Sebagai sebuah negara, Jerman dapat dibagi menjadi enam belas negara bagian. Untuk urusan sepakbola, Jerman (terbentuk dari lima Regionalverbande atau sub-federasi: Norddeutscher Fussball-Verband, Westdeutscher Fussball- und Leichtathletikverband, Fussball-Regional-Verband Sudwest, Suddeutscher Fussbal-Verband, dan Nordostdeutscher Fussllverband.
Kelima sub-federasi ini memiliki tanggung jawab untuk menjalankan sebuah liga semiprofesional (divisi empat dan seterusnya) yang diberi nama Regionalliga.
Ada yang menarik dengan sistem ini. Jumlah negara bagian yang menjadi tanggung jawab kelimanya tidak sama. Nordostdeutscher Fussballverband, sub-federasi yang membawahi segala urusan sepakbola di Jerman bagian utara, menggelar Fussball-Regionalliga Nordost, yang pesertanya datang dari negara bagian Mecklenburg-Vorpommern, Sachsen-Anhalt, Brandenburg, Berlin, Thringen, dan Sachsen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjalankan sebuah liga yang pesertanya berasal dari negara bagian Bayern saja adalah hal yang dapat dimengerti. Sebagai negara bagian terbesar, luas Bayern mencapai nyaris seperlima dari total luas negara Jerman.
Namun Nordrhein-Westfalen tidak begitu. Regionalliga West hanya berisi kesebelasan-kesebelasan dari negara bagian Nordrhein-Westfalen karena jumlah kesebelasan sepakbola di sana sangat banyak. Fakta tersebut semakin memperkuat anggapan yang menyebut Nordrhein-Westfalen sebagai negara bagian terbaik Jerman untuk urusan sepakbola.
Di negara bagian ini pula berlokasi sebuah area yang begitu kaya dengan sejarah dan segala hal yang berhubungan dengan sepakbola sehingga pantas menyandang status sebagai kawasan sepakbola terbaik di Jerman: Ruhrgebiet. Dalam bahasa Indonesia, Ruhrgebiet berarti Kawasan Ruhr.
Kawasan Ruhr adalah sebuah kawasan tambang yang terdiri dari belasan kota. Sama seperti kawasan lain di negara bagian Nordrhein-Westfalen, Ruhr memiliki banyak kesebelasan sepakbola. Dua kesebelasan paling terkenal dari kawasan ini adalah FC Schalke 04 dan Borussia Dortmund.
Pertemuan antara keduanya dikenal sebagai Revierderby (nama lain Ruhr adalah Revier, Ruhrpott, atau Pott), yang hingga saat ini masih menyandang status pertandingan paling bergengsi di Jerman.
Permusuhan kedua kesebelasan begitu mengakar sehingga menyebut nama lawan menjadi sesuatu yang nyaris haram di antara keduanya. Sebagai gantinya, setiap kelompok suporter memiliki nama sendiri untuk kesebelasan lawan; dan nama tersebut tidak indah. Cenderung merendahkan, malah. Kelompok suporter Schalke menyebut Dortmund sebagai Ludenscheid Nord, sedangkan suporter Dortmund melabeli Schalke sebagai Herne West.
Dunia bisa jadi lebih mengenal der Klassiker antara Bayern Munich dan Dortmund. Namun pertandingan tersebut sangat bergantung kepada prestasi Bayern dan Dortmund (juga permainan media yang terus menerus mempromosikan pertandingan ini sebagai yang terbaik di Jerman).

Jika prestasi salah satu dari keduanya sedang merosot, gengsi der Klassiker biasanya sedikit menurun. Tidak begitu halnya dengan Revierderby; dan ini membingungkan mengingat Schalke dan Dortmund tidak selalu berada di kelas yang sama. Namun tak berarti hal tersebut tidak memiliki jawaban.
Untuk mengerti alasan di balik terus hidupnya atmosfer Revierderby walaupun sepakbola modern terkonsentrasi di ibukota dan kota-kota metropolitan, kita harus kembali ke tahun 1800-an, saat sepakbola mulai dimainkan di sekolah-sekolah tinggi yang berlokasi di Rheinprovinz (Provinsi Rhein).
Salah satu kesebelasan sepakbola tertua di Jerman, Wittener FC (1982), berlokasi di Rheinprovinz. Tepatnya di Ruhrgebiet.
Walau demikian, Kawasan Ruhr tetap tidak dipandang sebagai daerah penting pada awal kemunculan sepakbola di Jerman. “Fur die Anfange des Fussballspiels in Deutschland war das Ruhrgebiet eher unwichtig,” tulis Roland Naul, Arnd Krugeru dan Werner Schmidt dalam buku Kulturen des Jugendsports: Bildung, Erziehung und Gesundheit - Jubiläumsband 15 Jahre WGI.
Kota-kota terpandang di awal kemunculan sepakbola di Jerman adalah Berlin, Leipzig, dan Hamburg serta kota-kota di daerah selatan Jerman. Perlahan tapi pasti Ruhr menyandang status Fussbalregion; daerah sepakbola. Dan status tersebut berhasil mereka pertahankan hingga saat ini. Naul, Kruger, dan Schmidt bahkan secara khusus menulis sebuah bab berjudul “Fussbalregion Ruhrgebiet” dalam karya mereka; yang secara harfiah berarti “Kawasan Ruhr, Kawasan Sepakbola”.
Mudah menjelaskan mengapa Revierderby selalu bergengsi walaupun dalam beberapa tahun kebelakang Schalke dan Dortmund memiliki ketimpangan prestasi yang nyata. Kota tempat keduanya berlokasi adalah daerah industri. Dan karenanya, Gelsenkirchen dan Dortmund secara otomatis menjadi kota sepakbola yang besar.
