukan oleh sebagian penduduk kota Madrid? Mereka semua akan bersatu padu memegangi kepala mereka. Bukan! Bukan karena efek dari terlalu banyak menenggak minuman keras. Tapi karena bingung: hendak makan apa esok pagi?

Begitu juga dengan pemerintah. Setelah selesai melakukan perayaan, yang dapat dipastikan meriah, mereka juga akan terserang sakit kepala mendadak. Para pejabat dipaksa memutar otak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana cara keluar dari krisis ekonomi? Bagaimana pula cara mengurangi pengangguran di ibukota?

Lain dari yang Lain

Menurut seorang jurnalis kawakan Jerman, Norbert Seitz, kondisi politik atau ekonomi suatu negara biasanya berbanding lurus dengan prestasi sepakbola negara tersebut. Maksudnya, jika situasi politik suatu negara kondusif, atau keadaan ekonomi negara tersebut stabil, biasanya sepakbolanya akan meraih prestasi.

Namun Spanyol, atau Madrid pada khususnya, memang tidak biasa. Ketika Spanyol masih belum bisa keluar dari krisis ekonomi yang melanda, dan angka pengangguran di Madrid masih saja tinggi, sepakbola justru menunjukkan kemajuan yang pesat.

Sejak dilanda great depression pada tahun 2008, perekonomian negeri matador itu memang belum sepenuhnya pulih. Pada akhir 2013 saja bank sentral Spanyol menyatakan bahwa hutang publik menyentuh angka 961 miliar Euro, atau 94,02% dari Produk Domestik Bruto mereka. Dan nyatanya angka itu merupakan yang tertinggi sejak 1994.

Untuk negara sekelas Spanyol, ini benar-benar memilukan. Apalagi sebelumnya Spanyol adalah salah satu negara dengan perekonomian terbesar ke-4 di Uni Eropa.

Memang, krisis ekonomi ini sempat diredam dengan cara memperlambat laju inflasi. Jika pada medio 2012 sebesar 7.5%, lalu sempat mencapai kisaran 4% saja. Namun ini hanya bertahan sebentar, karena naik lagi sebesar 0,37% pada bulan April 2014.


 
Grafis angka inflasi Spanyol dari waktu ke waktu.

Praktis, tingginya inflasi berdampak terhadap meningkatnya angka pengangguran di negara yang terletak di Semenanjung Iberia itu. Sampai-sampai, angka pengangguran di negara yang diperintah Raja Juan Carlos I itu mencapai 20,43% di penghujung 2013.

Angka persentase ini adalah tingkat pengangguran tertinggi sejak 1976.

Ibukota dan Imbasnya

Sederhana saja, ketika sebuah negara tersengat krisis, maka ibukota-lah yang menjadi korbannya. Demikian pula kota Madrid hari ini.

Tidak stabilnya perekonomian Spanyol telah berdampak pada meningkatnya angka pengangguran di Madrid. Pasca krisis, sektor-sektor ekonomi unggulan kota semacam pertanian, industri, konstruksi dan bangunan, ataupun jasa, ternyata tak mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Hal inilah yang kemudian menjadikan angka pengangguran di kota itu terus saja meloncak sejak tahun 2008.



Grafis perbandingan angka pengangguran Spanyol dan Madrid dari waktu ke waktu.

Tingkat pengangguran di Madrid (25,93%) jelas lebih tinggi jika dibandingkan dengan London yang hanya sebesar 6,8% pada tahun yang sama. Atau, jika dibandingkan dengan Paris yang hanya “menampung” pengangguran sebesar 3.8%.

Lantas jika perekonomian Spanyol tak kunjung stabil, dan dengan banyaknya orang-orang muda yang tak bisa mencari kerja, mengapa Real Madrid bisa memborong banyak bintang lapangan hijau? Cristiano Ronaldo, yang dibandrol Manchester United 80 juta poundsterling, mampu diangkut. Demikian pula Gareth Bale yang dihargai 100 juta poundsterling oleh Tottenham Hotspur.

Hak Istimewa

Tak perlu heran jika Real Madrid bisa membeli banyak sekali bintang-bintang mahal. Mereka memiliki sponsor yang teramat banyak untuk hitungan sebuah tim sepakbola. Setiap musim, ada saja bintang baru yang ditempatkan di gugusan Los Galacticos. Aliran dana dari sponsor dan hak siar televisi juga tak pernah berhenti untuk Los Merengues.

Apalagi mereka juga diberikan keringanan pajak oleh pemerintah Spanyol. Sejak 1990, Madrid dan keempat klub lainnya, Barcelona, ​​Athletic Bilbao, Osasuna dan Atletico Madrid, memang diberi hak istimewa. Ini terkait status kepemilikan kelima klub itu yang dipegang oleh para anggota (socios). Sehingga, sebagai klub profesional, mereka tak diwajibkan untuk memiliki badan hukum berbentuk perseroan terbatas. Pengecualian itu menyebabkan kelimanya dikenakan tarif pajak 5% lebih rendah dari tim-tim lainnya.

