[Lanjutan dari tulisan pertama: 'Perjalanan Garuda Muda dulu Menjadi Juara Asia']
"In the international football tournament including that in the olympic games, no team from Asia has ever won the up of victory. Thatβs why our hope to win in this sport is still the same of dream, and if this dream should come true, some day will it depend upon our youth whose future we leave in their hand," ucap ketua penyelenggara acara yang sekaligus menjabat sebagai menteri dalam negeri Thailand, Prabhas Charusatiara.
Ada asa. Mimpi. Harapan untuk anak-anak muda Asia di dalam turnamen ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Turnamen Piala Asia Junior 1961 diikuti oleh 10 tim. Ini adalah tahun ketiga penyelengaraan bergengsi bagi pesepakbola muda di kancah asia. Setiap tahunnya Indonesia selalu mengirimkan anak-anak muda terbaik. Zaman dulu, banyak nama besar timnas yang lahir di ajang ini seperti Soetjipto Soentoro, Andjiek Ali Noerdin, Bob Hippy dan masih banyak lagi.
Dari sekian kali keikutsertaan tim junior kita mengikuti ajang ini, tak pernah ada yang bisa menyaingi prestasi generasi angkatan 1961. Gelar juara yang didapat anak asuh Djamiat Dahlar itu tentu adalah prestasi tertinggi bangsa ini di tingkat junior.
Untuk mengikuti cerita menarik di balik kesuksesan tim tersebut di Bangkok, mungkin kita bisa menyadur dari laporan pandangan mata yang diwartakan oleh wartawan kantor berita Antara, H.I.M Arifin.
Kehidupan Nyaman Pemain Kita di Bangkok
"Salut setinggi-tingginya kepada panitia penyelenggara. Begitu pesawat terbang GIA (Garuda Indonesia Airways) Electra Borobudur yang membawa rombongan Indonesia dari Kemayoran tiba di Don Maung, rombongan kami disambut oleh panitia penyambutan, dan tanpa pemeriksaan apa-apa rombongan terus dibawa menuju kendaraan bus dan mobil sedan masing-masing dilengkapi dengan bendera kebangsaan Thailand dan Indonesia," tulis Arifin dalam kalimat pembukanya.
Rombongan tim ini kemudian diarahkan menuju asrama yang letaknya di distrik Phra Nakhon, dekat dengan lokasi The Grand Royal Palace -- tempat raja Thailand bermukim. Tim Indonesia menempati gedung bertingkat tiga yang baru selesai dibangun tiga bulan sebelum mereka datang.
Asrama ini sejatinya adalah milik Kementerian Dalam Negeri Thailand dan diperuntukan bagi anak pegawai negeri sipil daerah yang bersekolah di Bangkok. Lokasi asrama ini terletak 3 kilometer dari Stadion Nasional milik Kemenerian Pendidikan yang jadi venue acara turnamen.
Tim Indonesia ditempatkan di lantai tiga, satu lantai dengan tim tuan rumah. Empat kamar berukuran besar disediakan untuk 22 orang anggota tim. Pelatih Djamiat Dahlar memilih satu kamar dengan pemain, padahal dia diberi satu kamar di Grand Hotel bersama manajer Joemarsono, tapi ia menampiknya.
Pelayanan di asrama dilakukan oleh para mahasiswa-mahasiswi. Untuk mengawasi gelagat mahasiswa-mahasiswi ini, diperbantunkanlah seorang pejabat berpangkat tinggi dari Kementrian Sosial Thailand. Opsir yang menemani tim Indonesia saat itu bernama Vichit Ratanabhnu.
Setiba di asrama, skuat timnas langsung disambut dengan upacara selamat datang yang cukup meriah dari panitia. Setiap pemain dikalungkan bunga anggrek di leher mereka. Acara kemudian disusul dengan upacara menaikkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya yang berlangsung khidmat.
Secara pelayanan anak-anak muda ini betul-betul dimanjakan, baik secara pelayanan fasilitas maupun kualitas makanan. Saat menggelar makan pagi/siang/malam masakan-masakan ala Eropa, Thailand dan halal dijejerkan disertai dengan bendera kebangsaan negara-negara peserta.
Salah satu yang jadi kegemaran pemain-pemain kita adalah pemberian susu ovaltine yang dibagi secara cuma-cuma. Bagi para pemain, susu buatan negara Swiss ini amatlah langka dan mahal di Indonesia. Rasanya yang menurut beberapa pemain "aneh" dan sedap membuat mereka ketagihan. Sampai-sampai Djamiat Dahlar pun mengingatkan beberapa pemain agar jangan terlalu banyak mengonsumsi susu yang identik dengan coklat tersebut.
