Dongeng Klasik Perugia

Dongeng Klasik Perugia

- Sepakbola
Rabu, 04 Feb 2015 10:03 WIB
Getty Images/Stringer
Jakarta - Mungkin kita hanya mengenal AC Milan dan Juventus sebagai kesebelasan yang pernah menyelesaikan satu musim tanpa kekalahan di Serie A. Bukan hal aneh jika hanya dua kesebelasan tersebutlah yang mampu dikenang.

Raksasa Turin, yang dilatih mantan gelandang Antonio Conte, menggondol gelar scudetto ke-28 untuk Juventus dan membuat semua pertandingan di musim 2011/2012 menjadi manis karena berhasil dilalui tanpa kekalahan.

Tapi sebelum Conte meraih prestasi tak terkalahkan, Fabio Capello telah melakukan hal yang sama di musim 1991/1992 bersama AC Milan. Capello merajai Serie A dengan tiga serangkai Belanda, Ruud Gullit-Marco van Basten-Frank Rijkaard dan bintang-bintang lokal yang sedang digdaya seperti Franco Baresi, Mauro Tasotti, Alessandro Costacurta hingga Paolo Maldini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi Rossoneri, julukan Milan, tetap tidak bisa mengklaim sebagai kesebelasan Italia pertama yang menyelesaikan satu musim tanpa menderita kekalahan di Serie A.

Sejak dimulainya Serie A pada 1929, Serie A hanya dimenangkan oleh klub dari kota Milan, Turin, Bologna, Firenze, Roma, dan Cagliari. Cagliari Calcio pun pertama kalinya merebut scudetto pada tahun 1970. Namun bukan kesebelasan-kesebelasan dari kota itu yang pertama merasakan tak terkalahkan sepanjang satu musim, bukan juga Milan atau Juventus.

Jawabannya adalah Perugia. Dan tak terkalahkannya Perugia adalah sebuah dongeng klasik sepakbola Italia.

Tiga Serangkai Racikan D'Attoma

Associazione Calcistica Perugia CalcioΒ yang dibentuk pada bulan Juni 1905 mengalami kesulitan keuangan pada 1973. Namun, di tengah kesulitan keuangan itu, mereka justru sedang mulai menorehkan sebuah catatan bersejarah.

Semua dimulai dengan kedatangan Franco D'Attoma. Ia datang dan menjadi presiden klub dan sejarah kemudian mencatat ia bak juru selamat guna membawa Perugia mengatasi berbagai kesulitan di musim 1973/1974.

D'Attoma berasal dari keluarga kaya di Apulia. Ia jatuh cinta dengan Leyla Servadio di Perugia dan menikahi anak dari keluarga Servadio itu, yang mempunyai perusahaan pakaian, Ellesse. Hasil pernikahan inilah yang membuat D'Attoma memilik banyak modal untuk membeli Perugia.


D'Attoma (kanan) bersama dengan kostum Perugia (wikipedia).

Perugia pada waktu itu terpuruk begitu dekat dari dasar klasemen Serie B, dan bahkan makin mengkhawatirkan karena berada dalam kesulitan keuangan. Pintu kebangkrutan seakan terbuka lebar dan sudah siap menelan Perugia. Pada situasi macam itulah D'Attoma datang.

Namun bukan berarti urusan selesai setelah D'Attoma mengakuisisi Perugia. Justru ia malah mengakui jika dirinya bodoh dalam urusan sepakbola. Beruntung bagi D'Attoma, dirinya dengan tepat dan cepat merekrut orang-orang yang benar setelah menjadi Presiden Perugia.

Silvano Ramaccioni diangkat sebagai Direktur Olahraga, sementara Spartacus Ghini diangkat sebagai CEO. Buruan terakhirnya, mungkin yang terpenting, adalah mencari pelatih untuk menakhodai kapal Perugia di lapangan. Pilihan jatuh kepada Ilario Castagner.

Tiga serangkai "ciptaan" D'Attoma inilah yang mampu bekerja dengan cepat membawa Perugia ke masa renaisans (kelahiran kembali).

Castagner, mantan pelatih muda Atalanta, seakan membawa keajaiban di musim debutnya. Castagner sukses mengantarkan Perugia ke Serie A untuk pertama kalinya dalam sejarah sekaligus menjadi jawara di Serie B, setelah di musim sebelumnya justru nyaris terlempar ke Serie C.

