Siapa orang yang paling sering disalahkan saat ada kekacauan nasional? Tuduhan tersebut akan tertuju pada satu golongan: imigran.
Pemimpin kelompok ultra-nasionalis Prancis, Jean Marie Le Pen, mencoba "menyadarkan" masyarakat Prancis akan bahayanya kehadiran imigran. Sebelum Piala Dunia 1998 digelar, ia menyebut skuat Prancis yang ada saat itu tidak mencirikan masyarakat Prancis yang sebenarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jurnalis New York Times, Jere Longman, dalam artikelnya setelah pertandingan, menyebut kemenangan Prancis tersebut di luar dugaan. Pasalnya, jarang ada atlet Prancis yang memiliki kepercayaan diri dan ketenangan saat menghadapi ajang besar.
Setelah pertandingan berakhir, ratusan ribu warga Prancis tumpah ruah di jalanan Champs-Elysees dan di plasa balai kota. Mereka lupa kalau pencetak dua gol kemenangan Prancis bukanlah seorang Prancis. Ia adalah anak dari seorang keturunan Aljazair. Sialnya pula, pria yang bernama Zinedine Zidane tersebut beragama Islam. Ia sungguhlah berbeda.
Kelompok ultra-nasionalis pastilah terkaget-kaget. Se-imigran apapun orang tua Zidane, ia tetaplah lahir di Prancis. Lantas bagaimana dengan Lilian Thuram yang lahir di Guadeloupe atau Marcel Dessaily yang dilahirkan di Ghana?
Dampak dari Koloni
Prancis, bersama Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugis, begitu aktif menjelajahi Timur Jauh demi menemukan sumber daya alam dan manusia. Secara global, luas wilayah koloni Prancis pada abad ke-19 dan ke-20 merupakan yang terbesar kedua setelah Kerajaan Inggris.
Lain halnya dengan Inggris yang mencoba menyatukan wilayah baru di bawah kerajaan Inggris, Prancis lebih memilih menguras semua sumber daya yang ada, bahkan hingga saat ini. Negara bekas koloni Prancis kini sebagian besar tersebar di Afrika Utara dan Afrika Barat.
Dua negara bekas koloni, Aljazair dan Maroko, menjadi penyumbang imigran terbanyak di Prancis. Berdasarkan data Institut National dβEtudes Demographiques pada 2008, jumlah imigran asal Aljazair sekitar 11,2 persen sementara dari Maroko 11,1 persen.
Selain pengaruh masa lalu, perpindahan ini disebabkan kondisi geografis Aljazair dan Maroko yang jaraknya tak lebih dari 1300 kilometer dari dataran Prancis.

Secara presentase, jumlah imigran di Prancis terbilang lebih sedikit ketimbang di Amerika. Berdasarkan data Eurostat, pada 2010 jumlah penduduk Prancis mencapai 64,7 juta jiwa. Sementara itu, jumlah imigran mencapai 7,2 juta jiwa atau 11,1 persendari total jumlah penduduk. Perbandingan dengan jumlah penduduk ini masih lebih sedikit ketimbang Luxemburg (32,5%), Cyprus (18%), Estonia (16,3%), Latvia (15,3%), Austria (15,2), Swedia (14,3), Spanyol (14%), Irlandia (12,7%),Slovenia (12,4%), Denmark (12,0%), Jerman (12%), dan Inggris (11,3%).
Namun, jika menghitung total imigran yang menetap, Prancis mencatat jumlah terbanyak dengan 7,2 juta jiwa, di atas Inggris dengan 7 juta jiwa.
Tekanan Sayap Kanan
Hampir semua partai politik yang ada di Prancis memiliki ideologi dengan garis pembatas yang jelas. Partai berhaluan sosialis bergabung dengan koalisi besar bernama Partai Sosialis. Sementara itu, partai-partai konservatif bergabung dengan koalisi bernama Partai Gerakan Masyarakat (UPM-Union for a Popular Movement).
