"We are building a structure for the future, not just a team of all stars". ~ Sheikh Mansour, September 2008.
Kutipan pernyataan pemilik Manchester City tersebut ditempel besar-besar di dinding kantor baru City. Lokasinya hanya berjarak 200 meter dari Stadion Etihad. Dari dinding kaca terlihat deretan lapangan yang menunjukkan ambisi The Citizens, julukan Manchester City, untuk menjadi bagian yang utuh dan tak terpisahkan dari Kota Manchester.
Sebelum diakuisisi oleh Abu Dhabi United Group (ADUG) pada 2008, Manchester City selalu berada di balik bayang-bayang kebesaran Manchester United. Nyaris tak ada gelar istimewa yang pernah diraih klub ini di Stadion Maine Road selama tiga puluh tahun terakhir, kecuali juara Divisi Satu pada musim 2001/2002 yang mengantarkan mereka ke Premier League.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akuisisi ADUG dari tangan aristokrat Thailand, Thaksin Shinawatra, mengubah sejumlah hal besar bagi City. Bukan cuma soal uang dan bisnis, tapi juga tentang posisi City di hati masyarakat Manchester.
Babak Baru Pembinaan Sepakbola
Dua tahun silam, kawasan di tenggara Stadion Etihad, Kota Manchester, tak lebih seperti wilayah yang ditinggalkan. Di sana berdiri kompleks pabrik yang terlihat tak terawat. Dengan statusnya sebagai kota industri, pabrik di Manchester timur turut menyumbang polusi bagi kota Manchester.
Kini, wilayah tersebut telah dipugar. Statusnya berganti menjadi wilayah yang paling hijau di Manchester dalam arti yang sebenarnya. Pun perubahan dalam hal nama: City Football Academy (CFA).
Kawasan seluas 80 hektar tersebut memang luar biasa. Terdapat 16 lapangan sepakbola dengan ukuran standar FIFA. Satu lapangan berada di dalam ruangan, satu lapangan lagi dikelilingi oleh tribun penonton yang berkapasitas lima ribu kursi, yang dinamai “Arena”.
Kantor City sendiri terletak di tribun timur Arena, termasuk kantor staf dan ruang dewan klub.

Di kawasan tersebut pun berdiri “Woodland Fitness Trail” sebagai sarana menguji ketahanan tubuh para pemain. Tempatnya bukan berupa bangunan, melainkan tanah lapang dengan pepohonan di dalamnya dan kontur tanah yang berundak. Sementara itu, pusat kebugaran berada di “The Performance Center”, area terpadu di mana pusat kebugaran, kesehatan, terapi, relaksasi ada di sana.
Turut berdiri pula kamar-kamar yang ditujukan untuk pemain junior dan pemain utama Manchester City. Lokasinya berada di “Central Training Facility” (CTF) yang berlokasi di tengah-tengah akademi. Di sana, dibangun kamar-kamar untuk akomodasi orang tua pemain muda, lengkap dengan longue di lantai dasar.
CTF pun memiliki ruangan untuk menganalisa latihan yang disebut “Teaching Lab”. Di lantai dasar, terdapat ruangan untuk menggantung sepatu atau “Boot Room” dan sarana kebugaran (gym). Bangunan CTF berada di utara dan selatan lapangan indoor. Bangunan di sisi selatan dikhususkan sebagai tempat akomodasi pemain utama City.
Dengan fasilitas yang “segala ada, para pemain utama City pun mengaku tak keberatan untuk berlama-lama tinggal di akademi. Pablo Zabaleta misalnya. Bek utama City ini yakin dengan segala fasilitas yang ada, City akan menjadi salah satu tim terbaik di Eropa. Ia menceritakan pengalamannya saat berlatih bersama timnas Argentina di akademi.
“Semua orang terkesan,” tutur Zabaleta seperti dikutip Mirror, “Pemain baru akan terkesan atau merasa nyaman saat mereka melihatnya. Mereka (City) punya segalanya di sini untuk menjadi (klub yang) profesional dan kami tak bisa meminta lebih, (karena) kami memiliki segalanya.”