“Nyaris semua kota sepakbola terbaik di Eropa memiliki profil seperti Manchester. Mereka dulunya adalah pusat industri baru yang menarik orang-orang yang sangat membutuhkan pekerjaan. Para pendatang mencari sesuatu untuk diakui, dan menemukan sepakbola. Mendukung kesebelasan setempat membantu orang-orang tersebut meraih tempat di kota. Di kota-kota semacam ini kesebelasan-kesebelasan sepakbola memiliki arti yang lebih penting dan tumbuh lebih besar ketimbang di ibu kota dan kota-kota katedral kuno yang memiliki hierarki yang sudah sejak lama tertanam,” tulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam buku karya keduanya, Soccernomics.
Hal yang sama berlaku di kota-kota industri yang terletak di Kawasan Ruhr. Lebih jauh, Kuper dan Szymanski menjelaskan: “Hubungan antara industri dan sepakbola nyaris sama di seluruh Eropa. Rataan jumlah penonton terbesar di Eropa Daratan pada musim 2008/09 tercipta di Borussia Dortmund (rata-rata 72.400 penonton), satu dari banyak kesebelasan yang berlokasi di area industri Ruhr. Di Perancis juga sejarah mencatat kesebelasan-kesebelasan dari kota-kota industri sebagai kesebelasan-kesebelasan yang paling dicintai. Kesebelasan-kesebelasan tersebut berasal dari kota tambang Lens dan Saint-Etienne serta dari kota pelabuhan Marseille.”
Keterangan Kuper dan Szymanski didukung oleh Naul, Kruger, dan Schmidt. Di tahun 1900-an, bermunculan kesebelasan-kesebelasan sepakbola kelas pekerja seperti Westfalia Schalke di tahun 1904 (sekarang FC Schalke 04) dan Vogelheimer SV di tahun 1907 (sekarang SC Rot-Weiss Essen), serta Borussia Dortmund di tahun 1909 sebagai kongregasi pemuda katolik yang pada akhirnya tetap dicintai oleh masyarakat kelas pekerja di kotanya.
Saat kota-kota industri berkuasa di sepakbola, ibukota bukan ancaman. Kesebelasan-kesebelasan dari ibu kota negara adalah kesebelasan-kesebelasan lemah. Mengenai fenomena ini, Kuper dan Szymanski berpendapat bahwa ibukota di era itu tidak memiliki kekuatan sepakbola karena mereka memiliki kepentingan yang lebih kecil untuk membuktikan diri lewat sepakbola. Ibukota memiliki sumber kebanggaan yang lebih besar ketimbang kesebelasan sepakbola.
“Orang-orang London tidak berkeliling menyanyikan lagu mengenai kota mereka, dan mereka tidak percaya bahwa prestasi Arsenal atau Chelsea akan mengangkat status London. Roman Abramovich dan David Dein membawa trofi ke Chelsea dan Arsenal, namun tak satupun dari keduanya akan mendapatkan peluang besar untuk menjadi walikota London karena hal tersebut. Sepakbola memiliki arti yang lebih kecil di Paris; di sana siapapun mungkin menghabiskan seluruh hidupnya tanpa mengetahui ada sepakbola di Paris. Paris Saint-Germain, yang stadionnya bahkan tidak berlokasi di bagian sebelah dalam dari jalan utama yang melingkar mengelilingi kota, nyaris tidak menjadi fokus utama kebanggaan orang-orang Paris. London, Paris, dan Moscow tidak harus menjuarai Champions League. Kota-kota tersebut adalah kota-kota jenis berbeda ketimbang kota-kota yang memandang sepakbola sebagai segalanya: kota-kota yang terletak di daerah,” tulis Kuper dan Szymanski.

Pada akhirnya London dan Paris tetap menjadi kekuatan sepakbola di era modern. Semua ini berhubungan erat dengan pergeseran peta kekuatan dan matinya kota-kota industri. Pergeseran peta kekuatan sepakbola dari kota-kota industri ke ibukota dan kota-kota metropolitan dapat dijelaskan dengan Hukum Zipf atau hukum pertumbuhan proporsional yang digagas oleh George Kingsley Zipf.
Penerapan Hukum Zipf dalam dunia sepakbola menjelaskan mengapa London (atau Munich) sudah mampu memiliki kesebelasan pemenang Champions League; juga mengapa di masa depan Paris, Istanbul, dan Moscow juga sangat mungkin menggelar parade juara Champions League di jalanan kota mereka.
Pergeseran peta kekuatan sepakbola ke ibukota dan kota-kota metropolitan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, sama halnya dengan kematian kota industri yang pada akhirnya melemahkan kesebelasan sepakbola di kota yang bersangkutan. Bagaimanapun, ada yang tidak ikut mati seiring dengan kepergian perputaran uang dari kota-kota industri. Ada yang ditinggalkan dari masa kejayaan; dan hal-hal tersebut dijaga untuk tetap hidup.
Masih dalam Soccernomics, Kuper dan Szymanski menulis: “Semua kota industri ini adalah produk dari era tertentu. Di semua kota tersebut revolusi industri berakhir, seringkali dengan cara yang menyakitkan. Namun disamping pelabuhan-pelabuhan dan bangunan pabrik yang kosong, peninggalan industrialisasi hadir dalam bentuk kesebelasan sepakbola yang dicintai.”
Itulah yang terjadi di Gelsenkirchen dan Dortmund. Tambang-tambang sudah tidak dipenuhi pekerja dan mesin-mesin serta pabrik-pabrik sudah tidak aktif beroperasi. Namun stadion-stadion sepakbola selalu penuh berisi para pendukung setia.
====
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @nurshiddiq
(cas/cas)