Trofi Piala Dunia, Puncak Gunung Es dan Hal-Hal yang Tak Terlihat

Imigran dan Sepakbola (Bagian 3-habis)

Trofi Piala Dunia, Puncak Gunung Es dan Hal-Hal yang Tak Terlihat

- Sepakbola
Kamis, 13 Nov 2014 12:32 WIB
Getty Images/Jean Catuffe
Jakarta -

(Baca bagian 2 di sini)

Di mana pun, para imigran dan keturunannya selalu menjadi kaum minoritas. Kecil. Dan kadang tertindas. Namun kecil dan minoritas bukan berarti tidak berarti. Setidaknya dalam kasus Jerman.

Mesut Oezil (Turki), Sami Khedira (Tunisia), Lukas Podolski (Polandia), Miroslav Klose (Polandia), Jerome Boateng (Ghana), dan Shkodran Mustafi (Albania) mampu membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang penting. Nama mereka akan ditulis dengan tinta emas dalam buku sejarah Jerman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masing-masing dari mereka memainkan peranan penting membawa Jerman ke partai final. Di laga puncak, tiga dari mereka bermain sebagai starter. Oezil, Boateng, dan Klose memastikan bahwa 27,27% starting eleven Jerman di final Piala Dunia 2014 adalah keturunan imigran. Jika saja Khedira yang sudah diberi kepercayaan untuk bermain sejak menit pertama tidak mengalami cedera saat melakukan pemanasan, jumlahnya tentu akan lebih banyak lagi.

Para pemain keturunan imigran tersebut telah berhasil memberikan sumbangan yang besar kepada negara Jerman. Bagaimanapun, gelar juara Piala Dunia bukanlah sesuatu yang bisa dipandang remeh. Gelar juara Piala Dunia adalah pencapaian tertinggi di dunia sepakbola. Dan mengingat sepakbola memiliki posisi yang luhur di hati banyak orang, maka keberhasilan menjadi juara Piala Dunia boleh jadi merupakan salah satu pencapaian tertinggi sebuah bangsa.

Hidup, toh, bukan melulu soal sepakbola. Trofi Piala Dunia hanyalah puncak kecil gunung es yang menyembul di atas permukaan laut sejarah Jerman. Hal itu tidak akan mungkin tercapai tanpa hal-hal yang terjadi puluhan tahun sebelum Die Mannschaft mengalahkan Argentina di Maracana.

Orang tua, kakek-nenek, dan orang tua dari kakek-nenek mereka berhasil mencapai hal yang lebih besar: membangkitkan Republik Federal Jerman dari kehancuran. Republik Federal Jerman adalah seekor burung phoenix yang hidup kembali dari abu kematian bernama Perang Dunia Kedua.

Apa yang dilakukan oleh beberapa generasi pertama imigran di tanah Jerman memang tidak seindah dan semanis keberhasilan menjadi juara Piala Dunia. Tidak ada hubungannya juga dengan sepakbola, malah. Tetap saja, kesuksesan itu adalah bagian penting sejarah Jerman. Sesuatu yang menjadi tempat berdiri untuk Joachim Loew dan pasukannya saat mereka dengan penuh kebanggaan mempertontonkan trofi Piala Dunia, baik di Maracanã saat penyerahan, maupun di Berlin kala hari perayaan.

Sebuah Awal Bernama Keajaiban Ekonomi

Tanpa bantuan kecil dari jutaan imigran yang datang dari seluruh penjuru, Republik Federal Jerman (lebih dikenal sebagai Jerman Barat kala itu) tidak akan pernah bangkit dari keterpurukan.

Usaha untuk membangkitkan perekonomian Jerman Barat langsung dimulai begitu Perang Dunia II berakhir, di bawah pimpinan Konrad Adenauer dan Ludwig Erhard. Posisi Adenauer kala itu adalah Kanselir Jerman Barat, sedangkan Erhard adalah menteri ekonomi.

Program rekonstruksi dan pengembangan ekonomi Jerman Barat pimpinan Adenauer dan Erhard berjalan lancar. Hal ini dapat terjadi karena keduanya memiliki perencanaan matang dan pelaksanaan tepat sasaran. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir, dunia sudah ramai memperbincangkan keberhasilan Jerman menyembuhkan diri dari kehancuran yang disebabkan oleh perang. Padahal selama perang mereka rugi besar dan babak belur.