Sudah dipermudah, klub-klub ini kadangkala juga "diperbolehkan" juga untuk mengemplang pajak. (baca: Atletico Madrid: Bandit yang Menyaru jadi Robin Hood).

Tak hanya soal pajak, El Real pun pernah mendapatkan beberapa bantuan (subsidi) dari pemerintah. Bahkan, karena kelewat baik, pemerintah kota Madrid itu rela mengeluarkan kocek sebesar 22,7 juta Euro untuk membeli sebidang tanah bekas pusat latihan Real Madrid pada tahun 2011.

Dana sebesar itu digunakan Los Blancos untuk menstabilkan neraca keuangan klub. Padahal dewan kota Madrid sendiri mendapatkan dana tersebut dari berhutang.

Atas perilaku pendanaan publik yang kelewat “dermawan” itu, pemerintah Spanyol pun diperiksa oleh Uni Eropa (UE). Menurut UE, kemurah-hatian pemerintah Spanyol itulah yang menyebabkan Negeri Matador tak kunjung lepas dari krisis.

“Kedermawanan di sepakbola ini sesungguhnya kabar buruk bagi semua orang yang telah kehilangan rumah dan pekerjaan,” ujar Jose Luis Centella, salah seorang juru bicara UE pada 2012.

Namun, lewat sosok Menteri Luar Negeri, Jose Manuel Garcia Margallo, para pemangku kebijakan ini coba berkilah. “Pemerintah akan memperjuangkan dan membantu klub-klub Spanyol, karena mereka (klub-klub) merupakan brand dari Spanyol,” ujar Margallo.

Hak istimewa yang diberikan pemerintah Spanyol ini bukannya tanpa alasan. Mereka ingin mendongkrak popularitas La Liga, yang pada awal 2000-an masih kalah pamor dengan Serie A, Bundesliga, ataupun Premier League.

Pada masa lalu, klub-klub La Liga dan divisi bawahnya pun seolah dilindungi asumsi, bahwa jika pemerintah menghukum klub sepakbola yang neraca keuangannya jelek, maka mereka akan kehilangan suara dari para pemilih. Tak heran klub-klub yang bangkrut atau keuangannya bermasalah pun tak diberikan pengurangan poin oleh otoritas pengelola liga (cat: Inggris memberlakukan sistem potongan nilai tersebut).

Dengan adanya keistimewaan dan juga subsidi-subsidi tersebut, klub-klub Spanyol memang dapat membeli banyak pemain bintang dan meningkatkan pamor La Liga.

Kadang kala ini menyebabkan klub-klub Jerman masygul. Sementara pemerintah Jerman menggelontorkan dana ratusan juta Euro untuk membantu pemerintah Spanyol, dan klub-klub Bundesliga berhemat agar mendapatkan neraca keuangan yang sehat, tim-tim matador malah dengan seenaknya menghamburkan duit.
Petakanya, Spanyol tak kunjung keluar dari krisis, sementara hingga 2012 klub-klub menunggak pajak hingga lebih dari 600 juta poundsterling.

Ini bukan uang yang harus dibayarkan pada bank, investor, atau para pemilik modal.

Tapi hutang pada masyarakat Spanyol sendiri, yang hampir seperempatnya tidak memiliki kerja. Yang jaminan sosialnya selalu dikurangi karena pemerintah tidak memiliki kas.

Pada sisi lain, mesti diakui bahwa sepakbola mereka begitu gemilang belakangan ini. Baik klub-klub peserta La Liga, maupun timnas mereka.

Dan final Liga Champions kali ini kembali menjadi bukti. Di tengah keterpurukan ekonomi dan tingginya angka pengangguran, wakil-wakil kota Madrid berhasil mencapai partai pamungkas. Siapapun yang menang, entah Atletico entah El Real, trofi Champions akan mendarat di Madrid. Salah satu kota dengan angka pengangguran tertinggi di Eropa.

Dan ketika partai final Liga Champions usai, baik fans Real Madrid ataupun Atleti tetap saja akan pusing tujuh keliling. Karena mereka tak punya pekerjaan. Karena pemerintah mereka tak mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Karena pemerintah mereka lebih sibuk membangun citra di bidang sepakbola dari pada mengurangi angka pengangguran.

Ah, mungkin saja mereka lupa. Bahwasanya hidup tak sekadar untuk (menonton) sepakbola.

===

Penulis adalah salah satu kolumnis di Pandit Football Indonesia dengan akun twitter @prasetypo.

(mrp/mrp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads