David Ginola berniat mencalonkan diri sebagai Presiden FIFA? Serius? Soal satu itu nanti saja. Mari berbicara tentang Ginola dari aspeknya yang lain-lain dulu.
Tahun 2000, jurnalis The Guardian, Dennis Campbell, menulis sebuah artikel dari hasil wawancaranya dengan bintang sepakbola Prancis itu. Artikel tersebut diberinya judul “A Man of Two Halves.” Judulnya sendiri telah dengan baik menggambarkan Ginola.
Ginola selalu ingin pergi ke manapun tanpa diperhatikan orang-orang. Ia mendambakan keleluasaan bergerak. Namun Ginola juga suka memanfaatkan popularitasnya untuk menarik perhatian. Nama besarnya ia gunakan untuk mengabdi kepada Palang Merah. Sepeninggal Putri Diana, Ginola adalah ujung tombak Palang Merah untuk kampanye anti ranjau darat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ginola kini sudah berusia 48 tahun. Walau garis-garis ketuaan sudah mulai merambati wajahnya dan rambutnya pun sudah mulai memutih, Ginola masih – meminjam istilah Sam Pilger dari FourFourTwo – immaculately dressed and eternally handsome. Ia masih memiliki efek yang sama kepada para perempuan dan sebagian laki-laki. Namun alih-alih menjadi model seperti dahulu, Ginola kini memanfaatkan keunggulan-keunggulan tersebut untuk maju sebagai calon presiden FIFA.
Pengorbanan Besar untuk Newcastle
Setelah bermain untuk Sporting Toulon Var, Racing Club de France football Colombes 92, dan Stade Brestois 29, tuntutan pekerjaan membawanya pindah ke Paris. Paris Saint-Germain Football Club menjadi kesebelasan barunya sejak tahun 1992. Bersama PSG, Ginola bertahan selama tiga tahun. Sela itu ia meraih empat gelar piala dan dua gelar individu bergengsi; pemain terbaik Prancis 1993 dan pemain terbaik Ligue 1 tahun 1994.

Semua keberhasilan tersebut membuat Johan Cruyff, manajer Barcelona, meminati Ginola. Pada musim panas tahun 1995, Cruyff mengundang Ginola ke kejuaraan golf yang diselenggarakan oleh yayasan miliknya. Pada kesempatan tersebut Cruyff menyampaikan niatan untuk merekrut Ginola, langsung kepada sang pemain sendiri. Ginola, kata Cruyff saat itu, adalah prioritas utamanya.
Ginola menyambut informasi tersebut dengan senang hati. Ia menyukai kesempatan bermain untuk Barcelona. Namun kepindahan tersebut tidak pernah terjadi karena Barcelona tidak jadi melepas Gheorghe Hagi dan Hristo Stoichkov. Pelepasan kedua pemain tersebut adalah salah satu langkah yang harus Cruyff lakukan untuk mendapatkan dana transfer dan menyediakan ruang bagi Ginola.
Akhirnya Ginola tetap meninggalkan PSG. Ia menuju Inggris, bergabung dengan Newcastle United untuk menyambut musim 1995/96. Ginola mengaku bahwa ia sebenarnya tidak tahu banyak mengenai Newcastle, selain fakta bahwa klub tersebut baru promosi ke Premier League. Adalah Kevin Keegan, manajer Newcastle saat itu, yang membuat Ginola mau bergabung dengan The Magpies.
Pengorbanan pertama Ginola untuk Newcastle adalah menolak Arsenal. David Dein, chairman Arsenal saat itu, meneleponnya nyaris tengah malam di hari yang sama saat dirinya telah diyakinkan Keegan. Ginola belum menandatangani kontrak dengan Newcastle sehingga secara hukum ia masih sah menjalin kesepakatan dengan pihak lain. Namun Ginola menyudahi ketertarikan Arsenal karena ia telah berjanji kepada Newcastle.
“Janji saya yang mengikat Ginola dengan Newcastle, bukan hitam di atas putih.” katanya .

“Saya mengerti Anda ingin pergi, namun saya tidak akan mengizinkan hal tersebut terjadi. Ketika Andy Cole pindah ke Manchester United saya mendapatkan banyak masalah dari para penggemar dan saya tidak ingin mengambil risiko itu lagi,” ujar Keegan kepada Ginola.
Ginola pun bertahan di Newcastle walaupun ia bisa saja pergi. Apalagi istrinya tidak betah tinggal di Newcastle. Gegar budaya yang dirasakan istri Ginola setelah pindah dari kota metropolitan Perancis, Paris, ke sebuah kota di utara Inggris yang lebih dekat dengan Skotlandia ketimbang ibu kota negaranya sendiri, Newcastle upon Tyne, terlalu berat untuk dihadapi. Adalah pergantian manajer yang akhirnya membuat Ginola tidak lagi mau bertahan di Newcastle.
Kenny Dalglish tidak mengandalkan Ginola sebagaimana Keegan menyukainya. Dari Newcastle, Ginola pindah ke Tottenham Hotspur dan menemukan puncak performa dan reputasinya di sana.
Ambil Risiko Kehilangan Kaki di Kamboja dan Jadi Calon Presiden FIFA
Ginola tidak ambil bagian di Piala Dunia 1998. Ketika Prancis menjadi juara Piala Dunia di rumah sendiri, ia menangis. Ginola tidak ikut berbahagia. Namun itu bukan tentang dirinya. Arogan dan egois adalah Ginola. Namun ia juga banyak mementingkan orang lain.
“Saya sadar bahwa impian saya untuk menjuarai Piala Dunia di negara sendiri telah berakhir. Ini bukan mengenai saya – saya hanya ingin membuat ibu dan ayah saya bangga. Saya merasa bersalah karena menggagalkan kesempatan mereka untuk menikmati momen bersejarah bagi Prancis tersebut,” aku Ginola kepada FourFourTwo.
Pada kasus yang berbeda, Ginola merasa bahwa puncak kariernya ia nikmati semasa berada di Tottenham Hotspur karena mereka benar-benar bergantung kepadanya. Ginola sangat suka setiap kali George Graham, manajer Spurs saat itu, berkata “David, kami membutuhkan keajaiban darimu.”

Ia merasa sangat penting. Ia merasa tersanjung karenanya, dan ia selalu ingin membalas perlakuan Graham dan rekan-rekannya dengan bermain sebaik mungkin untuk mereka.
“Sang penghibur naluriah ini juga adalah seorang pemain yang mengedepankan tim, selalu berusaha menciptakan peluang untuk rekan yang biasanya tidak lebih berbakat,” tulis Campbell mengiyakan pernyataan Ginola. Walaupun terdengar bias, Ginola memang sebenarnya mulia. Meneruskan tugas Putri Diana adalah buktinya.
Menyuarakan kampanye anti ranjau darat bersama Palang Merah bukanlah pilihan yang mudah. Salah satu bagian dari pekerjaannya dalam hal ini adalah mendatangi daerah-daerah yang masih memiliki banyak ranjau darat, seperti Angola dan Kamboja. Ranjau darat memakan banyak korban. Kalaupun tidak meninggal, para korban pasti kehilangan kaki. Dan itu adalah sesuatu yang mengerikan mengingat Ginola adalah seorang pemain sepakbola. Kaki, untuk pemain sepakbola manapun, adalah bagian tubuh yang paling berharga.
Namun Ginola tidak gentar dan tidak keberatan liburannya terambil oleh tugas kemanusiaan ini. “Jika Anda mengorganisir sebuah acara dan Anda butuh menarik perhatian atau menggalang dana, Anda membutuhkan nama besar,” ujarnya kepada Dennis Campbell. Lebih jauh lagi, Ginola merasa bahwa para pemain sepakbola memiliki tanggung jawab sosial untuk memanfaatkan nama besar mereka demi menarik perhatian untuk hal-hal mulia serupa.

Baru-baru ini Ginola sedang dalam perjalanan untuk melakukan “tugas mulia” lainnya. Ia akan maju sebagai calon presiden FIFA, menyudahi kekuasaan Sepp Blatter dan korupsi yang katanya menggerogoti FIFA.
“Kita semua tahu bahwa sistem FIFA tidak berjalan. Dengan bergabung bersama Tim Ginola, Anda sudah mengatakan ‘ya’ untuk pembentukan demokrasi, transparansi, dan kesamarataan dalam FIFA. Anda mengatakan ‘ya’ kepada FIFA yang peduli terhadap satu hal – sepakbola,” ujar Ginola ketika mengumumkan pencalonan dirinya.
Sayangnya usaha Ginola mungkin tidak akan lancar. Dana untuk pencalonan dirinya ia dapatkan dari rumah taruhan Paddy Power. Dan FIFA melarang para calon presidennya ambil bagian dalam hal pertaruhan dan perjudian, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jika Ginola tetap berkeras untuk maju sebagai calon presiden FIFA, mungkin ini merupakan saat yang tepat untuk mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan di perguruan tinggi. Di Universite Nice Sophia Antipolis, Ginola mengambil jurusan hukum.
Semua pengetahuan yang ia miliki, digabungkan dengan kemampuan persuasinya, bisa saja menjadi senjata ampuh untuk memuluskan jalannya menjadi presiden FIFA.
“Ketika saya berbicara, orang-orang mendengarkan saya. Saya tidak ingin terdengar berlebihan; hanya saja faktanya sepanjang karier saya, ketika saya berbicara atau membuat pernyataan, orang-orang mendengarkan saya,” ujar si ganteng ini.

===
* Penulis anggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @nurshiddiq
(krs/a2s)