Sepakbola Amerika bangkit dan berkembang karena kebencian. Kebencian yang membuat sepakbola kian populer hingga dinobatkan sebagai olahraga terfavorit kedua di Amerika di bawah basket (dalam konteks rating di televisi).
Tentu saja keraguan masih saja merebak. Bukan sekali dua sepakbola Amerika mendapatkan momentum kebangkitan, seperti saat liga lokal mereka di dekade 1970an diramaikan para megabintang, hingga kesuksesan yang mengagetkan saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994. Toh kultur dan industri sepakbola Amerika tak kunjung menguat.
Inilah agaknya yang membuat keraguan masih tetap membayangi prospek industri sepakbola Amerika. Kareem Abdul-Jabbar, legenda basket NBA, akhir Juni lalu bahkan menulis artikel di majalah TIME dengan judul sinis: Soccer Will Never Be a Slam Dunk in America.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pondasi Utama Yang Dibangun Para Imigran
Sepakbola sebenarnya sudah dikenal lama di tanah Amerika. Sama seperti negara-negara di benua Amerika lainnya, sepakbola telah tumbuh kembang di Amerika sejak akhir abad 19, dibawa para imigran yang bekerja sebagai buruh kapal. Tapi, cerita awal sepakbola di Amerika memang agak berbeda. Sejak dahulu, ketidaktertarikan Amerika terhadap sepakbola seakan sudah disiratkan.
Oke, mereka kontestan Piala Dunia pertama tahun 1930 serta mendulang prestasi yang tak pernah terulang --jadi juara ketiga. Tapi skuat yang berangkat ke Uruguay didominasi para Imigran Inggris yang berganti kewarnegaraan Amerika. Hal serupa terjadi pada Piala Dunia 1938.
Kemudian, pada Piala Dunia 1950, timnas Amerika dikuasai para imigran Hispanik dan Italia. Keberangkatan mereka ke Brasil pun bukan tanpa hambatan berarti. Dana yang seret plus cemoohan dari penduduk Amerika sendiri mewarnai kepergian mereka. Betapa ringkihnya tim ini bisa anda saksikan dalam film Hoolywood berjudul The Game of Their Lives β sebuah kisah yang difilmkan karena insiden kemenangan tipis 1-0 atas musuh bebuyutan mereka, Inggris.
Sepakbola Amerika memang hidup di tengah kukungan kebencian. Setelah tahun 1950, kehidupan sepakbola mereka seolah mati suri. Hidup segan, mati pun tak mau. Sempat booming di tahun 1970an, dengan mendatangkan Pele, Franz Beckenbauer, Chignalia, Johan Cruyff, George Best dan bintang-bintang tenar lainnnya sebagai marquee player di MLS, tapi akhir dekade 80-an liga lokal mereka kembali redup.
Ditunjuk sebagai penyelenggara Piala Dunia tahun 1994 sempat membangkitkan asa itu, namun tak bertahan lama, sepakbola kembali tersisihkan di negara adidaya itu meskipun Amerika semenjak tahun 1994 selalu lolos ke Piala Dunia. Lantas kenapa hal ini terjadi? Kenapa "soccer" tak pernah populer di Amerika dan mesti menunggu hingga sekarang agar sepakbola digandrungi publik?

Ekspesionalisme yang Berlebihan
Untuk mempelajari tetek bengek dari berbagai macam hal, baik itu sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan ekonomi mungkin anda bisa membaca tulisan karya seorang profesor dan guru besar studi ilmu politik University of Michigan yang berjudul The Other "American Exceptionalism" Why Is There No Soccer in the United States? yang terbit tahun 1988.
Inti dari tulisan itu adalah bahwa ada sebentuk eksepsionalisme (keyakinan bahwa sebuah bangsa/masyarakat/kelompok adalah suatu pengecualian karena begitu luar biasa sehingga tak perlu mempelajari/mengikuti cara-cara atau aturan normal) yang dipercaya bangsa Amerika terhadap dirinya sendiri. Mereka merasa "berbeda dengan yang lain", "superior", "luar biasa" β atau "adidaya". Salah satu asumsi teoritis dari eksepsionalisme adalah budaya yang bersifat tertutup, interistik dan kedap terhadap perubahan. Dan kondisi itu juga yang terjadi pada dunia olahraga di Amerika, khususnya sepakbola.
Mengikuti alur berpikir klaim eksepsionalisme itu, maka menjadi agak mudah memahami kenapa sepakbola sulit berkembang di Amerika. Sepakbola, bagi mereka, adalah olahraga masyarakat Eropa. Peradaban Amerika tentu saja lebih tinggi ketimbang Eropa. Sebagai bangsa yang dianggap besar, mereka merasa tak patut menjadi pengekor, pengikut, penjiplak, dan yang sejenisnya. Membiarkan sepakbola populer di Amerika, dalam cara berpikir ini, membuat eksepsionalisme Amerika menjadi luntur.
Ini pula yang disebutkan Kareem Abdul-Jabbar. Ia jugamenggunakan argumentasi berbau eksepsionalisme dalam artikel yang sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini. Tulis Kareem: "Sepakbola tidak mengungkapkan etos Amerika sebagaimana yang dilakukan olahraga populer kami lainnya: kami adalah bangsa pelopor!"