Dari sini, sejarah seperti menemukan titik baliknya, dan dimulailah sejarah baru Perugia.

Membangun Kejayaan dengan Membangun Stadion


Stadion Renato Curi menjelang malam hari (Getty Images)

Langkah penting lain D'Attoma adalah memindahkan markas Perugia. Stadion Santa Giuliana, yang sebelumnya menjadi kandang Perugia dengan kapasitas 15 ribu orang, dianggap terlalu kecil untuk kesebelasan yang akan tampil di Serie A.

Rencana ambisius pun dibangun: membangun stadion secepat-cepatnya. Ini rencana gila. Akan secepat apa stadion bisa dibangun sementara Serie A musim 1973/1974 sudah sangat dekat?

Tapi tak ada yang tak mungkin bagi orang yang bersemangat dan ambisius. Dengan mengerahkan segala sumber daya, Stadio Pian di Massiano yang berkapasitas 28.000 penonton selesai dibangun dalam waktu empat bulan. Santa Giuliana, kandang lama, selanjutnya kini hanya digunakan sebagai tempat altetik.

Bermain di stadion dengan kapasitas yang lebih besar membuat Perugia mampu bertahan di Serie A selama 3 musim berturut-turut.

Namun di musim tersebut, Perugia dihadapkan pada tragedi mengenaskan. 30 Oktober 1977 saat Stadio Pian di Massiano hujan lebat, di tengah pertandingan saat menjamu Juventus, Renato Curi rubuh di lapangan. Penyelamatan pun dilakukan dengan memompa jantung dengan tangan dan memberikan nafas buatan sembari menunggu transportasi medis tiba.

Ketika ambulans bergerak ke Rumah Sakit di kota Perugia, Renato Curi, pesepakbola muda Biancorosso yang menjadi titik tumpu di lini tengah Perugia, harus menghembuskan nafas terakhirnya sebelum tiba di Rumah Sakit.

Tepat di tanggal 27 November 1977, sebelum pertandingan melawan Torino, Stadion Perugia berganti nama menjadi Renato Curi hingga sekarang. Sebuah penghormatan abadi untuk menengan Renato Curi atas sumbangsih sampai nafas penghabisan untuk Perugia.

Peramal Lokal dan Formasi 1-3-2-3-1

Pertanda baik datang di musim 1978/1979 mereka di Serie A. Peramal lokal memprediksi jika Perugia akan meraih scudetto di musim tersebut. Peramal itu beralasan jika warna Perugia yang identik dengan merah dan putih sesuai dengan warna bendera Polandia, yang merupakan negara asal Paus John Paul II. Paus John Paul II saat itu baru saja dilantik menduduki tahta Vatikan.

Castagner pun ternyata memulai musim baru dengan kemenangan di Stadion Renato Curi mengalahkan runner-up musim lalu Vicenza dengan skor 2-0, kemudian menahan imbang Inter 1-1 di San Siro melawan Inter setelah berhasil menyamakan kedudukan di akhir pertandingan melalui gol Marco Cacciatori. Sebuah kemenangan kandang kedua atas Fiorentina pun turut mengikuti.

Tapi publik baru benar-benar memperhitungkan Perugia sebagai kontestan terkuat ketika Perugia mengalahkan juara bertahan, Juventus, 2-1 di Stadion Municipal, Turin. Ya, menang di kandang juara bertahan tentu menarik perhatian.

Dan di pertandingan keenamnya, Perugia mampu menekuk Atalanta 2-0. Sebuah kemenangan yang mengantarkan mereka untuk pertama kalinya merasakan posisi puncak klasemen.



Castagner mengklaim, bahwa ia ingin timnya bermain seperti Ajax di formasi 1-3-2-3-1. Marco Vannini menjadi titik tumpu di lini tengah dengan didampingi Cesare Butti dan Paolo Dal Fiume sebagai gelandang bertahan sekaligus penyeimbang di depan pertahanan. Salvatore Bagni dan Walter Speggiorin beroprasi lebih lebar di depan, sementara Gianfranco Casarsa mengambil peran sebagai "Hidegkuti" atau yang kini di kenal sebagai false nine. Sang kapten, Pierluigi Frosio, berperan sebagai sweeper, tapi juga diberi kebebasan untuk bergabung lini tengah.

Awal paruh kedua musim tersebut menjadi momen kunci bagi Perugia di musim itu.

