Suar memang merupakan barang haram di teras stadion. Hal ini terkait dengan Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan
Penyelenggaraan Pertandingan FIFA, pasal 7 tentang Layanan Darurat, butir C point (i) yang menyatakan, petugas keselamatan dan keamanan stadion harus mempunyai kebijakan yang jelas untuk melarang penonton membawa flare, kembang api, atau bentuk penyalaan api lainnya ke dalam stadion.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari itu, suporter Kroasia juga memasang spanduk bertuliskan huruf "U" yang merupakan lambang Ustase, sebuah gerakan ekstremis nasionalis Kroasia yang berkembang pada masa sebelum dan selama Perang Dunia II.
Pertanyaan yang timbul kemudian, bagaimana cara fans Kroasia membawa serta dua "barang haram" itu masuk ke teras San Siro? Padahal, seperti yang kita tahu, Italia bukan Indonesia yang selalu memberi kelonggaran bagi orang asing.
Di negeri Pizza, petugas keamanan akan memeriksa penonton dari negara lain lebih ketat daripada warga negara Italia sendiri.
Bersandar pada aturan FIFA di atas, pihak stadion San Siro juga telah menerbitkan peraturan yang melarang seorang dan/atau kelompok suporter membawa flare ataupun bentuk kembang api lainnya (seperti yang tertera di sini).
Dengan aturan dan pemeriksaan yang begitu ketat, satu hal yang bisa disimpulkan adalah: fans Kroasia tak sendirian dalam mengelebuhi pihak pengamanan stadion San Siro.
Lantas, bersama siapa mereka?
Sebelum Perang Dunia II meletus, Ante Pavelic, seorang politisi fasis Kroasia mendirikan Ustase, sebuah organisasi yang beraliran fasis dan ultrakonservatif, yang mengedepankan ajaran Katholik Roma dan juga keluarga sebagai alat yang dapat menjaga stabilitas dan ketertiban sosial.

Organisasi inilah yang memerintah Negara Independen Kroasia, negara boneka bentukan Fasis Italia dan Nazi Jerman, yang dahulu masuk dalam wilayah Yugoslavia pada 1940-an.
Sama halnya dengan Fasisme ala Mussolini dan Nazi ala Hitler, Pavelic juga mengedepankan superior ras. Ia beranggapan bahwa mereka harus bisa meluluhlantahkan Yugoslavia terlebih dahulu dan juga membunuh ras Serbia –yang semakin dominan di tampuk pemerintahan Yugoslavia—jika Kroasia ingin merdeka.
Karenanya, menurut buku Croatia Under Ante Pavelic karangan Robert Mc Cormic, Pavelic tak segan untuk melakukan pembunuhan pada 390.000 orang Serbia selama Perang Dunia II. Genosida yang dilakukan Pavelic ini tidak dikerjakan sendirian. Usatase mendapat sokongan moril, dana, dan senjata dari koleganya, Italia dan Jerman, yang memang punya kesamaan gagasan.
Namun, lebih dari itu, ada motif tersembunyi di balik bantuan yang diberikan Jerman dan Italia, terkhusus Mussolini. Dukungan yang diberikan pemimpin fasis Italia itu didasari oleh kepentingan pragmatis, yaitu ingin memaksimalkan pengaruh Italia di semenanjung Balkan.
Selain itu, selama Perang Dunia II berlangsung, Ustase dan Vatikan juga punya hubungan diplomatik yang baik. Vatikan selalu mengirimkan duta kepausan ke Zagreb, ibu kota Kroasia, untuk menyebarkan nilai-nilai Katholik Roma kepada masyarakat Kroasia, seperti yang dicita-citakan Ustase.
Tapi, keharmonisan antara Ustase dan Italia --yang diwakili oleh Vatikan-- tak hanya semasa perang berkecamuk saja. Ketika Perang Dunia dimenangi Sekutu, dan Ustase dibubarkan serta para anggotanya diburu, Vatikan ikut membantu menyelundupkan anggota ataupun simpatisan Ustase ke luar Kroasia, entah itu ke Austria, Jerman, Kanada, Australia, ataupun Amerika.
Bahkan, sampainya Pavelic ke Amerika Serikat dengan selamat juga diyakini berkat campur tangan pengurus gereja Katolik Roma.
Hal inilah yang kemudian menjadikan hubungan Kroasia dan Italia tetap harmonis sampai saat ini, meski Ustase sudah tinggal nama saja.
Lalu, ketika Kroasia harus menjalani partai tandang ke Italia, di stadion San Siro, tepatnya, dalam lanjutan kualifikasi Euro 2016, akhir pekan lalu, (16/11), mau tak mau romantisme itu menggelayuti pikiran fans Kroasia.
Partai itu bukan sekadar partai tandang biasa, karena Kroasia seolahbertandang pada kawan lama mereka. Ya, meski tak lahir dalam satu generasi, mereka tentu masih ingat nama keluarga orang-orang Italia yang ikut menyelamatkan kakek atau ayah mereka selepas Perang Dunia.
Buat apa canggung datang ke Italia? Tanah itu, tanah saudara-saudara mereka juga. Milan juga bukan kota yang asing karena di kota mode itu buah pikir Mussolini lahir dan berkembang. Jadi tunggu apa lagi?
"Bawa saja apa yang mesti kita bawa dan apa yang mesti kita suarakan," mungkin demikian jalan berpikir suporter Kroasia.

