Jangankan dunia internasional, bagi penduduk Italia pun sepakbola sudah jadi bagian tak menarik. Berkurangnya jumlah penonton yang hadir di stadion dari tahun ke tahun menjadi penegas hal itu.
Lepas dari budaya korup, atau kelicikan yang selalu identik dengan pengelolaan sepakbola, satu hal yang membuat orang enggan menyaksikan Liga italia adalah sifat anarkis dan rasis yang kerap dihadirkan oleh para ultras di dalam stadion-stadion (baca: Ultras dan Kemunduran Sepakbola Italia).
Ya, berbeda dengan Inggris, Spanyol, atau Jerman, yang penontonnya didominasi oleh penonton biasa, stadion Serie-A dikuasai kelompok ultras.
Ironisnya kekuasaan itu kadang diberikan oleh pihak klub sendiri.
Hubungan Ultras dan Politisi
Di Italia, keberadaan ultras kerap jadi perdebatan. Salah satunya karena ulah negatif mereka seolah dibiarkan oleh pemerintah dan kepolisian. Pejabat tinggi kepolisian Italia yang bergelar doktor, Dommenico Mazzilli, pernah mengadakan penelitian terkait ultras ini.
Dia mengakui bahwa keberadaan kelompok suporter garis keras itu adalah noda pada tubuh politik Italia. Berbeda dengan Inggris dan negara-negara Eropa lain, pada mulanya ultras Italia merefleksikan tiga elemen identitas: klub yang mereka dukung, huru-hara politik, dan paramiliterisasi Italia selama dekade 1970-80an.
Muncul kekhatiran karena ideologi politik yang dibawa oleh ultras mencapai dua kali lipat dibandingkan partai politik. Apalagi ultras juga siap melakukan tindak kekerasan dan potensi tak terduga lainnya untuk memperjuangkan ideologi yang mereka anut.
Anehnya, Mazzilli menegaskan bahwa pada masa sekarang ultras bukan ancaman serius bagi demokrasi parlementer yang Italia anut.
Studinya mengungkapkan bahwa sebenarnya ultras “tak sungguh-sungguh tertarik pada huru-hara dalam politik”. Sifat lantang berteriak yang mereka lakukan pun sebenarnya semu.
Bagi ultras, orang-orang di parlemen sudah cukup mewakili suara politik mereka. Karenanya ada hubungan akrab antara politisi dan kelompok ultras. Keduanya silih memanfaatkan walaupun secara sembunyi-sembunyi.
Ultras Italia dan Musuh-musuhnya
Meski pada awalnya ultras antar satu klub dan lainnya bertentangan satu sama lain, selama 20 tahun terakhir dalam diri Ultras telah berkembang sebuah kesadaran politik untuk menyerang tiga hal yang akan jadi penghalang eksistensi ultras secara keseluruhan.
Tiga hal itu adalah media, polisi, dan federasi sepakbola Italia.
Seorang Doktor di Brunel University, Alberto Tesla, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul The Italian Media and Ultra smenjelaskan bahwa ada kebencian mendalam antara pihak media dan ultras, sehingga hubungan keduanya selalu meruncing.
Dalam jurnal tersebut, Alberto Tesla mewawancarai Franco Arturi wakil direktur La Gazzeta Dello Sport. Secara gamblang Arturi mengatakan bahwa ultras adalah kelompok buangan dari masyarakat sipil Italia. Karenanya, untuk mengendalikan mereka, butuh intervensi kuat dari negara.
Arturi juga menegaskan bahwa pers harus melawan ultras. Keberadaan curva yang bebas dari teritori hukum dan polisi membuat tribun stadion jadi tempat berkumpulnya preman-preman dan bajingan-banjingan.
Di lain sisi, ultras beranggapan media bertindak sebagai alat untuk melayani kepentingan sistem. Selain itu, ultras pun percaya bahwa propaganda media yang lebih memihak mereka para pemilik yang membuat nilai-nilai adiluhur dalam sepakbola Italia mulai tergerus.
