Kenangan adalah sajian paling klise di muka bumi. Manusia hanya mengingat hal yang sifatnya "paling", entah itu paling bagus atau paling buruk. Momen yang biasa-biasa saja, hanya akan dibuang dari lembaran serebrum atau otak besar. Kenangan tidak menyajikan realita sebagaimana adanya, namun hanya mengingat yang kita mau.
Karenanya, foto adalah medium yang tepat untuk menziarahi kenangan, terutama yang terlupakan karena ingatan.
Fotografi dan sepakbola adalah kawan lama. Tidakkah ada yang bertanya mengapa para pemain repot-repot berpose sebelum pertandingan? Atau, mengapa fotografer ditempatkan di atas lapangan, yang notabene berada dalam satu tataran dengan pemain dan pelatih?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengabadikan Tangan Tuhan
Piala Dunia 1986 mungkin menjadi puncak hubungan fotografi dan sepakbola.Tepatnya kala Diego Maradona mencetak satu gol paling terkenal sepanjang masa, yaitu Gol Tangan Tuhan.
Di kala fans Inggris tak percaya Maradona mencetak gol dengan tangannya, wasittertipu untuk mengesahkan gol tersebut, dan cuplikan siaran televisi tak pernah mampu mengungkap momen "Tangan Tuhan" secara sahih dan memuaskan, foto datang untuk memberikan bukti tak terbantahkan.
Minggu sore adalah waktu yang tepat untuk berleha-leha. Apalagi, sembari menyaksikan partai perempatfinal Piala Dunia. Alenjandro Ojeda Carbajal beruntung karena tengah bertugas di Stadion Azteca. Bersama fotografer Argentina lainnya, pria asli Meksiko ini mengambil tempat di belakang gawang Inggris.
Hingga menit ke-50 belum ada gol tercipta. Tapi, Carbajal masih begitu semangat dan tetap fokus mengarahkan lensa kameranya ke arah lapangan. Momen itu pun terjadi. Kesalahan antisipasi dari bek Inggris, membuat bola melambung ke tengah kotak penalti.
Kiper Inggris, Peter Shilton, terkejut saat bola mengarah padanya. Tapi ia tak terlalu khawatir,karena toh yang ada di hadapannya hanyalah Maradona. Seorang pria dengan kaus yang terlampau ketat dengan tinggi 1,6 meter. Bandingkan dengannya yang begitu gagah dan sigap dengan tinggi 1,8 meter.
Lalu, apa yang terjadi? Shilton kalah dalam duel. Bola pun menerobos masuk ke dalam gawang.
Maradona mendarat ke tanah. Dengan cepat, ia membalikkan badan melihat ke arah Ali bin Nasser, wasit yang saat itu memimpin pertandingan. Sadar golnya sah, Maradona pun melompat dengan girang, sedangkan Shilton memberi kode bahwa Maradona telah berlaku curang.
Terry Fenwick dan Glenn Hoddle memprotes keputusan tersebut. Mereka mendatangi wasit sambil meyakinkannya. Namun, Ali bergeming pada keputusannya. Satu pilihan yang membuatnya tidak pernah dipercaya kembali untuk memimpin pertandingan Piala Dunia.
Setelah pertandingan usai, Carbajal dikerubungi wartawan lain yang ingin membeli momen yang ia abadikan. Sesi konferensi pers pun tak diikutinya dengan penuh. Ia bergegas meninggalkan ruangan.
Ia tak langsung pulang, namun terlebih dahulu mencetak negatif film, untuk kemudian mencetaknya menjadi sebuah foto. Praduganya atas gol pertama Argentina benar adanya. Maradona menggunakan tangannya untuk menjangkau bola.
Esoknya, foto itu dimuat pada harian El Heraldo, tempat Carbajal bekerja. Tak perlu menunggu waktu lama bagi koran-koran di seluruh dunia untuk membeli hak tayang selembar foto tersebut. Ya, dua hari setelahnya, koran-koran di dunia menampilkan foto ini dan mematenkan gol tersebut sebagai "Gol Tangan Tuhan".