Karena itulah mereka memasukkan flare, spanduk Ustase, dan spanduk-spanduk yang bernada mengkritik federasi dalam dafar barang bawaan yang mereka bawa ke negeri pizza. Menyoal cara membawa masuk ke dalam stadion, itu bisa direncanakan belakangan, mengingat mereka punya “saudara lama” di Italia.
Hal inilah yang menjadikan aksi lempar suar di San Siro minggu malam lalu seperti aksi yang dilakukan oleh orang-orang asli Italia. Bukan seperti aksi kelompok suporter tamu yang melempar flare dengan rasa takut.
Para suporter Kroasia ini memantik api dan memasang spanduk tanpa rasa ragu. Bertikai dengan polisi pun mereka lakoni, layaknya sedang ada di kandang mereka sendiri.
"Ada sekitar 300 pendukung Kroasia yang datang sendiri. Mereka tidak datang bersamaan dengan kelompok suporter lainnya. Mereka juga tak membeli tiket pertandingan dari federasi. Mereka bisa masuk berkat bantuan orang-orang Italia," kata Zoran Cvrk, Safety Officer CFF (federasi sepakbola Kroasia), pada harian Vejernci.
Dari pernyataan Cvrk itu, terlihat bahwa suporter Kroasia mendapat bantuan dari orang-orang Italia –entah suporter atau bukan-- agar dapat membawa suar masuk.
Caranya? Mungkin dengan mengerek flare tersebut.

Salah seorang berdiri di lorong stadion, lalu melemparkan tali ke bawah, tepat ketika salah seorang temannya sudah menunggu untuk mengirim flare ke atas. Tali itulah yang digunakan untuk mengikat flare, kemudian di tarik ke atas.
Atau dengan menyelendupkan flare dalam gulungan banner, agar tak mencolok mata saat melintasi penjagaan petuagas keamanan dan portir stadion. Di Indonesia, kedua cara ini cukup efektif, memang.
Tapi apakah trik ini juga berlaku di Eropa sana? Entahlah. Yang pasti, tanpa bantuan orang lokal, yang notabene hafal betul seluk beluk stadion San Siro, fans Kroasia tak akan mudah membawa masuk flare ke dalam stadion.
Apa yang dilakukan suporter Kroasia itu tak bisa dianggap benar juga, sebenarnya. Tapi, perlu diketahui, aksi tersebut merupakan sebuah aksi protes suporter yang tak terima dengan aturan-aturan yang terlalu ketat ditetapkan federasi sepakbola Kroasia. Membawa flare ke dalam stadion saat liga berlangsung, misalnya. Ataupun banyaknya daftar hitam suporter yang tak boleh masuk ke stadion seumur hidup lantaran kedapatan membawa flare.
Lebih dari itu, mereka juga ingin memprotes federasi yang menjadikan timnas Kroasia layaknya etalase toko pemain bola berbakat.
Hal inilah yang menyebabkan banyak pemain Kroasia direkrut oleh klub-klub papan atas di seantero Eropa, selepas membela timnas. Tak ada lagi pemain bagus yang mau berlaga di Liga Kroasia, yang kemudian membuat kompetisi domestik Kroasia semakin lesu.
Nekat, memang. Sama nekatnya dengan fans Galatasaray yang melempar flare ke dalam lapangan Emirates Stadium.
Tapi, apa yang dilakukan pendukung Kroasia ini memang gila. Seperti apa yang pernah dituliskan Nietzsche, selalu ada alasasan dalam setiap kegilaan. Dan, bagi fans Kroasia, alasan itu adalah romantisme dan juga semangat perlawanan.
===
*penulis biasa menulis di situs @panditfootball dan About The Game. Beredar di dunia maya dengan akun @prasetypo.
(roz/krs)