Di asrama disediakan pula stand-stand suvenir yang menjual pernak-pernik kerajinan tangan khas Thailand. Biasanya stand-stand ini dijaga oleh mahasiswi-mahasiswi dari kampus di sekitar asrama. Dan mereka-mereka inilah yang biasanya jadi target kegenitan para pemain-pemain kita, bahkan diisukan salah seorang pemain Indonesia ada yang menjalin cinta dengan salah seorang mahasiswi di sana.
Belajar dari Ketidakseriusan Taiwan dan Kesungguhan Korea Selatan
Usai bercerita tentang seluk beluk kondisi di lingkungan sekitar para pemain, kini mari kita bicarakan kondisi yang terjadi pada tim dan lawan secara keseluruhan. Dalam turnamen kali itu muncul kuda hitam baru yakni Taiwan. Namun apa mau dikata, tim ini nyatanya malah jadi bulan-bulanan. Wajar saja mereka jadi lawakan mengingat ketidakdisiplinan yang diperagakan oleh tim ini.
"Sering terlihat sampai larut malam mereka masih berkeliaran di sekitar asrama. Bukan untuk berfoya-foya tapi ... untuk mengorek-ngorek tanah mencari-cari jangkrik diadu sebagai perjudian dengan uang. Aneh-aneh saja tingkah mereka itu."
Sialnya, Vietnam tak satu grup dengan kita. Mereka ada di Grup B, sedangkan Indonesia tergabung di Grup A bersama Korea Selatan, Vietnam, Singapura dan Jepang. Grup A adalah grup maut mengingat Korea selatan, Jepang dan Indonesia adalah peringkat satu, tiga dan empat pada kejuaraan yang digelar setahun sebelumnya.
Dari grup ini hanya akan dipilih satu tim di peringkat satu yang berhak lolos ke babak final untuk menantang juara Grup B. Tim yang mendapat rangking dua hanya akan diadukan dengan rangking dua pula untuk menentukan juara ketiga dan keempat turnamen.
Berdasarkan pengakuan H.I.M Arifin, keseriusan tim-tim di grup A amatlah begitu mengerikan. Pada laga perdana menghadapi Vietnam tim pendatang baru, kita bermain kelabakan. "Vietnam merupakan tim yang ulet, cepat, bersemangat."
Lewat proses serangan balik Indonesia mampu mencetak dua gol lewat sepakan Andjiek Ali Noerdin dan Kuswanardji.
Musuh yang lebih sangar di Grup A adalah Korea Selatan. Kesungguhan mereka untuk mempertahankan gelar betul-betul terlaksana. Ada kalanya pelatih mereka mengintruksikan latihan di siang bolong. Saat matahari sedang terik-teriknya. Padahal hawa panas udara di Bangkok siang itu bahkan lebih dari 35 derajat celcius. Melihat tim itu berlatih Djamiat Dahlar hanya bisa geleng-geleng kepala.
Lebih gilanya, pernah satu kali tim Korea ini pun berlatih jam 12 tengah malam, saat orang lain sedang nyenyak-nyenyaknya terlelap dalam mimpi.
"Saya pikir ada apa ramai-ramai orang berteriak-teriak di lapangan tengah malam, ternyata tim Korea Selatan sedang berlatih. Tim ini memang gila!" ucap Djamiat.
Beruntunglah saat melawan Indonesia, Korea Selatan hanya bisa bermain imbang dengan skor 2-2. Angka ini sudah cukup disyukuri dengan sangat oleh pemain Indonesia, mengingat permainan cepat yang dilakukan Korea cukup membingungkan para pemain kita.
Namun yang paling menjemukan dari Korea adalah cerewetnya pemain mereka di lapangan. Kebisingan itu bahkan melebihi apa yang dilakukan oleh suporter.
"Saat bermain mereka selalu berteriak-teriak dengan bahasa mereka, sehingga membingungkan pemain-pemain di pihak lawan," keluh salah bek, Idris Mapakarya, pada Arifin.
Salah satu musuh yang menyulitkan adalah Jepang. Kemujuran berpihak pada kita, Jepang mampu ditaklukkan dengan skor tipis 2-1. Djamiat Dahlar mengakui dirinya mendapat banyak pelajaran saat menghadapi Jepang, di antaranya adalah ketenangan bermain dan semangat bushido yang tak pernah lekas putus asa.