Lalu, foto serupa pun muncul, dengan sudut pengambilan yang sama. Fotografer asal Inggris, Robert "Bob" Thomas mengakui foto tersebut sebagai karyanya. Namun, fotografer lainnya tidak setuju. Semua fotografer Inggris ada di sudut lain lapangan. Sehingga tidak mungkin baginya untuk mengambil sudut seperti yang dilakukan Carbajal.
Selain itu, Thomas memiliki foto momen yang sama dengan Maradona membelakanginya. Bagaimana mungkin ia mengabadikan satu detik yang sama dari dua sudut berbeda?
Dalam momen ini, Carbajal adalah si penulis buku dengan pena. Ia menuliskan sebuah cerita di mana anak cucunya bisa membaca. Mereka akan percaya bahwa gol tangan tuhan itu nyata adanya.
Brasil vs Chile 1989
Brasil mesti melalui jalan terjal sebelum dapat bermain di Piala Dunia 1990. Penyebabnya, karena mereka hampir didiskualifikasi akibat perilaku suporter yang melukai pemain lawan.
Konfederasi Amerika Selatan hanya mendapat jatah empat tempat di Italia. Sementara Argentina otomatis lolos karena menjadi juara pada Piala Dunia 1986.
Sembilan negara yang berpartisipasi dibagi ke dalam tiga grup. Dua juara grup dengan rekor terbaik, berhak mendampingi Argentina. Satu juara grup lainnya mesti melewati babak play-off menghadapi wakil Oseania.
Di grup tiga, Brasil dan Chile bersaing ketat. Mereka sama-sama meraih dua kali kemenangan, dan satu hasil seri. Pertandingan terakhir mempertemukan dua negara tersebut untuk memastikan siapa yang berhak mewakili Amerika Selatan di Italia.
Pertandingan yang berlangsung di Stadion Maracana, Brasil, tersebut awalnya aman-aman saja.
Namun, petaka muncul pada menit ke-68. Sebuah flare yang dilemparkan penonton, membuat kiper Chile, Roberto Rojas terkapar. Dari wajahnya bercucuran darah sehingga ia dipaksa ditandu. Ini membuat staf serta pemain Chile menolak bertanding karena situasi yang tidak aman.
Saat kejadian tersebut, Paulo Teixeira sedang duduk bersama fotografer lainnya. Kebetulan, ia berada di area gawang Chile. Ia terkejut melihat Rojas terkapar. Sebagai fotografer, Teixeira merasa gagal mengabadikan momen saat flare jatuh di kepala Rojas.
Sebagai warga negara Brasil ia merasa khawatir FIFA akan mengeliminasi Dunga dan kawan-kawan. Ricardo Alfieri, teman baiknya, begitu serius mengamati Rojas. Lewat foto jepretan Alfieri-lah fakta sebenarnya terkuak.
"Kamu mendapatkannya?" tanya Teixeira khawatir.
"Tentu saja, sekitar 4-5 gambar."
Mendengar jawaban tersebut, Teixeira memiliki secercah harapan. Namun, masalah itu muncul. Alfieri bekerja untuk media Jepang. Ia mesti mengirim negatif film tanpa diproses terlebih dahulu. Media tempatnya bekerja tidak memperbolehkan wartawan mencetak foto dan negatif film selain di labotarium media tersebut.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi dari negeri ini dengan negatif film yang belum terproses," ancam Teixeira. Ia menganggap foto tersebut adalah satu-satunya bukti yang bisa menghindarkan Brasil dari sanksi.
Presiden Federasi Sepakbola Brasil, Ricardo Teixeira, sampai harus turun tangan. Ia meminta foto tersebut segera dicetak.
Teixeira sebenarnya tidak pernah tahu, seperti apa foto yang diambil Alfieri. "Aku tidak pernah yakin. Aku tahu, aku hanya bergantung pada kata-kata Alfieri, karena dialah yang terbaik."
Hasil foto tersebut memperlihatkan flare jatuh di belakang Rojas.

