St Etienne sepanjang musim ini hanya mampu mengumpulkan 41 angka dari semua pertandingan Ligue 1. OM, sementara itu, memiliki tabungan delapan poin lebih banyak ketimbang St Etienne.
Pasukan Christophe Galtier, setelah menjalani dua puluh lima laga, duduk manis di peringkat empat sementara OM berada di peringkat kedua. Karena itulah kedua kesebelasan tidak terlibat persaingan langsung untuk sementara waktu.
Bagi St Etienne, mengejar Paris Saint-Germain yang tepat berada di atas mereka bukanlah pekerjaan yang dapat selesai dalam sepekan. Fokus utama mereka saat ini adalah terus meraih kemenangan agar Association Sportive de Monaco dan Girondins de Bordeaux yang sama-sama memiliki tabungan empat puluh angka tidak menyalip mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain masalah angka dan posisi, sebenarnya tidak ada riwayat permusuhan antara kedua kesebelasan. Tidak pula keduanya sedang (benar-benar) bersaing secara langsung; setidaknya untuk saat ini. Namun pertandingan ini, untuk beberapa kalangan, tetap istimewa.
Sedikit banyak karena pertemuan antara St Etienne dan OM sebenarnya sebuah mesin waktu. Sebuah mesin waktu yang, tepatnya, hanya dapat mengantar orang-orang yang mengetahui tujuan mereka.
Berprestasi, Turun Divisi, lalu Kembali Jadi Juara
Berdiri pada tahun 1919, Association Sportive de Saint-Etienne Loire harus menunggu selama 36 tahun untuk tahu seperti apa rasanya menjadi juara. Tersingkir dari ajang Coupe de France sebelum babak perempat final adalah sebuah blessing in disguise.
Saat itu, kesebelasan-kesebelasan yang tersingkir dari Coupe de France sebelum perempat final secara otomatis akan berkompetisi di ajang Coupe Charles Drago (seperti para penghuni peringkat ketiga di fase penyisihan grup Champions League yang mendapat hak bermain di babak gugur Europa League).
Maka bersainglah St Etienne di ajang Coupe Charles Drago hingga akhirnya menjadi juara, mengalahkan Club Sportif Sedan Ardennes dengan skor mencolok 6-3 di Parc des Princes, Paris.
Dua tahun berselang, St Etienne meraih trofi bergengsi pertama mereka. Empat puluh sembilan poin yang mereka kumpulkan dalam 34 pertandingan terbukti empat poin lebih banyak dari raihan pesaing terdekat, Racing Club de Lens. Gelar juara Division 1 pun menjadi milik Les Verts.
Tak hanya menjadi trofi bergengsi mereka yang pertama, gelar juara Division 1 pun menjadi tiket St Etienne untuk bertanding di laga Trophee des Champions. Lewat skor tipis 2-1 St Etienne mengalahkan lawan mereka saat itu, Toulouse Football Club.
Dua trofi bergengsi dalam waktu satu tahun ternyata diikuti empat tahun puasa gelar bergengsi.

Hari ke-13 di bulan Mei tahun 1962 di Olympique Yves-du-Manoir menjadi hari berakhirnya puasa gelar singkat St Etienne. Gol tunggal Jean-Claude Baulu di menit ke-86 pada pertandingan final Coupe de France membawa St Etienne mengakhiri pertandingan sebagai pemenang dalam laga melawan Football club de Nancy.
Walaupun berhiaskan kemenangan di final Coupe de France, musim 1961/62 tak sepenuhnya manis bagi St Etienne. Mereka hanya mengakhiri musim di peringkat ke-17; tepat di belakang musuh bebuyutan, Olympique Lyonnais, yang memiliki tabungan tiga angka lebih banyak.
OL bertahan di Division 1 sementara St Etienne turun tingkat ke Division 2.
St Etienne memberi respons cepat terhadap kemalangan tersebut. Mereka mengakhiri Division 2 musim 1962/63 sebagai juara. Di musim yang sama, St Etienne muda menjadi juara di kompetisi kelompok usia di bawah 19 tahun; Coupe Gambardella.
Gelar juara Division 2 membawa St Etienne promosi ke divisi utama. Dan mereka pun membuktikan ketangguhan dengan cara menjadi juara. St Etienne, kesebelasan yang sepanjang sejarahnya baru satu kali menjadi juara Division 1, datang dari divisi kedua untuk langsung menjadi juara. Sayangnya, puasa gelar singkat kembali mereka alami setelah pesta tahun 1964.
Final European Cup dan Kemunduran Prestasi
Musim panas 1966 adalah awal masa keemasan. Selama empat musim, St Etienne mengumpulkan sepuluh gelar juara; sembilan di antaranya adalah trofi bergengsi
St Etienne kembali mencatatkan double Coupe-championnat di musim 1973/74 dan musim 1974/75.