Saking remehnya sepakbola dalam pandangan bangsa Amerika, ada seorang penulis Amerika, Thomas Weir, mengatakan dalam salah satu kolomnya di USA Today: "Membenci sepakbola itu lebih Amerika ketimbang kue pai apel, menyetir mobil bak atau menghabiskan akhir pekan dengan menonton TV."
Dominasi kritik ini biasanya diutarakan kaum konservatif yang memiliki posisi jabatan terpandang di depan publik, entah itu kolumnis, wartawan maupun politikus. Baru-baru ini, kolumnis dan politisi dari Partai Republik, Ann Coulter memberikan komentar lewat akun twitternya terkait boomingnya sepakbola di sana. "I promise you: No American whose great-grandfather was born here is watching soccer. (Saya berani janji, tidak ada orang Amerika yang leluhurnya lahir di sana tapi pernah menonton sepakbola)."
Tapi, sinisme Thomas Weir atau kicauan Ann Coulter itu, jika dibaca dengan kacamata terbalik, juga menegaskan sesuatu yang menarik: bukankah hanya sesuatu yang berpotensi tumbuh dan mengancam sajalah yang bisa dibenci atau tidak disukai dengan cara massif seperti itu?
Amerika Membalikkan Piramida Kelas Sosial di Sepakbola
Jack Kemp, politikus konservatif paling berpengaruh di Partai Republik pada dekade 80-an, tepatnya pada tahun 1986, pernah mencerca dan menentang pengajuan Amerika sebagai negara penyelenggara Piala Dunia di depan sidang Kongres Amerika (DPR).
Kemp yang merupakan mantan pemain American Football menilai sepakbola adalah olahraga kaum sosialis Eropa, berbeda jauh dengan American Football yang disebutnya sebagai olahraga kapitalisme demokratis yang cocok untuk tatanan masyarakat Amerika. Lagi-lagi Kemp mengutarakan argumentasi budaya dengan nuansa eksepsionalisme yang kental.

Seorang redaktur senior di harian New Republic, Franklin Foer, seorang Amerika yang gila bola, dalam bukunya How Soccer Explain The Worlds mengatakan, di negara-negara Eropa atau Amerika Selatan, secara sosiologi lazimnya sepakbola adalah olahraga kelas buruh yang identik dengan kaum sosialis. Amerika malah menjungkirbalikkan struktur kelas olahraga ini. Kaum profesional menengah ke atas yang menggandrungi sepakbola, kaum buruhnya malah acapkali tak peduli.
Survey-survey produsen olahraga menegaskan bahwa anak-anak dan keluarga kelas menengah yang konsisten memainkan sepakbola, setengah pemain bola di Amerika berasal dari keluarga yang memiliki pendapatan 50 ribu dolar per tahun.
Karena itu wajar saja jika saat ini Amerika dianggap sebagai pasar yang begitu menggiurkan, bahkan jika dibandingkan Asia. Real Madrid dan Manchester City tak segan membentuk franchise club di sana. Rutin tiap tahun klub-klub besar pasti berkunjung ke Amerika mengingat Amerika lebih royal menghabiskan uang untuk membeli merchadise klub ketimbang orang-orang Asia.
Bahkan kini, sekelas perusahaan energi yang tak ada sangkut pautnya dengan olahraga, yaitu perusahaan China yang notabene pesaing Amerika dalam bidang ekonomi dan politik, yaitu Yingli Solar, tak segan untuk mulai mengekspansi Amerika dengan menjadi sponsor utama timnas sepakbola Amerika. Dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, Amerika adalah magnet bisnis yang menggiurkan.
Dua Faktor yang Merontokkan American Exceptionalism
Majalah sekelas TIME di bulan juni lalu, tak segan mempublikasikan esai provokatif berjudul How Soccer is Destroying American Exceptionalism. Isinya kurang lebih menjelaskan bahwa pada abad 20, budaya Amerika diadopsi oleh orang lain, tapi Amerika akan bersikeras enggan mengadopsi budaya luar terutama olahraga, khususnya sepakbola.
Sepakbola adalah salah satu produk non-Amerika yang mampu mengikat dunia bersama-sama. Dan olahraga ini adalah link terlemah dalam kontrol hegemonik Amerika atas budaya global. Malah sebaliknya, budaya global sepakbola yang dianggap bisa mengubah gaya hidup Amerika.
Sama seperti anak di negara-negara lainnya, anak-anak Amerika kini sering terlihat mengenakan kaus tim-tim Eropa, semisal Barcelona, Manchester United atau Real Madrid βhal yang di masa-masa sebelumnya tak ubahnya sebuah tabu. Kondisi ini menandakan sepakbola telah membawa angin segar globalisasi yang tak terpatok pada geografi semata, serta mengikis sedikit demi sedikit kebangaan berlebih dalam sisi ekspensionalisme Amerika itu sendiri.