“Mereka hanya menulis apa yang mereka inginkan tanpa bertanya cerita versi kita dan apa yang kami lakukan. Jika ada masalah di stadion mereka mengecap itu semua kesalahan kita, beranggapan kita adalah preman ceroboh, yang fasis dandelusional. Saya tegaskan: wartawan adalah bajingan," ucap seorang petinggi Irriducibilli, Lazio.
Musuh kedua ultras adalah polisi.
Sebenarnya hal ini tak usah dibahas terlalu dalam. Dari kasus penembakan suporter Lazio, Gabriel Sandri, oleh polisi pada tahun 2007, kita dapat melihat bagaimana kebencian mereka kepada polisi sudah bulat dan vokal.
Insiden kematian Sandri menimbulkan kerusuhan meluas antara ultras dan polisi di seluruh penjuru Italia, baik di kelompok berideologi sayap kiri atau sayap kanan. Kantor-kantor polisi diserang, dan ultras sengaja membuat onar hingga sepakbola Italia dihentikan selama satu pekan.
Kebencian pada polisi mulai merebak selama dekade 1980-an saat fans Italia mulai mengadopsi hal yang dilakukan Hooligans kasual di Inggris. Pada masa ini, jumlah kehadiran polisi di stadion meningkat berkat semakin meningkatnya intensitas kekerasan dalam stadion.
Tapi hal ini membuat kelompok Ultras kian marah. Lantas, sentimen anti kemapanan yang selalu identik dengan mereka mulai bergeser menjadi anti-polisi.
Musuh Ultras lainnya adalah federasi. Namun, bagi ultras, media lebih mudah dikendalikan dibandingkan dengan media dan polisi. Untuk menekan kekerasan dalam sepakbola, tahun 2007 FIGC bersama kementrian dalam negeri sempat membuat aturan yang tertuang dalam Decreto Pisanu. Namun, mengutip pepatah Italia, "aturan tetaplah aturan dan aturan dibuat untuk diingkari".
Dua Tokoh Antagonis yang Tenar di Final Coppa Italia
Beberapa bulan lalu wartawan koran La Repubblica, Gianfrancesco Turano, membuat laporan investigasi menarik yang mengaitkan keterlibatan organisasi kriminal mafia dengan ultras.
Apa yang dilakukannya tak lepas dari sosok dua nama yang diperbincangkan pada bulan Mei lalu, saat terjadi insiden penembakan diluar laga Napoli kontra Fiorentina. Dua orang yang diperbicangkan itu adalah Daniele De Santis dan Gennaro De Tomasso.
De Santis adalah pemimpin Ultras Roma sekaligus tersangka penembakan Ultras Napoli saat final Coppa Italia itu. De Santis adalah orang bermasalah. Tahun 2004 lalu ia berusaha menghentikan laga derby Roma setelah mendapat kabar seorang anak tewas ditembak polisi. Bersama anak buahnya dia menghampiri Fransesco Totti dan mengancam akan membunuh pemain Roma jika pertandingan tetap di gelar.
Usai pertandingan, De Santis ditangkap dan dipenjarakan polisi. Anehnya tak lama kemudian pengadilan memutuskan membebaskannya. Penjara bukanlah hal baru dalam kehidupan De Santis. Ia pernah ditangkap pada 1996 karena memeras presiden AS Roma Franco Sensi, menuntut memberikan uang untuk membayar spanduk dan biaya perjalanan tandang kelompoknya.
Sosok kedua adalah Gennaro De Tomasso, dia lebih dikenal sebagai "Genny si Pembuat Onar". Ia sangat disegani di kelompok Ultras Napoli karena dia adalah anak dari bos Mafia Cammora – sebuah organisasi kriminal rahasia yang ditakuti di Italia selatan.
Genny adalah sosok yang bermasalah. Ia pernah diduga terlibat kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan jual beli narkoba. Tahun 2007 lalu Genny pernah membuat ulah dengan mengenakan T-shirt yang bertuliskan pujian atas aksi seorang suporter Catania, Antonino Speziale, yang membunuh seorang perwira polisi pada kerusuhan derby Sicilia.