Pada musim 1975/76, St Etienne kembali menjadi juara Division 1 walau perjalanan mereka di ajang Coupe de France terhenti di babak 32 besar; kalah dua gol tanpa balas melawan Espérance sportive Troyes Aube Champagne. Walau perjalanan di cup domestik terhenti, di Eropa St Etienne terus melaju hingga partai final European Cup (sekarang Liga Champions).
St Etienne bukan kesebelasan Perancis pertama yang tampil di final European Cup. Jauh sebelum St Etienne menginjakkan kaki di puncak, Stade de Reims sudah melakukannya. Hanya saja Reims gagal menjadi juara karena kalah dengan skor 0-2 dari Real Madrid.
St Etienne, bagaimanapun, berpeluang menjadi kesebelasan Perancis pertama yang berhasil menjadi juara European Cup. Namun sama seperti Reims, St Etienne gagal. Berhadapan dengan FC Bayern München di Hampden Park. Glasgow, St Etienne kalah karena gol tunggal Franz Roth.
Setelah kalah di final European Cup, St Etienne perlahan tapi pasti mengalami kemunduran prestasi. Di tahun 1977, mereka hanya berhasil menjadi juara Coupe de France. St Etinne bahkan baru kembali meraih gelar bergengsi pada tahun 1981. Gelar juara Division 1 tahun itu praktis menjadi trofi bergengsi terakhir bagi St Etienne.
Sejak tahun 1981 hingga saat ini, St Etienne hanya meraih trofi Coupe Gambardella 1998, Ligue 2 (1999 dan 2004), dan Coupe de la Ligue 2013. Empat piala dalam waktu tiga puluh empat tahun, dan tak satupun di antaranya bergengsi.
Memahami Raksasa Tidur dan Mesin Waktu

Kebencian antara St Etienne dan OL, agar mudah dicerna, terjadi karena ini: Lyon, kota tempat OL berasal, adalah kota berisi orang-orang borjuis sementara Saint-Etienne, tempat St Etienne berdomisili, adalah kota kecil berisi kaum pekerja, yang letaknya secara kebetulan berdekatan dengan Lyon.
Satu-satunya kebanggaan Saint-Etienne adalah fakta bahwa St Etienne adalah kesebelasan yang lebih baik ketimbang OL. Ada anggapan umum seperti ini: untuk urusan apapun, bolehlah Lyon menjadi kota besar dengan Saint-Etienne sebagai daerah pinggirannya; namun untuk urusan sepakbola, Lyon adalah daerah pinggiran Saint-Etienne.
Sial bagi Saint-Etienne; sementara St Etienne mengalami kemunduran prestasi, OL bertransformasi. St Etienne tak lagi lebih baik ketimbang OL. Hingga saat ini, OL memang masih memegang rekor sebagai satu-satunya kesebelasan Eropa yang mampu menjadi juara liga selama tujuh musim berturut-turut.
Dilihat dari sisi manapun, pencapaian OL luar biasa. St Etienne toh menolak melihatnya demikian. Sah-sah saja jika mereka melakukan itu.
Bagaimanapun St Etienne hingga saat ini masih memegang rekor sebagai kesebelasan dengan jumlah gelar juara Division 1 (atau Ligue 1) terbanyak. Tepat di belakang St Etienne ada Olympique de Marseille dengan sembilan gelar juara (setelah gelar musim 1992/93 dicabut karena kasus pengaturan skor). Dan secara keseluruhan, jumlah gelar trofi bergengsi milik St Etienne memang masih lebih banyak ketimbang OL.
Secara tradisional, hanya ada tiga kesebelasan besar di Prancis. Yang pertama adalah St Etienne. Setelahnya ada OM dan OL. St Etienne, bagaimanapun, adalah yang paling jarang terdengar. Demikian adanya karena St Etienne adalah raksasa yang tidur terlalu lama hingga akhirnya terlupakan.
Saat OL muncul sebagai kekuatan baru, St Etienne tetap tertidur. Saat Zlatan Ibrahimović datang ke Perancis dan mengangkat pamor Ligue 1 di seluruh dunia, St Etienne tetap tak mampu menantang sang dewa; sementara OM, OL, dan AS Monaco terus menerus melakukannya sehingga nama mereka, dengan sendirinya, ikut mendapat perhatian. Tidak begitu adanya dengan St Etienne.
Nama besar St Etienne hanya dipelihara oleh para eks bintang mereka: Laurent Blanc, Aime Jacquet, Michel Platini, Jacques Santini, Bafetimbi Gomis, dan Pierre-Emerick Aubameyang adalah beberapa di antaranya. Ketika mendengar nama mereka dan mengetahui bahwa mereka pernah membela St Etienne, barulah nama St Etienne terdengar.
Bagaimanapun, kondisi terkini tak akan mengubah status pertandingan hari Minggu nanti selaku mesin waktu. Mesin yang akan membawa penikmat sepakbola Prancis kembali ke tahun 1970an, saat St Etienne dan OM selaku dua kesebelasan terbesar di Perancis sedang jaya-jayanya dan bersaing langsung untuk gelar juara.
====
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @nurshiddiq
*Foto-foto: AFP dan Getty Images
(roz/krs)