Untuk menunjang penampilan tim utama, Akademi City dilengkapi dengan lapangan rumput yang berbeda-beda permukaannya. Ini dilakukan agar para pemain dapat beradaptasi dengan rumput buatan yang biasanya digunakan di negara di mana rumput asli tak bisa tumbuh. Warna lapangan pun disesuaikan dengan warna kebesaran City: biru muda!
City tahu benar kalau sepakbola tidak bisa lepas dari pendidikan. Mereka pun mendirikan tiga pusat pendidikan yang berlokasi di sisi selatan akademi. Di sana berdiri Connel Sixth Form College, Manchester Institute of Health and Performance, dan East Manchester Academy. Tak lupa, Akademi City memiliki nilai filosofi lewat jembatan yang menghubungkan area tersebut dengan Stadion Etihad.

Orang-orang pun mulai membandingkan City dengan saudara tuanya, Manchester United (MU). MU mengeluarkan dana hingga 25 juta poundsterling untuk mengembangkan pusat latihan mereka di Carrington. MU meningkatkan kualitas fasilitas medis dan membuat departemen sports science.
Namun, tentu saja hal tersebut bukan untuk dibanding-bandingkan. Keduanya memiliki tujuan serta cara pandang yang berbeda dalam pembangunan dan konsep tempat latihan.
Bukan Sekadar “Kampus”
City menyebut akademi miliknya sebagai “bukan sekadar akademi”. Mereka pun menamai kawasan tersebut sebagai “Etihad Campus”. Sebenarnya “Etihad Campus” tidak merujuk pada akademi semata, tapi juga pada kawasan yang akan segera dibangun.

Dari rencana yang disajikan, usaha yang diperlihatkan dari pembangunan tersebut menyiratkan bahwa “Etihad Campus” malah bukan sekadar kampus. Ia adalah media bagi City untuk merekatkan diri dengan masyarakat Manchester. Ia juga menjadi sarana pembangunan berkelanjutan untuk mengakomodasi masyarakat Manchester khususnya di bagian timur.
Pembangunan akademi hanyalah fase pertama dari tiga strategi inti Manchester City. Dalam waktu dekat, pembangunan akan difokuskan pada peningkatan jumlah kursi di Stadion Etihad. Mereka akan menambah satu teras di tribun selatan dan utara yang berlokasi di belakang gawang. Kapasitas penonton mesti ditingkatkan mengingat tiket pertandingan di hampir semua pertandingan selalu terjual habis.
Nantinya, Stadion Etihad diharapkan mampu menampung 62 ribu penonton, dari jumlah saat ini yang mencapai 48 ribu kursi “saja”.
Fase ketiga dari strategi ini City bisa dibilang sebagai pelengkap. ADUG sebagai konsorsium pemilik Manchester City, telah menjalin kerjasama dengan Dewan Kota Manchester. Kabarnya, City akan membantu dewan kota untuk membangun “kota” baru di Mancester bagian timur.
Dewan kota pun memandang positif hal ini. Kerjasama mereka mulai terlihat saat dibuatkannya pemberhentian tram di sebelah utara Akademi City. Selain itu, pada Juni tahun lalu, mereka bekerjasama untuk membangun kawasan permukiman di Ancoats dan New Islington yang berlokasi di sekitar wilayah Stadion Etihad. Dewan kota bahkan menyebutnya sebagai “investasi permukiman terbesar untuk satu generasi”. Dari kerjasama tersebut, setidaknya 830 rumah akan dibangun, dan mencapai enam ribuan rumah pada 2027.
Dana yang disiapkan untuk pengembangan mencapai satu miliar poundsterling. Selain perumahan, pusat hiburan juga akan berdiri seperti kasino.
Pihak ADUG sendiri telah menginstruksikan bagi pengembang untuk memprioritaskan warga asli Manchester untuk bekerja di projek tersebut. Mereka baru boleh merekrut orang luar Manchester jika memang tidak ada yang mampu mengerjakannya.
Wilayah Stadion Etihad dikenal dengan nama Sportcity. Kawasan tersebut merupakan tuan rumah penyelenggaraan Commonwealth Games pada 2002 silam. Selain stadion sepakbola, juga terdapat velodrome untuk balap sepeda, pusat squash nasional, pusat pertandingan BMX, lapangan tenis, dan lapangan atletik.
Kini, wilayah tersebut merupakan bagian dari “Etihad Campus”, yang juga meliputi akademi serta pembangunan lain di area Stadion Etihad.