Situasi menjadi lebih sulit karena terutama semua orang kini memperhatikan apa yang sedang dilakukan Perugia. Mereka menjadi bahan pembicaraan karena melewati setengah musim tanpa terkalahkan. Media silih berganti menjadikannya sebagai tajuk berita. Tekanan menjadi kian hebat dan mental para pemain kini benar-benar diuji.

Perugia akhirnya memang bermain dengan penuh tekanan, terutama karena ekspektasi untuk mempertahankan rekor tak terkalahkan.

Mereka mengawali paruh musim kedua dengan menghadapi Inter Milan. Sialnya, Nerazurri unggul 2-0 di babak pertama. Di babak kedua, Castagner layak mendapatkan sanjungan setelah sukses membangkitkan semangat anak asuhnya dan memaksakan skor 2-2 pada menit akhir melalui sundulan Antonio Ceccarini.

Suka cita mempertahankan rekor tidak terkalahkan harus dibayar mahal dengan patahnya kaki pemain kunci, Vannini, setelah menerima tackle horor dari pemain Inter, Adriano Fedele. Vannini pun harus menutup musim 1978/1979 lebih cepat dan membuat perjalanan Perugia meraih Scudetto menjadi lebih berat.

Bertarung Hingga Akhir Kompetisi

Meskipun mengalami kemunduran, klub masih terus menjaga diri mereka diperebutan scudetto ketika pemimpin klasemen sementara, AC Milan, datang ke Stadion Renato Curi pada awal April dengan enam pertandingan tersisa.

Milan, di bawah Nils Liedholm, unggul dua poin saat tiba di Perugia. Kemenangan tentu akan berpotensi melambungkan momentum untuk kembali menguntungkan mereka. Tapi semua tidaklah mudah. Milan memimpin pada menit ke-15 lewat titik penalti yang dieksekusi dengan sempurna oleh Stefano Chiodi.

Selaku tuan rumah, juga atas nama peluang merebut gelar, anak asuh Castagner mau tidak mau harus bereaksi cepat. Perugia pun berhasil menyamakan kedudukan juga melalui titik putih di menit ke-17. Casarsa sukses mengeksekusinya dengan mulus dan hasil 1-1 bertahan hingga laga usai. Milan gagal menjauh dari kejaran Perugia, tapi pada saat yang sama Perugia juga gagal memanfaatkan laga kandang untuk menyamai raihan angka Milan (saat itu, kemenangan masih diganjar dua poin).

Mimpi scudetto akhirnya harus berakhir di dua pekan terakhir kompetisi (pekan ke-29). Perugia tahu mereka harus mengalahkan Lazio dan berharap Milan kalah dengan jumlah yang besar saat menjamu Bologna. Usaha Perugia saat mengalahkan Lazio 2-0 pun menjadi tidak berarti setelah Milan bermain 0-0 melawan Bologna.

Dongeng perburuan scudetto Perugia pun harus berakhir, sekaligus menepis hasil ramalan peramal lokal yang namanya tidak dapat diidentifikasi.
Tapi mereka sukses menutupi kekecewaannya saat di pertandingan terakhir bertandang ke Stadion Renato Dall'Ara. Perugia menutup musim 1978/1979 dengan hasil imbang 2-2. Sekaligus mengukuhkan sebagai tim pertama di Italia yang mengakhiri satu musim tanpa kekalahan.

Problem terbesar Perugia adalah mereka terlalu sering meraih hasil seri. Mereka memang tidak terkalahkan, tapi mereka kalah jauh dalam mengumpulkan poin kemenangan dari Milan. Mereka hanya 11 kali menang, sementara Milan meraih 17 kemenangan. Dengan selisih kemenangan seperti itu, Milan masih bisa melaju di atas Perugia kendati mereka mengalami tiga kekalahan. Milan meraih 44 angka, Perugia hanya 33 angka.

Juventus dan Milan tentu akan menjadi tim yang akan dikenang dengan raihan scudetto yang didapat tanpa menerima kekalahan selama semusim. Namun Perugia akan selalu memiliki kehormatan sebagai klub pertama yang tak terkalahkan selama semusim di Serie A.

Sejarah pun akan tetap mencatat Perugia sebagai klub pertama yang meraih prestasi yang di masa sekarang akan semakin sulit lagi untuk dicapai bukan hanya oleh Perugia tapi juga oleh kesebelasan-kesebelasan top sekali pun.

====

*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @randyprasatya

(roz/din)

Hide Ads