Dulu sepakbola selalu booming saat nasionalisme digalakkan, terutama saat Piala Dunia digelar. Orang-orang akan sedikit menurunkan tensi membenci sepakbola demi mendukung timnas mereka. Pola itu kini berbeda, sepakbola dibicarakan orang setiap saat.
Berbeda dengan NFL (American Football), NBA (Basket), MLB (Baseball) atau NHL (Hockey) yang memiliki jeda waktu pertandingan cukup lama, sepakbola tidaklah demikian. Kalender olahraga sepakbola berlangsung tanpa henti. Jadwal liga-liga Eropa yang padat, plus Liga Champions yang ketat ditambah dengan pramusim yang terus bergulir dan persaingan liga lokal MLS membuat sepakbola tak pernah absen menawarkan hiburan dan tontotan.
Ada dua hal yang jadi penyebab perubahan drastis ini. Pertama, populasi etnik Hispanik yang tumbuh subur di Amerika. Jika pada tahun 2002 populasi mereka hanya 13,3%, kini jumlah itu naik hingga 17 % dari keseluruhan penduduk Amerika.
Dan sepakbola tentu bukan hal yang tabu bagi etnik ini. Terbukti tim-tim MLS yang memilih homebase di kota-kota yang didominasi etnik latin seperti daerah Amerika Selatan dan pesisir pantai barat tak pernah sepi penonton. Rataan penonton per pertandingan di daerah-daerah itu selalu lebih dari 80% dari kapasitas stadion.
Persaingan dua televisi Amerika berbahasa Spanyol, Telemundo dan Univision, yang rela menggelontorkan miliaran dolar demi mendapatkan hak siar Piala Dunia dan liga-liga Eropa jadi penegas bahwa pasar Hispanik adalah penopang kebangkitan sepakbola di Amerika.
Jesse Zwick, jurnalis di New Republic, dalam kolomnya berjudul Latino Immigrationand US Soccer, menjelaskan bahwa dalam pandangan etnik Hispanik-Amerika sepakbola adalah kegiatan jantan yang dibumbui hal-hal romantis yang cocok sesuai dengan budaya mereka.
Kedua, menggeliatnya animo sepakbola di Amerika karena didukung generasi muda. Pada tahun 1974, hanya 103.432 pemuda yang terdaftar sebagai pemain sepakbola. Pada tahun 2012, angka itu melonjak menjadi lebih dari tiga juta orang, dan 70% di antaranya berusia 6-17 tahun.
Berdasarkan data sosial Nielsen dalam soal vokal dukungan terhadap timnas di Piala Dunia, dari 30 juta tweet 73% di antaranya diberikan oleh fans berusia 18-34 tahun. Jumlah rataan umur penonton di MLS pun didominasi oleh kalangan umur 25 tahun ke bawah.
Angka ini melonjak tajam pada tahun 2010 dimana saat itu kenaikan penonton dewasa, khususnya yang berusia muda, naik hingga 87 %. Inilah yang menyebabkan MLS masuk sebagai 8 Liga terbesar di dunia, di bawah liga-liga Eropa, dan di atas liga-liga Asia (tak terkecuali J-League).
Lebih dari 50% populasi Amerika, atau 150 juta orang lahir sesudah tahun 1980. Generasi ini tampaknya sudah berlepas diri dari generasi sebelumnya yang amat membenci sepakbola. Arus globalisasi yang semakin deras dengan akses internet dan media sosial yang populer membuat generasi muda ini tumbuh dalam ruang budaya dan informasi yang boleh jadi sama dengan manusia di bumi lainnya yang menggemari sepakbola.
Bagi kaum konservatif mungkin ini adalah bencana, namun bagi kaum kapitalis ini mungkin berkah. Karenanya produk-produk semacam Pepsi, McDonald, Coca-cola, Nike dan sebagainya tak perlu lagi jauh-jauh ke Eropa atau Asia untuk memasarkan produk mereka melalui sepakbola. Kini sepakbola membuat mereka dengan mudah menguasai dan jadi raja di negeri sendiri.
Maka sepakbola pun disambut dengan tangan terbuka. Inilah USA yang lain: United Soccer of America.

===
* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball (a2s/roz)