Kerjasama antara ADUG sebagai pemilik klub Manchester City dengan Dewan Kota Manchester tidak hanya menguntungkan bagi City sebagai klub tapi Greater Manchester sebagai “County” yang menaungi bukan hanya “city” tapi juga “cities”. Pembangunan wilayah timur Kota Manchester akan berpengaruh pula pada kota-kota di sekitarnya seperti Stockport, Tameside, Oldham, dan Rochdale.
Kedekatan emosional ini tentu akan menjadi dukungan tersendiri bagi mereka yang merasa terisolasi dan merasa sendiri: Manchester City.
Menghindari Sanksi Financial Fair Play
MU dan City adalah dua klub kaya. Bedanya, United mendapatkan laba dari pemasukan komersial, sementara City adalah klub yang dimiliki oleh orang kaya atau istilahnya “sugar daddy”.
Banyak cara dilakukan untuk mengakali aturan Financial Fair Play (FFP). MU seperti tak tersentuh oleh FFP meski mereka mengeluarkan hingga 150 juta pounds untuk biaya transfer. Wajar, karena pemasukan mereka mencapai 500 juta pounds, sehingga 150 juta pounds tidak menimbulkan kerugian bagi neraca keuangan klub.
Lain halnya dengan City. Klub yang kepalang kaya dari uang si pemilik, tidak dihitung sebagai pemasukan. Biasanya, modal yang diberikan pemilik merupakan pinjaman yang harus dibayar oleh klub.
City pun mulai mengalihkan dana transfernya untuk membeli franchise di Liga Amerika, MLS. Seperti kasus Frank Lampard saat ini misalnya. City tak mungkin membeli Lampard karena sudah melewati batas FFP. New York City FC, yang sama-sama dimiliki ADUG, membeli Lampard, lalu meminjamkannya ke Manchester City.
Aturan FFP juga tidak menghitung pengeluaran yang disebabkan oleh pembangunan sarana latihan dan infrastruktur tim usia muda. Maka, pembangunan akademi menjadi salah satu cara terbaik untuk mengalihkan alokasi dana untuk transfer pemain.
Syeikh Mansour memang sudah berencana membangun “sesuatu” yang dapat memastikan masa depan City. Namun, jika bukan atas desakan FFP, barangkali tidak akan seambisius seperti sekarang ini.
Dengan pembangunan akademi dan fasilitas latihan yang lebih baik, bukan tidak mungkin jika City tak lagi membeli pemain-pemain mahal. Mereka akan berubah menjadi salah satu “pabrik” pesepakbola muda terbaik di dunia.
Hebatnya, pembangunan ini seperti dua sisi mata uang yang saling menguntungkan. Sisi yang satu, City mendapatkan suplai pemain karena membangun “pabrik” pesepakbola muda dengan fasilitas terbaik di dunia; Sisi yang lainnya, City ingin menegaskan kalau “matahari” tak hanya beredar di barat, di sekitar kota Trafford, tapi juga terbit dari timur.
====
* Akun twitter penulis: @aditz92 dari @panditfootball
(a2s/mrp)