Kompetisi sepakbola terbesar di Afrika sudah dimulai pada 17 Januari 2015. Equatorial Guinea ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Afrika edisi ke-30. Sebanyak 15 kesebelasan yang lolos dari babak kualifikasi berhak tampil di babak utama mendampingi Equatorial Guinea sebagai tuan rumah.
Piala Afrika 2015 menjadi oase di tengah pageblug virus Ebola yang melanda sebagian Afrika. Awalnya, Maroko yang dipilih oleh Konfederasi Afrika, CAF, untuk menjadi tuan rumah. Negara yang berbatasan dengan benua Eropa tersebut dianggap memiliki infrastruktur yang cukup baik.
Seiring dengan berkembangnya isu mengenai virus ebola, Maroko menarik diri sebagai tuan rumah Piala Afrika. Mereka khawatir ebola akan menyebar ke seluruh negeri. Keikutsertaan Maroko di Piala Afrika 2015 pun dicabut. CAF dengan cepat menunjuk Equatorial Guinea sebagai penggantinya. Negara peringkat ke-118 dalam ranking FIFA tersebut menyiapkan empat stadion untuk menggelar pertandingan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Piala Afrika sebenarnya bukan sekadar kompetisi. Ia seperti etalase di mana para pemain menggunakan momen tersebut sebagai batu loncatan untuk memuluskan karier sepakbolanya.
Piala Afrika adalah kompetisi yang kerap memberikan kejutan. Juara terbanyak saat ini dipegang oleh Mesir yang berhasil tujuh kali menjadi juara. Hebatnya lagi mereka melakukannya tiga kali secara beruntun pada 2006, 2008, dan 2010. Lalu, di mana kejutannya? Setelah Piala Afrika 2010, mereka tidak pernah lolos kualifikasi!
Dibandingkan dengan Asia, pemain Afrika jauh lebih mahir beradaptasi di liga-liga Eropa. Salah satu buktinya adalah banyaknya pemain Afrikayang bermain di kompetisi Eropa. Bukan cuma kecepatan, pemain Afrika umumnya diberkahi fisik yang prima, dan bentuk tubuh yang menunjang. Mereka juga dibekali mental kuat berhadapan dengan lawan yang asing.
Indikasi paling kentara adalah sudah cukup sering pemain-pemain Afrika menjadi nominator pemain terbaik dunia. Dari Samuel Etoβo hingga Drogba, misalnya. Bahkan sudah ada pemain Afrika yang menjadi pemain terbaik dunia versi FIFA yaitu George Weah dari Liberia pada 1995. Pemain dari Asia masih harus berjuang lebih keras untuk mencapai hal itu.
Kompetisi Tanpa Henti
Jika bicara soal sepakbola, barangkali Afrika bisa dibilang sebagai benua yang paling semangat. Buktinya jelas: kompetisi sepakbola yang tanpa henti sepanjang tahun. Ini pula yang membuat mereka lebih siap berkompetisi di tingkat internasional karena mental bertanding yang telah terbentuk.
Piala Afrika merupakan pertandingan dua tahunan. Ini jelas berbeda dengan kompetisi di konfederasi lain. Piala Eropa, dan Piala Asia digelar empat tahun sekali. Pun dengan Piala Dunia. Format dua tahunan ini secara konsisten diterapkan sejak Piala Afrika 1968 yang digelar di Ethiopia. Ini mirip dengan Piala Copa Amerika yang digelar untuk negara-negara Amerika Selatan atau Latin juga sempat digelar dua tahunan sekali -- kemudian berubah format per 2001.
Pada 2012, CAF memutuskan Piala Afrika digelar pada tahun ganjil. Alasannya sama seperti yang dikemukakan AFC, saat memindahkan Piala Asia ke tahun ganjil sejak 2007. CAF tak ingin Piala Afrika bentrok dengan Piala Dunia yang nantinya bisa mengganggu persiapan wakil Afrika di Piala Dunia. Secara komersial, hingar bingar Piala Afrika pun diprediksi akan terganggu, karena masyarakat sepakbola sudah terlanjur fokus dengan Piala Dunia.
Pemindahan ke tahun ganjil ini terbilang unik. CAF memutuskan bahwa pada 2013 Piala Afrika kembali digelar. Artinya tidak ada jeda antara penyelenggaraan Piala Afrika 2012 dengan Piala Afrika 2013.
Kompetisi dua tahunan ini pastilah membuat Anda bertanya secara kritis, "Memang apa spesialnya? Toh, Piala AFF juga digelar dua tahun sekali?"
Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, Piala Afrika merupakan kompetisi tertinggi antarnegara dalam satu benua. Mereka yang ingin bermain di Piala Afrika mesti melalui babak kualifikasi. Babak kualifikasi biasanya digelar satu tahun sebelumnya. Ini yang membuat hampir tidak ada pertandingan βpersahabatanβ bagi negara anggota CAF, karena kompetisi yang tanpa henti membuat semua pertandingan bertajuk hidup-mati.

Ambil contoh Tunisia. Dari sepuluh pertandingan terakhir, enam di antaranya melakoni kualifikasi Piala Afrika 2015. Bandingkan dengan sepuluh pertandingan terakhir Indonesia, misalnya. Dari 10 pertandingan terakhir, tujuh di antaranya merupakan pertandingan "persahabatan".
Alasan kedua, CAF sebenarnya memiliki dua kompetisi tertinggi. Ya, Piala Afrika atau "African Cup of Nations" hanyalah satu dari dua kompetisi tertinggi di Afrika. Kompetisi satunya lagi dinamai "African Championship of Nations" atau disingkat Chan.
Kompetisi yang digagas pada 11 September 2007 tersebut memiliki format yang sama persis dengan Piala Afrika. Bedanya, Chan merupakan kompetisi eksklusif bagi pesepakbola yang berlaga di kompetisi nasional. Pemain yang berlaga di kompetisi selain di negaranya, apalagi di Eropa, tidak diperkenankan ikut dalam skuat.
Pembentukan Chan sebenarnya tak lebih sebagai upaya mengembangkan potensi pesepakbola Afrika yang berlaga di kompetisi domestik. Maklum, 14 dari negara peserta Piala Afrika 2015, membawa lebih dari 10 pemain yang berlaga di Eropa. Hal paling mencolok diperlihatkan Senegal. Dari 23 pemain yang dibawa ke Guinea, tidak ada satupun yang merumput di Liga Senegal, ataupun liga lain di Afrika. Semuanya berasal dari Eropa!
Kompetisi di Afrika tidak selesai sampai di situ. Seperti halnya Asia, negara anggota CAF umumnya tergabung dalam sub-konfederasi yang dipetakan berdasarkan letak geografis. Ada lima zona yang mewadahi 56 negara anggota CAF.
Tentu saja hampir semua sub-konfederasi tersebut memiliki kompetisi tersendiri. Bisa Anda bayangkan betapa sibuknya asosiasi negara di Afrika mengatur jadwal.
Sulit Diprediksi
Piala Afrika menghadirkan banyak kejutan. Faktanya, tidak semua negara yang menjadi juara lolos dengan mudah ke penyelenggaraan tahun berikutnya. Ini yang terjadi pada Mesir yang menjadi juara pada 2010, dan Nigeria yang juara pada 2013.
Lalu, siapa sangka Bukraina Faso yang tidak memiliki sejarah kejayaan di Afrika, berhasil melaju ke final 2013. Pun dengan Zambia yang secara mengejutkan mengalahkan Pantai Gading pada final Piala Afrika 2012 dan mencatatkan sejarah untuk pertama kalinya menjadi jawara Afrika.
Tahun ini, bukan Kamerun, bukan pula Gading yang menjadi favorit juara, tapi Aljazair. Nabil Bentaleb dan kolega mencatat prestasi membanggakan pada Piala Dunia 2014 lalu, dengan lolos ke babak 16 besar. Dalam peringkat FIFA Aljazair kini berada di peringkat teratas dalam ranking CAF, dan peringkat ke-18 dalam ranking FIFA.
Sementara itu, Ghana tengah dalam performa puncak. Mereka akan dibayar lima ribu dollar untuk setiap pertandingan. Federasi Ghana juga memberikan insentif senilai 60 ribu dollar jika mereka menjadi juara.
Nama lain yang berpeluang besar adalah Mali dan Ghana. Dua negara tersebut selalu berhasil menembus babak semifinal dalam dua penyelenggaraan terakhir. Keduanya pun belum pernah lagi masuk final sejak dua dekade terakhir.
Batu Loncatan
Selain penuh kejutan, Piala Afrika juga menjadi batu loncatan bagi sejumlah pemain untuk memantapkan karier sepakbolanya. Piala Afrika 2013 menjadi gelaran istimewa bagi Sunday Mba. Gelandang yang mengemas dua gol bagi Nigeria tersebut akhirnya direkrut oleh klub Liga Prancis, SC Bastia.
Pun dengan Fernando Maria Neves. Pemain kelahiran Cape Verde tersebut berhasil membawa debut negaranya hingga babak delapan besar. Namanya tercantum dalam "Team of The Tournament" Piala Afrika 2013. Secara karir, Nandoβpanggilan akrabnyaβsebenarnya sudah hampir habis karea ia telah berusia 34 kala itu. Ia pun berkompetisi bersama kesebelasan LB Chateauroux yang merumpu di tingkat kedua Liga Prancis. Karena penampilannya yang cemerlang bersama Cape Verde, salah satu kesebelasan yang pernah merajai kompetisi sepakbola Cekoslovakia, Slavia Praha, pun meminangnya.