Selain dari dua koalisi besar tersebut, ada pula partai yang paling keras menentang imigran: Front Nasional. Partai ini dipimpin putri Jean Marie Le Pen bernama Marine Le Pen. Partai ini sendiri digolongkan sebagai βfar rightβ atau ultra-nasionalis.
Tujuan mereka tak lain untuk melindungi Prancis dari pengaruh-pengaruh luar. Mereka menginginkan Prancis kembali murni dengan diisi orang-orang dengan ideologi yang sama.
Front Nasional pada awalnya merupakan partai minoritas di Prancis. Maka, sejak pembentukannya pada 1972, mereka seperti kurang darah, lesu. Ini tak lain karena isu-isu soal "nasionalitas", ataupun "pemurnian" bukanlah hal yang populer untuk disadari.
Menjadi pemimpin partai saja tak cukup bagi Le Pen. Sepanjang berdirinya Front Nasional, ia selalu melakukan kampanye nyeleneh dan terkesan ekstrem. Bagaimana tidak, Le Pen mencoba membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat Prancis dengan merendahkan peran imigran di negeri tersebut.
Le Pen kembali menjadi kandidat presiden dalam pemilihan umum tahun 2002. Ini merupakan kali keempat ia mencalonkan diri.Pada pemilihan tahun 1974, 1988, dan 1995, Le Pen tidak pernah masuk dua besar. Ia selalu kalah oleh kandidat dari Partai Sosialis dan Partai Gerakan Masyarakat.
Maka, ia pun memanfaatkan momentum Piala Dunia 1998 untuk mengampanyekan ideologinya. Kebetulan, Piala Dunia digelar di Prancis, dan itulah saat yang tepat baginya "membangkitkan" rasa nasionalisme masyarakat.
"Terlalu banyak pemain hitam," kata Le Pen setelah Jacquet mengumumkan skuatnya, "Mereka tak akan bisa menyanyikan lagu kebangsaan."

Melawan Tuduhan
"Apa conton yang lebih baik dari persatuan dan perbedaan kami daripada tim yang agung ini," kata Perdana Menteri Prancis saat itu, Lionel Jospin. Tuturan berapi-api dari pria asal Partai Sosialis tersebut memukul keras kepercayaan diri Le Pen.
Malam sebelumnya, Zidane mengepalkan tangan ke atas. Dua kali ia melakukannya sebagai bentuk perayaan atas golnya ke gawang Brasil di final Piala Dunia 1998. Sukar membedakan emosi macam apa yang diluapkannya, marah ataukah gembira?
Gesekan rasial di Prancis membuatnya cemas. Apalagi dikompori oleh ucapan bernada provokatif dari Le Pen. Kondusifitas dan harmoni antara penduduk asli Prancis dengan imigran atau keturunannya bisa terhambat. Zidane tahu benar caranya menyatukan mereka lewat sepakbola.
Prancis pun juara dunia, dan kini mereka punya musuh bersama. Secara spesifik Partai Sosialis bisa bernafas lega jelang pemilihan presiden tahun 2002. Ucapan ngawur Le Pen malah menghadirkan citra negatif bagi partai dan cara berpikirnya.
Pemain yang mencetak gol penutup pada partai final, Emmanuel Petit, membela rekan-rekannya.
"Jean-Marie Le Pen mengatakan saat Piala Dunia, ia tidak mengenali timnas karena terlalu banyak pemain berkulit hitam," Petit mencoba mengingat,
"Dia melakukan serangan terhadap pemain berkulit hitam dan mengatakan kalau kebanyakan dari mereka tidak menyanyikan lagu kebangsaan."
Hal yang sama diucapkan Marcel Desailly. Pemain kelahiran Ghana tersebut menyebut bahwa apa yang dilakukan Le Pen adalah kepentingan politik belaka.
"Dia datang untuk menyaksikan sejumlah pertandingan di Piala Dunia 1998 dan di Piala Eropa 2000. Sebenarnya, dia bertepuk tangan untuk timnas Prancis dan melompat kegirangan sembari memeluk orang di sekitarnya kapanpun saat kami mencetak gol, tak peduli apa wana kulit sang pencetak gol," ungkap Desailly.