Dari Offside Trap hingga Tentara Berambut Cepak
Salah satu lawan yang diluar dugaan menyultikan kita datang dari Singapura.
"Pemain-pemain kita bermain cukup baik. Kombinasi short dan long passing diperlihatkan dengan bagus sekali. Tapi sayangnya kalau pihak lawan (Singapura) mulai bermain keras, anak-anak kita lekas kehilangan kepercayaan diri sendiri. Juga kurang diperhatikan perangkap yang dipasang pihak lawan untuk mematikan serangan-serangan barisan muka kita, seperti offside system yang digunakan pertahanan pihak singapura," tulis Arifin.
Bermain dengan Singapura, kita hanya mampu bermain imbang 1-1. Bob Hippy cs selalu kesulitan membobol gawang Singapura yang dijaga ketat Michael Wong. Namun hasil ini cukup mengantarkan timnas lolos ke babak final guna menantang Myanmar --sebagai juara Grup B.
Ada kekhawatiran yang muncul di benak pelatih Djamiat Dahlar dan manajer Joemarsono mengingat lawan yang dihadapi yakni Myanmar bukanlah lawan biasa. Pemain-pemain yang mereka mainkan tak seperti remaja-remaja berusia di bawah 20 tahun.
Dan benar saja, hampir separuh tim Myanmar adalah tentara. Rambut dicepak. Badan berotot, tidak cungkring-cungkring seperti pemain kita. Secara taktik dan teknis sebenarnya Myanmar bermain biasa saja. Namun permainan mereka yang keras dan bersemangat tinggi membuat nyali kita jadi ciut. Maklumlah mereka tentara.
Lini belakang Idris Mapakarya, Ipong Silalahi dan Rasjid Dahlan selalu dikritik tak berani menyikat striker-striker Myanmar. Di lini serang, Bob Hippy, Agam, Kuswanadji, Andjiek Ali Noerdin dan Williem Souw tak bisa membobol kiper Myanmar, Mg Than Aung yang kala itu tampil kesetanan.
Alhasil skor imbang 0-0 lebih adil bagi kedua tim. Berhubung sistem adu penalti belum berlaku di zaman itu, maka Indonesia dan Myanmar diputuskan sebagai juara bersama. Meski terdengar cukup pelik, mengingat mestinya juara itu hanya satu, tapi itulah realita yang ada. Mau tak mau harus terpaksa kita terima. Yang jelas, gelar juara (bersama) ini lebih terhormat ketimbang runner-up yang selalu identik dengan sepakbola kita.
Duplikat Evan Dimas di Masa Lalu
Jika kita amati secara seksama foto skuat timnas junior, kita akan melihat sosok yang mirip dengan Evan Dimas. Tak hanya parasnya saja yang mirip, postur bungkuk-bungkuk dan gelagatnya pun teramat sama.
Siapakah gerangan itu? Dia adalah Sonny Sandra. Namanya tentu tak asing di telinga publik Jawa Timur. Dia adalah legenda hidup Persik Kediri. Saat meraih juara Piala Asia Junior, Sonny langganan diintruksikan oleh Djamiat Dahlar mengisi posisi sebagai seorang fullback. Sebagai pemain yang berposisi di belakang wajar saja namanya tak sementereng seperti Anjiek Ali Noerdin atau Bob Hippy yang menjadi topskor turnamen. [Sosok Sonny dalam lingkaran foto di bawah ini]

Karena itulah, seusai menjuarai Piala Asia bersama timnas U-19 kareir Sonny di Persebaya meredup. Sonny kemudian memilih kembali ke kampung halamannya di Kediri. Entah ada angin geledek apa, pemain yang memiliki nama Chinese Tsing Tseng ini memutuskan beralih posisi dari seorang bek menjadi seorang kiper.
Pada posisi kiper, Sonny Sandra menjadi seorang legenda. Bersama Persik Kediri dia dikenal sebagai seorang seorang kiper handal yang meski bertubuh pendek tapi sulit untuk di bobol. Meski begitu sepanjang kariernya dia tak pernah kembali mengulang prestasi tertinggi apapun selain gelar Piala Asia junior tahun 1961 itu.
Lantas mungkinkah tahun ini timnas U-19 kembali mengulang hal yang sama, mengingat ada sosok yang parasnya mirip dengan Sonny Sandra.

====
* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
(a2s/krs)