Seolah tak jera, pada pertandingan final Coppa Italia antara Napoli dan Fiorentina, ia juga menyerukan pembebasan suporter Catania itu lewat pesan yang tertera dalam kausnya bertuliskan "Speziale Libero".
Hal ini membuat seluruh negara berang. Bagaimana mungkin seorang pembunuh bisa mendapat tempat di sepakbola Italia? Sejatinya Genny tak boleh hadir di Olimpico mengingat dia masih menjalani masa hukuman tak boleh mendukung Napoli selama 5 tahun akibat keonaran yang ia ciptakan 2010 silam. Tapi Hukuman tetaplah hukuman, soal diataati atau tidak itu urusan lain.
Ultras, Pemerasan, dan Organisasi Kriminal
Hubungan mafia dan ultras memang mendarah daging pada klub-klub besar di Italia. Kedekatan Ultras dan mafia kadang membuat pemilik klub menjadi ciut. Coba tengok jawaban Aurelio De Laurentiis saat wartawan menanyaninya tentang ulah yang dilakukan pendukung Napoli: “Para suporter memberikan hati dan gairah mereka sepanjang hayat untuk klub. Jadi, jika saya berbicara dengan mereka tanpa kawalan polisi sekalipun, buat saya itu adalah bentuk tanggung jawab saya untuk para suporter”
Saat memenangkan Coppa Italia De Laurintiis malah merayakan kemenangan bersama sama Ultras sambil menyanyikan yel-yel "Romano bastardo." – diketahui Ultras Napoli tak akur dengan Ultras AS Roma.
Di AC Milan ada sosok Giancarlo Lombardi yang identik dengan perampokan, penganiayaan dan percobaan pembunuhan kepada Andrea Galliani.
Di Lazio ada Fabrizio Piscitelli pimpinan Irriducibilli yang kini mendekam di penjara akibat terlibat perdagangan narkoba.
Loris Gancini sosok yang dihormati di kelompok Viking Curva Sud Juventus dikabarkan memiliki hubungan dekat dengan mafia Cosa Nostra dan klan Calabria dari Rappocciolo. Caravita Franco, pendiri Boys San – Ultras pendukung Inter, sering ditangkap karena melakukan tindakan kriminal.
Pada klub-klub kecil pun hal ini terjadi. Dari Atalanta tenar sebuah nama, yaitu Claudio Galimberti . Di Brescia, Diego Piccinelli jadi sebuah momok menakutkan bagi polisi.
Masih ingat insiden Ultras Genoa yang meminta pemain Genoa melepas jersey mereka saat Genoa kalah melawan Siena pada tahun 2012 lalu? Kala itu pimpinan ultras Fabrizio Fileni memaksa pemain Genoa melakukan keinginan fans. Namun, hanya cukup seorang pemain Giussepe Sculli untuk menenangkan ultras tersebut. Bagaimana tidak, Sculli adalah cucu dari seorang bos kelompok mafia Ndrangheta – Kelompok Mafia terbesar di dunia .
Siapa juga yang berani macam-macam dengan bos mafia?
Selidik selidik, aksi yang dilakukan fans Genoa ternyata ujung-ujungnya ingin memeras uang kepada klub. Enrico Preziosi, presiden klub Genoa, mengaku dirinya terpaksa memberikan jatah uang 30 ribu euro dari pemasukan tiket kepada Ultras. Ini bukan cerita baru. Lewat kekuatannya, terkadang Ultras mengintervensi pemilik klub demi meraup keuntungan finansial bagi kelompok mereka.
Pada akhirnya, adalah benar yang tertuang dalam kalimat pembuka pada laporan investigasi La Repubblicca. "Ada mafia menyusup ke ultras dan para ultras adalah mafia dalam dirinya sendiri."
====
*ditulis oleh @aqfiazfan dari @panditfootball
(roz/din)