Pencetak gol terbanyak Piala Afrika 2013, Emmanuel Emenike, menjadi salah satu sosok sukses. Pada 2011, Emenike dilepas dari Fenerbahce ke Spartak Moscow. Ia dilepas dengan catatan tanpa pernah bermain sekalipun. Ia dianggap terlibat dalam skandal pengaturan skor. Hebatnya, ia masih dihargai 10 juta euro. Setelah menjadi pencetak gol terbanyak, Fenerbahce kembali meminangnya dengan harga lebih mahal, 13 juta euro. Sejak saat itu, ia selalu menjadi pilihan di lini serang Fenerbahce.
Sejumlah pemain seperti Vincent Enyeama, Michel Essien, dan El Hadji Diouf mendapatkan kepopuleran setelah mereka berlaga di Piala Afrika.

Enyeama memulai debutnya di timnas pada 2002. Ia memulai debutnya di Piala Afrika pada 2004. Lalu, pada 2005, ia pun bermain di Eropa, tepatnya di Israel kala membela Bnei Yehuda. Saat ini,Enyeama bergabung bersama Lille yang berkompetisi di Liga Prancis.
Pun dengan Essien yang bermain di Piala Afrika 2002. Penampilannya tersebut menjadi faktor kepindahannya dari Bastia ke Lyon. Ia pun mendapat performa puncaknya pada 2005 saat hijrah ke Chelsea.
El Hadji Diouf lebih fenomenal. Ia membawa Senegal ke final Piala Afrika 2002. Dia juga bermain impresif di Piala Dunia 2002, dengan membawa Senegal hingga babak delapan besar. Penampilannya tersebut membuat Diouf ditarik Liverpool dengan banderol 10 juta pounds.
Menyontek Piala Afrika
Lebih dari 60 persen pemain yang berlaga di Piala Afrika, merumput di Eropa. Walaupun begitu, kualitas liga-liga di Afrika tidak bisa dibilang baik. Dalam satu dekade terakhir, hanya kesebelasan dari liga Mesir, Aljazair, Tunisia, dan Republik Demokratik Kongo yang menjadi kampiun Liga Champions Afrika. Kesebelasan dari negara langganan Piala Dunia seperti dari Kamerun, Ghana, dan Pantai Gading, tidak pernah juara selama satu dasawarsa terakhir.
Dengan kualitas liga yang seperti itu, toh Ghana dan Kamerun masih bisa melenggang ke Piala Dunia. Rahasianya? Mereka memboyong mayoritas pemain yang berlaga di Eropa. Bagaimana dengan Asia?

Kecuali kiprah Korea Selatan pada Piala Dunia 2002, sejak jumlah kontestan ditambah menjadi 32 peserta, wakil Asia tidak pernah melangkah lebih dari babak 16 besar. Bahkan, tahun lalu, tidak ada satupun yang melenggang dari fase grup.
Pun dalam hal ranking FIFA. Saat ini peringkat tertinggi Asia dipegang oleh Iran yang berada pada peringkat ke-51 FIFA. Bandingkan dengan Afrika yang menempatkan Aljazair pada peringkat ke-18 FIFA.
Lewat kompetisi tanpa henti, sejumlah negara kecil berkesempatan untuk menghadapi negara yang jauh lebih besar. Misalnya, Cape Verde yang bertanding menghadapi Ghana pada babak perempat final. Walaupun kalah, setidaknya mereka bisa belajar bagaimana bertanding dengan kesebelasan yang jauh lebih kuat.
Bukankah kita sudah teramat bosan mendengar lawan tanding timnas Indonesia yang itu-itu saja: kalau tidak Suriah, ya Timor Leste. Itu pun dalam level βkeseriusanβ pertandingan persahabatan.
Dengan jarak kompetisi yang berdekatan, timnas negara yang lebih lemah diharapkan mampu belajar pada timnas negara yang lebih kuat. Atau setidaknya, mental para pemain sudah terasah karena berlaga di kompetisi tingkat internasional.
Dari kompetisi antarnegara di Afrika, setidaknya kita bisa memahami betapa prestasi jauh lebih penting ketimbang gengsi sekadar memenuhi jadwal pertandingan.
====
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @aditz92
*Foto-foto: AFP/Getty Images
(roz/mfi)











