(AFP/Pedro Ugarte)
Setelah Piala Dunia 1998, nama Le Pen perlahan memudar. Banyak yang menganggapnya telah lelah hingga akhirnya menyerah.
Jelang pemilihan presiden 2002, Zidane meminta masyarakat Prancis untuk tidak menghiraukan partai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut Prancis. Zidane menyebutnya sebagai bagian dari perlawanan terhadap rasisme dan eksepsionalisme, dalam hal ini Partai Front Nasional.
Namun propaganda tersebut terbilang gagal total karena Le Pen berhasil menduduki peringkat dua dalam Pemilihan Presiden tersebut. Tanpa diduga, isu mayoritas-minoritas kembali menjadi santapan sehari-hari masyarakat Prancis.
Hal ini terlihat jelas dari survey yang dilakukan National Consultative Committe on Human Rights. Hasil survey tersebut menunjukkan Piala Dunia tidak berarti apa-apa bagi integritas masyarakat Prancis. Bahkan, pada 1999 sebanyak 36 responden setuju kalau terlalu banyak imigran di tim sepakbola Prancis. Mereka tidak menginginkan sebuah tim multikultural meskipun tim itu adalah yang terbaik di dunia.
Juni 2013 lalu, bekas Perdana Menteri Prancis, Francois Fillon, menyebut Prancis harusnya mengurangi jumlah imigran. Ia ingin Prancis menerapkan
sistem keimigrasian seperti Kanada.
"Setiap tahun parlemen akan mengadakan voting berapa banyak imigran yang diperbolehkan masuk ke negeri ini. Pekerjaan ini mesti diprioritaskan dengan menentukan negara mana saja yang berhak mendapatkan kuota," kata Fillos kepada France24.
Bukan cuma di media, tapi golongan konservatif melakukannya saat kampanye. Yang paling kasar adalah slogan "Tiga juta pengangguran, berarti tiga juta imigran terlalu banyak".
Fillos berpendapat Prancis masih berjuang menghadapi pengangguran, resesi ekonomi, hutang publik yang tinggi, serta ketidaksiapan persatuan nasional.
Tricolor dan Multicolor
Isu mayoritas-minoritas lambat laun mulai tak terdengar seiring "pensiunnya" Jean Marie Le Pen sebagai pemimpin Front Nasional. Sang putri, Marine Le Pen, masih belum mampu mendongkrak elektabilitas Front Nasional lewat komentar-komentarnya.
Pelatih Prancis di Piala Dunia, Didier Deschamps, tak ragu membawa 12 keturunan imigran ke Brasil. Selain Patrice Evra yang memang tidak lahir di Prancis, ada 11 pemain lain yang lahir di Prancis dengan orang tua sebagai imigran: Bacary Sagna, Mamadou Sakho, Raphael Varane, Loic Remy, Blaise Matuidi, Eliaquim Mangala, Rio Mavuba, Moussa Sissoko, Mathieu Valbuena, Karim Benzema, dan Paul Pogba.
Tanpa imigran, Prancis dipastikan tampil kepayahan di Piala Dunia 2014 lalu. Meski sering terjadi pertentangan rasial, toh para imigran itu bermain sepenuh hati dan begitu menghayati saat mereka menyanyikan La Marseillaise, lagu kebangsaan Prancis.
Kelompok ultras-nasionalis mestinya bertanya mengapa Prancis dijuluki Tricolor. Jelas sebuah pemahaman yang salah kalau itu merujuk pada warna bendera Prancis yang biru, merah, dan putih. Julukan tricolor lebih khidmat bila merujuk pada black, blanc (putih), dan beur (Arab).
Malah, semuanya akan terasa indah jika tak hanya tricolor tapi juga multicolor dimana semua bangsa dengan ras yang berbeda bisa hidup berdampingan, dan bermain sepakbola dengan bebas tanpa stigma.
Karena sepakbola adalah permainan anak semua bangsa.

====
*penulis biasa menulis di situs @panditfootball dan juga About The Game, beredar di dunia maya dengan akun @aditz92.
*Foto-foto: Getty Images Sports Classic
(roz/din)