The Times menyebut rekonstruksi ekonomi Jerman Barat sebagai Wirtschaftswunder. Keajaiban ekonomi. Henry Wallich, dalam bukunya yang ia beri judul Mainsprings of the German Revival (1955), menggambarkan keajaiban tersebut dengan sederhana namun jelas: "Semangat negara berubah dalam waktu yang sangat singkat. Orang-orang yang murung, lapar, dan terlihat seperti orang mati – yang berkeliaran di jalan dalam usaha pencarian makanan yang tiada akhir – telah benar-benar hidup."

Namun, mempertahankan lebih sulit ketimbang meraih. Wirtschaftswunder juga bukanlah sesuatu yang sempurna. Pada akhirnya, Jerman Barat mulai merasakan kekurangan jumlah pekerja. Mereka tidak dapat merekrut buruh dari Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) sejak dibangunnnya Tembok Berlin. Karenanya, mereka berpaling ke Selatan.

Pada 30 Oktober 1961, tercapai kesepakatan bilateral antara Jerman dengan Turki perihal rekrutmen buruh. Di Ankara dan Istanbul, orang-orang Turki menaiki kereta yang akan mengantarkan mereka ke Munich. Dari ibu kota Negara Bagian Bayern tersebut, mereka disebar ke kota-kota industri lain di Jerman Barat.

Sebelum menjalin kerja sama dengan Turki, Jerman Barat sudah terlebih dahulu mendapatkan para buruh dari Italia, Yunani, dan Spanyol. Orang-orang Turki juga bukan kelompok buruh terakhir yang datang ke Jerman Barat. Setelah orang-orang Turki, gelombang buruh datang dari Maroko, Portugal, Tunisia, dan Yugoslavia.

Mereka yang secara legal didatangkan sebagai buruh bukanlah para imigran. Mereka disebut Gastarbeiter, para pekerja tamu. Para pekerja tamu ini didatangkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak membutuhkan keahlian khusus, dan akan pulang ke negara asal pada waktu yang telah ditentukan. Setelah kontrak kerja berakhir. Selama berada di Jerman mereka mendapatkan tempat tinggal berupa asrama yang disediakan secara khusus oleh setiap perusahaan.

Kebijakan ini mendapatkan cibiran dari Jerman Timur. Negara penganut faham komunisme tersebut juga mendatangkan para buruh dari luar wilayah mereka sendiri. Dari sesama negara Komunis. Yang membedakan Jerman Timur dengan Jerman Barat adalah cara mereka memandang para buruh. Jerman Timur menyebut para buruh sebagai teman, dan mereka didatangkan untuk mempelajari keahlian baru di Jerman Timur – bukan untuk bekerja. Padahal, pada prakteknya, sama saja.

Reunifikasi Jerman dan Kedatangan Para Pencari Suaka

"Pemikiran bahwa kami semua hanyalah pekerja tamu yang pada akhirnya akan kembali ke Turki adalah sebuah ilusi," kata Ismail Tipi. Tipi adalah anggota partai Christian Democratic Union (CDU). Ia adalah salah satu dari sedikit keturunan imigran yang mampu memanjat tinggi tangga sosial di Jerman. Ia adalah salah satu dari sedikit keturunan imigran yang mampu berkembang.

Pada praktiknya, aturan pembatasan masa tinggal untuk para pekerja tamu tidak berjalan dengan baik. Di tahun 1964, aturan pembatasan masa tinggal selama dua tahun dihapuskan dari kesepakatan pemerintah Jerman Barat dan Turki. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan di Jerman Barat tidak merasa keberatan jika harus terus menerus mengeluarkan biaya operasional untuk pelatihan para pekerja baru.

Pemerintah tidak hilang akal. Di tahun 1983, di bawah pimpinan Kanselir Helmut Kohl, Jerman Barat mencari cara lain agar para tamu bersedia pulang ke negara mereka masing-masing. Pemerintah menawarkan segala jenis kemudahan hingga iming-iming bantuan dana. Cara ini bahkan masih dipakai hingga akhir tahun 1990an. Dana yang ditawarkan juga tidak sedikit, dapat mencapai hingga 10.500 deutschmarks (sekitar 5.400 euro).