Lalu, mengapa dahinya berdarah-darah? Rojas mengaku ia menyimpan silet di balik sarung tangannya, lalu melukai dahinya sendiri. FIFA pun menghukumnya seumur hidup, serta melarang Chile ikut serta dalam Piala Dunia 1994.
Dalam momen ini, Alfieri bukan lagi menyajikan cerita. Apa yang terlukiskan bukan hanya memuat fakta. Bagi rakyat Brasil, foto tersebut adalah pemberi nyawa, sehingga mereka bisa lolos ke Piala Dunia.
Ingatan yang Terlupakan
Menurut Roland Barthes, selembar foto mengandung pesan simbolik yang menuntut "pembacanya" menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Kita, yang melihat foto tersebut, bagaikan berada dalam ruangan tertutup dengan satu jendela. Sadar atau tidak, fotografer adalah orang yang mengarahkan di mana jendela tersebut akan dipasang.Peran fotografer menjadi penting karena kita melihat apa yang dia ingin perlihatkan.

Mengapa foto karya Alejandro Carbajal, yang mengabadikan momen Maradona mencetak gol dengan tangannya, dianggap sebagai sebuah mahakarya?Jawabannya karena foto tersebut memiliki simbol-simbol yang bisa dikonstruksi dengan bebas oleh siapapun yang melihatnya.
Foto "Tangan Tuhan" tersebut diambil dengan cara low angle. Ini bisa bermakna subjek foto terkesan berkuasa, mendominasi, dan memperlihatkan otoritas.
Ada sejumlah foto lain yang mengabadikan momen gol tersebut. Salah satunya foto yang diambil dari tribun. Namun, foto tersebut tidak menunjukkan otoritas "Tuhan" dari seorang Maradona karena diambil dari sudut yang tidak tepat.

Foto Carbajal pula yang pada 2008 membawa Maradona kembali ke Inggris untuk meminta maaf.
"Jika saja aku bisa meminta maaf dan kembali untuk mengubah sejarah, aku akan melakukannya," kata Maradona. "Tapi itu tetaplah gol. Argentina tetap menjadi juara dunia dan saya adalah pemain terbaik di dunia."
Padahal, saat konferensi pers seusai pertandingan Argentina menghadapi Inggris itu, ia sebenarnya tak sepenuhnya yakin. Ia hanya bilang "Gol tersebut dicetak setengah oleh kepala, dan setengah lagi oleh tangan Tuhan."
Peter Shilton lantas menimpali. Ia menganggap permintaan maaf itu sudah terlambat.
Shilton mungkin tak pernah berpikir, bahwa tanpa foto jepretan Carbajal, mungkin Maradona tidak akan pernah minta maaf. Bukan 22 tahun waktu yang dibutuhkan untuk menunggu permintaan maaf tersebut, tapi selamanya.
Toh, tidak ada bukti konkret yang memperlihatkan proses tersebut, selain dari foto Carbajal.
***
Shilton adalah saksi mata utama dari momen "Tangan Tuhan". Namun, ucapan bukanlah komponen dari pembuktian.
Kisah gol "Tangan Tuhan" akan selalu dianggap nyata karena selembar foto yang diambil pada detik yang tepat. Sementara itu, selembar foto membuat Chile akan selalu dipojokkan sebagai pihak curang. Dengan berat hati, Rojas mengakui bahwa ia melukai diri sendiri, dengan silet yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari.

Foto bukanlah deretan peristiwa. Ia hanya satu cuplikan sepersekian detik dengan dampak yang besar.Tanpa foto, dua kisah di atas lambat laun menjadi dongeng belaka.
Foto adalah cukilan dari sebuah kisah, yang membuat narasi sepakbola menjadi lebih indah dan nyata. Tak perlu ada yang diubah, karena cerita sudah terlanjur dituliskan.

====
*ditulis oleh @aditz92 dari @panditfootball
(roz/din)