"Hal yang paling ditakutkan adalah akan terjadi kekacauan di masa mendatang. Pemain dan para staf akan kebingungan lalu mengambil langkah masing-masing. (Mauricio) Pocchettino tak akan ragu untuk meninggalkan kapal yang terancam tenggelam ini, jika sebuah tawaran menarik datang, apalagi dari sebuah tim yang lebih berpotensi."
Kata-kata ini dituliskan Martin Samuel dalam artikelnya yang dimuat di Dailymail pada 17 Januari lalu. Tulisan tersebut merujuk kisruh yang sedang terjadi di tubuh Southampton.
Lima bulan berselang, kecemasan itu jadi kenyataan. Sang manajer dan sejumlah pemain yang berhasil mengantarkan Southampton menjalani musim yang mengesankan, berbondong-bondong angkat kaki dari St. Mary's Stadium.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Southampton sejatinya bisa dikategorikan sebagai tim semenjana. Sejak berdiri pada 1898, tim yang bermarkas di St. Mary's Stadium ini melakukan yang kebanyakan terjadi pada tim medioker: bermain di divisi bawah, bergelut di jurang degradasi sepanjang musim, berganti-ganti pelatih, dan berkutat dengan krisis finansial.
Puncaknya adalah ketika Southampton bermain di divisi League One pada 2009. Krisis keuangan pun membuat klub ini mendapat sanksi administrasi berupa pengurangan 10 poin. Akibatnya, "Soton" hanya mampu ada di peringkat 7 pada akhir musim.
Angin perubahan mulai berembus ketika seorang hartawan asal Swiss bernama Markus Liebherr mengambil alih kepemilikan klub pada awal musim 2009-2010. Beberapa laporan menyatakan bahwa Liebherr mengeluarkan kocek sebesar 14 juta poundsterling untuk membeli Southampton.

Liebherr lalu menunjuk seorang bankir asal Italia, Nicola Cortese, sebagai pengambil segala keputusan akhir. Mulai dari belanja dan penjualan pemain, perpanjangan kontrak, perekrutan manajer, sampai dengan pemecatan manajer, semua berada di tangan Cortese.
Cortese dan Liebherr kemudian menyempurnakan akademi Southampton yang sejak dahulu dikenal sebagai salah satu akademi terbaik di Inggris. Keduanya ingin meniru konsep akademi La Masia (Barcelona) yang sering melahirkan pemain-pemain bertalenta. Liebherr pun tak ragu menggelontorkan dana besar untuk membangun sarana dan prasarana akademi Southampton.
Semua mulai berubah ketika Liebherr meninggal pada 2010 karena serangan jantung. Kepemilikan klub beralih pada putrinya, Katharina Liebherr. Meskipun demikian, pada masa awal kepemimpinan Katharina, segala keputusan klub tetap berada di tangan Cortese karena Katharina tak begitu menyukai sepakbola.
Di bawah kepemimpinan Cortese, Southampton mulai kembali "berlayar". Keputusan-keputusannya berhasil mengantarkan Southampton kembali ke EPL dalam kurun waktu 3 tahun. Ia adalah orang yang secara kontroversial memecat manajer Alan Pardew dua pekan sebelum League One dimulai pada 2010, dan menggantikannya dengan Nigel Adkins, pelatih yang kemudian sukses membawa Southampton kembali ke EPL.
Mendatangkan Rickie Lambert, Jason Puncheon, dan Jose Fonte dengan total transfer Β£2,5 juta pada musim pertama di EPL, Cortese terus menyarankan Adkins agar memberdayakan pemain akademi. Ketika itu, 7 pemain akademi bersaing bersama pemain senior, di antaranya Adam Lallana dan Alex-Oxlade Chamberlain.
Pun dengan musim berikutnya. Cortese tak menghamburkan uang untuk membeli pemain, meski ia bisa melakukannya. Sang bankir hanya merogoh kocek sebesar Β£3,2 juta untuk mendatangkan Jack Cork, Jos Hooived, Billy Sharp, Danny Cox, dan Tadanari Lee, sementara generasi akademi berikutnya, seperti Sam Hoskins, Alberto Sidi, dan James Ward-Prowse dipromosikan ke tim senior.
Nama-nama di atas adalah pemain-pemain yang masih diandalkan Soton hingga musim lalu. Cortese memang selalu mengusahakan agar pemain andalannya bertahan untuk membangun fondasi yang kuat. Ia percaya, bahwa bermain di Liga Champions bukan mimpi siang bolong belaka.