AFP/Oliver Lang

Namun uang sebanyak itu tidak cukup menarik. Tidak lebih menarik dari impian untuk hidup sejahtera di Jerman Barat. Usaha pemerintah untuk mengurangi jumlah warga negara asing malah membuat jumlah mereka bertambah.

Banyak pekerja tamu yang meninggalkan asrama dan mencari tempat tinggal di pinggiran kota, dekat dengan tempat mereka bekerja. Mereka tidak ingin pulang ke negara asal, namun juga tak ingin berlama-lama jauh dari keluarga. Akhirnya, mereka memboyong keluarga mereka ke Jerman Barat.

Runtuhnya Tembok Berlin tak hanya membuat Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu. Reunifikasi kedua negara juga menyatukan para warga negara asing Jerman Barat dengan Jerman Timur. Ditambah lagi, perang yang berkecamuk di Eropa bagian Timur membuat kelompok masyarakat imigran baru berdatangan: para pengungsi dan pencari suaka.

Para Pembuat Masalah yang Keberadaannya (Akhirnya) Disyukuri

Jumlah imigran (dan para keturunannya serta para pencari suaka) yang semakin lama semakin bertambah perlahan tapi pasti membuat mereka dipandang sebagai masalah. Apalagi kaum minoritas ini tidak memiliki keahlian khusus sehingga sulit mencari pekerjaan. Tak hanya itu, kaum minoritas juga seringkali menjadi korban rasisme.

Sepakbola kemudian menjadi pelarian. Ternyata banyak yang menuai sukses dari sana. Mereka yang sudah mendapatkan status warga negara Jerman bahkan bisa membela tim nasional.

Dalam daftar pemain Jerman untuk Piala Dunia 2006, ada lima orang pemain keturunan imigran. Mereka adalah Oliver Neuville (Swiss/Belgia), Miroslav Klose (Polandia), Piotr Trochowski (Polandia), Lukas Podolski (Polandia), David Odonkor (Ghana), dan Kevin Kuranyi (Brasil).



Jumlah tersebut lebih sedikit dari jumlah pemain keturunan imigran yang terdaftar untuk Piala Eropa 2008 dan 2012; tujuh orang. Lima dari tujuh nama yang terdaftar di Piala Eropa Polandia-Ukraina bahkan bermain sebagai starter di pertandingan semifinal Piala Eropa 2012. Itu berarti, 45,45% starter Jerman di laga tersebut adalah keturunan imigran.

Jerome Boateng, Sami Khedira, Mesut Oezil, Lukas Podolski, dan Mario Gómez bermain sejak menit pertama saat Jerman dikalahkan oleh Italia di Stadion Nasional Warsawa. Miroslav Klose masuk sebagai pemain pengganti di awal babak kedua, sehingga hanya İlkay Guendogan saja yang tidak ambil bagian dalam pertandingan.

Bagaimanapun, Piala Dunia tahun 2010 tak dapat diabaikan dalam pembicaraan mengenai jumlah pemain keturunan imigran di tubuh tim nasional Jerman. Sebelas dari 23 (47,83%) pemain yang dibawa ke Afrika Selatan adalah keturunan imigran. Enam di antaranya (54,54%) bahkan bermain sebagai starter di pertandingan semifinal melawan Spanyol.

Tim Piala Dunia 2010 menjadi bukti bahwa keturunan imigran adalah bagian dari Jerman yang tidak seharusnya diperlakukan berbeda. Tim ini bahkan dipandang sebagai orang-orang yang mewakili Jerman baru; Jerman yang telah mau membuka diri dan menganggap orang-orang keturunan sebagai bagian dari masyarakat dan tidak perlu diperlakukan berbeda.

Para pemain keturunan imigran mampu membawa Jerman mencapai dua puncak. Puncak kuantitas pemain keturunan dicapai pada tahun 2010, sedangkan puncak kualitas dicapai empat tahun berselang. Mereka secara resmi adalah bagian tak terpisahkan dari negara dan bangsa Jerman.

Merekalah minoritas yang pernah menorehkan arti melalui dan bersama sepakbola.

====

*ditulis oleh @panditfootball. Profil lihat di sini.

*Foto-foto: Getty Images

(roz/cas)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads