[Baca tulisan pertama di sini]
Tidak hanya dalam politik, organisasi suporter pun punya rezimnya sendiri. Dan dalam hal Spanyol, rezim suporter di organisasi-organisasi suporter pun sudah sampai pada kemapanan yang sulit dibongkar.
Sulit bagi sekelompok orang untuk mengguncang hegemoni sistem organisasi suporter di Spanyol yang telah mapan. Polanya nyaris sama. Hampir semua klub di Liga Spanyol memiliki pengelompokan suporter yang mirip.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, ada pena yang merupakan kelompok suporter seperti yang jamak ditemui, tapi diakui penuh oleh klub. Pena pun membayar iuran per tahun. Klub amat terbantu dengan kehadiran pena, karena merekalah yang biasanya berangkat memberi dukungan kala bermain di kandang lawan. Dua kelompok tersebut diakui kehadirannya oleh klub.
Setiap klub bisa saja memiliki lebih dari satu pena. Barcelona, misalnya. Los Cules hanya memiliki satu pena pada 1944. Pada 2005, jumlahnya meningkat berkali-kali lipat menjadi 1.500 pena yang berasal dari empat benua. Pena biasanya terdiri dari orang tua, pria, dan perempuan. Sementara itu, para suporter yang berusia muda merasa termarjinalkan. Suara mereka seolah tak didengar.
Pena awalnya dianggap sebagai kelompok sosial belaka oleh suporter yang lebih senior. Tidak ada upaya memeriahkan stadion dengan aksi-aksi seperti menyulut suar, membuat koreografi, dan semacamnya. Suporter yang lebih muda tidak puas dengan cara dukungan yang seperti itu. Terjadilah perdebatan antara suporter yang lebih tua dengan suporter muda. Pada akhirnya, suporter yang lebih muda ini dilarang bergabung, bahkan dikeluarkan dari pena.
Revolusi di tribun pun di mulai.
Perselisihan di Dalam Pena
Kekerasan yang menjadi bagian dari ultras tidak lepas dari rasa ketidakinginan untuk “dijajah” suporter lain di kandang sendiri. Ini yang terjadi saat Real Madrid Castilla (Real Madrid B) menghadapi West Ham United dalam ajang Piala Winners musim 1980/1981. Fans West Ham dianggap berperilaku buruk dengan merusak stadion Santiago Bernabeu. Sementara itu fans Real Madrid tidak bereaksi karena tidak punya kesempatan dan belum ada pengalaman untuk melawan.
Pertandingan menghadapi Inter Milan di Liga Champions tahun 1981, dijadikan kesempatan bagi suporter muda Real Madrid untuk belajar dari ultras Italia (lihat tulisan bagian pertama tentang pertumbuhan kultur menonton di Spanyol di Piala Dunia 1982). Pertandingan menghadapi Sporting Gijon di liga, menjadi awal petualangan mereka. Para suporter muda terlibat pertentangan dan kekerasan. Akibatnya, mereka dikeluarkan dari pena, dan mendirikan kelompok suporter sendiri bernama “Ultras Sur”.
Setelah pendiriannya, Ultras Sur terlibat dalam sejumlah kekerasan yang terjadi dengan fans lawan, polisi, maupun jurnalis. Kehadiran Ultras Sur seolah memicu tumbuhnya kelompok suporter lain. Yang paling terpengaruh tentu si tetangga, Atletico Madrid. Hampir di masa yang sama, pena yang didirikan akhir 1960-an, Pena Fondo Sur, berganti nama menjadi Frente Atletico Ultras. Sebelumnya, pena tersebut merupakan yang pertama yang dikelola oleh anak muda.
Hal yang sama terjadi di Barcelona. Pada 1981, ultras Boixos Nois berdiri. Bersama dengan Ultras Sur, keduanya menjadi model utama ultras yang ada di Spanyol. Karena provokasi yang kerap dilakukan Boixos Nois di stadion, 800 anak muda dari Pena Juvenil, kelompok suporter Espanyol, mendirikan Brigadas Blanquiazules pada musim 1984/1985.
Di fase pertama pembetukannya, seringkali terdapat sejumlah tendensi politis di tiap kelompok ultras. Utamanya menyangkut identitas kedaerahan. Ultras dengan pandangan politik yang sama akan bersatu menjadi rekan, sementara yang berseberangan akan dimusuhi layaknya lawan.

Mengidentikkan Diri dengan Kekerasan
Kepolisian Spanyol melarang bendera dengan tongkat dibawa ke dalam stadion. Padahal, konsep yang meniru perkembangan ultras di Italia kala melakukan dukungan itu, menjadi yang paling sering ditiru. Ultras di Spanyol pun memasukkan unsur Inggris dalam bentuk dukungan mereka. Penggunaan syal, cerawat, dan variasi chant lebih banyak terlihat dan terdengar di stadion.
Lain dari itu, mereka agaknya semakin senang berkelahi. Seiring dengan berdirinya kelompok ultras di kota-kota lain, persaingan dan rivalitas antar suporter pun diwujudkan dalam bentuk baku hantam. Lama kelamaan, “aktivitas” ini juga berlaku di cabang olahraga lainnya. Di Spanyol, klub seperti Real Madrid dan Barcelona memiliki tim olahraga lain seperti basket. Musim 1986/1987 akan dikenang sebagai musim yang paling “rusuh” di Liga Spanyol.