Di musim pertama Soton berada di EPL, Cortese sadar bahwa klubnya tak memiliki skuat yang cukup bisa bersaing. Namun ia juga tak mau klub memiliki pengeluaran terlalu besar. Oleh karena itu, ia terpaksa menjual salah satu pemain andalannya agar bisa aktif di bursa transfer.
Chamberlain adalah pemain pertama produk asli Southampton di bawah kepemimpinan Cortese yang dijual ke tim besar. Arsenal merekrutnya dengan nilai transfer sekitar Β£12 juta pada 2011.
Mendapatkan dana segar dari penjualan Chamberlain, Southampton pun mulai lebih berani untuk aktif di bursa transfer. Cortese adalah juru transfer ulung. Total sembilan pemain berhasil didatangkan dengan biaya transfer hanya sekitar Β£36 juta, di antaranya Steven Davis, Arthur Boruc, Maya Yoshida, Paulo Gazzaniga, Nathaniel Clyne, Gaston Ramirez, dan Jay Rodriguez.Namun penampilan Soton di musim pertama kembali di EPL sangat mengecewakan Cortese. Dengan pemain yang menurutnya bisa bersaing di papan tengah, Soton malah hanya meraih 5 kemenangan di semester pertama.
Cortese pun kembali "berulah" dengan memecat Adkins. Ia kemudian menunjuk Pocchettino untuk menjadi manajer Soton berikutnya.
Pemilihan Pocchettino ini sejatinya tak direncanakan Cortese. Ketika pertama bertemu Pocchettino di Espanyol, ia hanya ingin melakukan scouting pemain dan bukan menariknya sebagai pelatih.
Namun insting Cortese nyaris tak pernah salah. Meski pada akhir musim timnya hanya berada di peringkat ke-14, permainan Soton saat itu cukup menyenangkan para fans. Tak aneh memang karena Pocchettino hanya menderita 5 kekalahan.
Terjadinya Kisruh
Musim 2013/2014 berjalan cukup sesuai rencana. Tak ada pemain yang dilego karena tim mengalami krisis keuangan. Justru sebaliknya, kondisi ekonomi tim makin sehat, seolah mencerminkan kemampuan Cortese sebagai bankir hebat.
Tiga pemain baru didatangkan dengan nilai transfer Β£36 juta, yaitu Pablo Osvaldo, Dejan Lovren, dan Victor Wanyama. Tujuannya untuk membuat Soton bisa bermain di kompetisi Eropa.
Semuanya (sempat) berjalan sesuai rencana. Hingga akhir November, Soton berada di peringkat 4 klasemen.
Namun masalah muncul ketika sang pemilik klub, Katharina Liebherr, yang tak memiliki pengalaman menangani klub sepakbola itu memutuskan untuk ikut terlibat. Pernyataan mengejutkan muncul dari Katharina yang berkata bahwa ia akan mendatangkan seorang CEO khusus untuk menangani segala urusan.
Pernyataan itu seolah pengusiran secara halus untuk Cortese. Akan tetapi, ia sadar bahwa ia tak memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari bosnya. Akhirnya, pada 15 Januari 2014, Cortese mengirimkan email surat pengunduran diri pada pengacara Katharina karena merasa tak lagi dibutuhkan.
Sebelum meninggalkan ruangan kerjanya di stadion St. Mary, Cortese sempat didatangi Pocchettino yang sangat terpukul atas pengunduran dirinya. Bagaimana pun juga, Cortese adalah orang membawa Pocchettino mencicipi sepakbola Inggris.
Menurut beberapa sumber, Pocchettino sampai menitikkan air mata saat Cortese menyampaikan perpisahan terakhir pada para staf Southampton.
Keesokan paginya, ketika tim sedang menjalani latihan, para pemain pun tampak terpukul dengan kenyataan bahwa orang yang memiliki hubungan baik dengan siapa pun itu telah meninggalkan klub.
Di dalam tim, Cortese adalah satu-satunya orang yang terus meyakinkan mereka untuk meraih mimpi bermain di EPL sejak Soton bermain di Championship. Ia juga yang selalu meyakinkan para pemainnya untuk menggapai mimpi bersama Southampton, hal yang membuat Rickie Lambert mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan West Ham pada akhir musim 2013.
"Kami semua profesional. Tapi kami pun manusia, memiliki hubungan khusus dengan manusia lainnya. Kami semua sedih," ujar Pocchettino pada Dailymail selepas latihan usai. "Saya tak tahu masa depan tim ini akan seperti apa tanpa Cortese. Yang saya tahu ia adalah orang seorang motivator dan negotiator yang baik."