Sejumlah klub mulai mempekerjakan tim pengaman swasta di stadion untuk meredam aksi kekerasan dari ultras. Ada pula yang mencoba melarang anggota ultras masuk stadion. Namun, hal ini tak sepenuhnya berhasil. Klub membutuhkan ultras untuk memberi dukungan dan memberi teror bagi lawan di kandang maupun tandang. Bagi sejumlah klub yang menganut sistem socios, terdapat anggota ultras yang bisa memilih presiden klub. Ini yang membuat ultras tak bisa dibasmi begitu saja.
Ideologi yang dianut ultras di Spanyol nyatanya amat dangkal. Misalnya ultras Boixos Nois yang awalnya berideologi kiri dengan pro kemerdekaan Catalan, kini berubah jadi pro-nazi yang ada di sisi kanan. Banyak yang kini meragukan dukungan Boixos Nois untuk Barcelona. Mestinya, Barcelona adalah segalanya, dan ideologi nomor dua, bukan sebaliknya.
Pada akhirnya, kekerasan pun menjurus pada perbedaan etnis, orientasi seksual, dan imigran. Dalam esainya, Ramon dan Carles mencontohkan pembunuhan yang dilakukan anggota skinhead Boixos Nois pada Oktober 1991. Dalam penyerangan tersebut mereka mengenakan atribut Nazi, terus-terusan memanggil nama Hitler, dan menyebut fans Barcelona adalah Yahudi. Dalam hal ini, sepakbola seolah menjadi tak penting lagi. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi luntur karena pandangan politik atau ideologi yang kelewat dangkal.
Pada Maret 1992, seorang fan Espanyol terbunuh. Ia terluka karena luka bakar akibat cerawat yang dilemparkan ke arahnya. Akibat aksi tersebut, polisi pun melarang suporter membawa cerawat masuk ke stadion.
Di tahun yang sama, Pemerintah Spanyol membentuk Komisi Nasional Melawan Kekerasan di Kegiatan Olahraga, CNCVED. Tugasnya adalah menginvestigasi masalah kekerasan di Spanyol, serta memberi sanksi bagi fans dan klub jika itu terjadi. Mereka menyarankan agar kelompok ultras tidak diakui oleh klub. Ironisnya, kelompok ultras tersebut merupakan bagian dari pena yang terdaftar sebagai anggota resmi klub.
Peraturan UEFA pada 1993 pun turut mengurangi aktivitas ultras. Untuk level internasional, UEFA mensyaratkan penggunaan kursi di setiap tribun di stadion.
Kemunduran Ultras di Spanyol
Sejak mulai diperketatnya pengamanan oleh pihak kepolisian serta ancaman hukuman bagi klub dan fans yang terlibat dalam kekerasan, sejumlah anggota ultras pun berbenah. Tidak sedikit di antara mereka yang memilih kembali ke jalur yang “benar” sebagai ultras, tanpa disusupi pengaruh skinhead yang neo-Nazi. Ada yang membuat kelompok baru yang mementingkan klub ketimbang yang lain. Mereka menolak segala jenis kekerasan, tapi tetap memberikan dukungan penuh dari atas tribun.
"Apa yang Hitler dan Stalin lakukan untuk klub kita? Tidak ada!” begitu propaganda mereka kala melawan kelompok neo-Nazi.
Pada akhirnya, cerita tentang ultras di Spanyol hampir berakhir bahagia. Grup alternatif tersebut menjadi kelompok yang membangun bagi klub dengan mengadakan diskusi, debat, dan program yang bersifat edukatif. Salah satu contohnya adalah mereka terlibat dalam penggalangan dana bagi anak-anak di Bosnia-Herzegovina. Mereka menjual barang-barang yang bisa mereka jual, lalu mendonasikannya. Tercatat delapan kelompok ultras Spanyol terlibat dalam aksi ini. Program lanjutan pun digagas seperti perlawanan terhadap rasisme, xenophobia, dan kekerasan di dalam sepakbola.
Keterlibatan ultras dalam sejumlah aktivitas tersebut membantu mereka mengangkat citra baru yang lebih positif. Mereka bersama-sama mendorong lingkungan yang aman dan nyaman bagi penggemar yang muda, terutama perempuan. Memang, masih ada kasus yang memakan korban jiwa. Namun, jumlah benturan fisik antarultras bisa dikurangi karena semakin ketatnya penjagaan kepolisian.

Catatan Akhir
Kehadiran ultras yang mementingkan hal lain ketimbang sepakbola dan klubnya memang sudah lama menuai catatan kritis. Mereka menjadikan sepakbola sebagai ajang unjuk gigi mempertontonkan kekerasan.
Pemerintah Spanyol bersama dengan Asosiasi Sepakbola Spanyol, RFEF, dan Pengelola Liga Spanyol, LFP, akhirnya memutuskan untuk melarang semua jenis kelompok ultras masuk ke stadion-stadion di Spanyol. Ini buntut dari kematian fans Atletico Madrid dua pekan lalu.
Bentuk kekecewaan Pemerintah Spanyol tersebut direspons positif oleh klub-klub di Spanyol. Setidaknya, Real Madrid, Barcelona, dan Deportivo La Coruna akan menerapkan larangan tersebut lebih dini. Ini wajar karena sepakbola bukan lagi dipandang sebagai olahraga belaka. Sepakbola kini menjadi tulang punggung ekonomi bagi banyak orang. Jika industri sepakbola Spanyol berakhir seperti Liga Italia, berapa banyak orang yang berakhir sebagai pengangguran?
Maka, sudah dimaklumi jika atmosfer stadion di Liga Inggris, yang saat ini begitu kentara, tak seramai kala tribun berdiri masih ada. Kini, di sudut stadion bisa terlihat penonton atau turis Asia dengan ikat kepala berwajah India.
====
* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball
(din/a2s)