Di saat bersamaan, Pocchettino pun menceritakan pertemuan singkatnya dengan Katharina. "Hai, saya Katharina. Selamat tinggalβ hanya itu yang dikatakan pemilik klub,β kata pelatih asal Argentina itu, βIa adalah seorang yang tak mengetahui apa-apa tentang sepakbola, tapi memiliki orang yang memiliki pengetahuan tentang sepakbola."
Pocchettino tampaknya tak begitu nyaman dengan manajemen baru. Tak aneh gosip kepindahannya semakin santer diberitakan.
Meski demikian, Pocchettino dan anak asuhnya mampu bermain cukup gemilang di laga sisa, sehingga berhasil finish di urutan ke-8 pada akhir musim. Total 56 poin pada musim lalu merupakan prestasi terbaik Soton di Premier League.
Akan tetapi kegemilangan Soton itu malah memakan korban. Begitu bursa transfer musim panas musim 2014-2015 dibuka, sejumlah pemain inti ditawar dengan harga cukup tinggi. Manajemen pun tergiur dengan beberapa tawaran. Apalagi setelah Pocchettino memutuskan untuk hijrah ke Tottenham Hotspur.
Eksodus besar-besaran semakin tak terelakkan
Ini tak sesuai dengan apa yang dikatakan Direktur Eksekutif Soton, Les Reed, sebelum bursa transfer dibuka, bahwa Southampton bukanlah tim penjual pemain.
Namun, ketika Rickie Lambert, Luke Shaw, dan Adam Lallana hengkang, Reed kemudian mengoreksi pernyataannya tersebut, "Kami bukanlah tim penjual, tapi jika pemain ingin hengkang dan situasi memungkinkan mereka untuk pindah, kami akan melepasnya."
Callum Chambers dan Dejan Lovren pun menyusul pergi. Jika ditotal, Soton telah mendapatkan Β£105 juta dari penjualan lima pemain tersebut. Hal yang tak mungkin dilakukan Soton jika saja Cortese masih berada di tim.

Akhir dari Mimpi Southampton
Apa yang terjadi saat ini, sama persis dengan apa yang dikatakan Martin Samuel, pada 17 Januari lalu. Martin tentunya bukan seorang cenayang. Ia hanya seorang jurnalis untuk sebuah media Inggris bernama Dailymail. Namun, ia tahu bahwa kesuksesan Southampton yang diraih saat ini adalah merupakan visi seorang Nicola Cortese.
Namun belum tentu kejadian ini akan membuat Southampton kembali terpuruk, atau tenggelam seperti yang dikatakan Martin.
Soton telah menunjuk Ronald Koeman sebagai suksesor Pocchettino. Koeman tentunya tak seperti Pocchettino yang baru pernah menangani dua tim dalam karier kepelatihannya. Koeman adalah pelatih sarat pengalaman dan prestasi. Ia pernah melatih Vitesse, Ajax, Benfica, PSV, Valencia, AZ, dan musim lalu Feyenoord. Prestasi terbaiknya adalah, Koeman pernah meraih tiga titel juara Eredivisie (2 Ajax dan 1 PSV).
Ia juga sudah dikenal sebagai pelatih yang bisa memaksimalkan bakat-bakat pemain yang diasuhnya. Ketika di Feyenoord, misalnya. Stefan De Vrij, Luc Castagnois, Ron Vlaar, Bruno Martins Indi, dan Jordy Clasie adalah sedikit nama lulusan akademi Feyenoord hasil dari tangan dinginnya.
"Saya tidak akan datang ke Southampton jika saya berpikir tim ini akan melangkah mundur," ujar Koeman setelah mendatangkan Graziano Pelle.
Bersama pelatih sekelas Koeman, mungkin Southampton tak akan tenggelam sebagaimana yang diucapkan Martin. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, Southampton saat ini telah menjadi Southampton yang berbeda. Karena saat ini Southampton telah melenceng dari yang dicita-citakan Markus Liebherr dan Nicola Cortese, kedua aktor kebangkitan Southampton.
Menjual pemain bintang mungkin bukan suat hal yang buruk karena akan sangat menguntungkan dari segi finansial. Tapi saat ini seharusnya Southampton bukan lagi tim medioker yang hanya mengharapkan aliran poundsterling agar bisa terus menjaga keberadaan di liga kasta atas, melainkan sebuah tim yang sedang merajut mimpi untuk bermain di Liga Champions.
Dan mimpi itu makin lama terlihat kian memudar.
===
* Ditulis oleh @panditfootball Website: www.panditfootball.com
(a2s/din)











































