Berawal dari Perlawanan

Sponsor di Kostum Kesebelasan (Bagian 1)

Berawal dari Perlawanan

- Sepakbola
Senin, 02 Mar 2015 15:37 WIB
Jakarta -

50 tahun lalu siapa yang menyangka sepakbola akan menjadi industri raksasa dengan perputaran uang yang sedemikian besar? Industri yang saking besarnya mampu memberikan insentif minimal satu triliun rupiah setiap tahunnya kepada setiap kontestan kompetisi Premier League.

Sepakbola awalnya adalah pertandingan 11 lawan 11 antarkaryawan pabrik, antarmurid sekolah, hingga antarjemaat gereja. Kini, besaran persaingan tak terkirakan lagi. Sepakbola menjadi media persaingan mulai dari dua kubu politik yang berseberangan hingga adu gengsi Qatar dan Uni Emirat Arab.

Selain dari lensa kamera, industri dimulai dari selembar kain yang dikenakan pemain. Bagaimanapun tekniknya; disablon atau hot press, tapi penyertaan logo sponsor di kostum pesepakbola amatlah tinggi nilainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Produsen otomotif Amerika Serikat, General Motors, mesti mengeluarkan biaya hingga 920 miliar rupiah setiap tahunnya untuk menempelkan logo “Chevrolet” di kostum Manchester United (MU). Memang, tidak semua kesebelasan memiliki daya tawar tinggi seperti MU. Namun, dapat dipastikan kalau ruang kosong di kostum kesebelasan memang bernilai tinggi.

Penempatan logo di kostum pemain saat ini memiliki kesan lain. Semakin besar angka kerja sama dengan sponsor, maka makin tinggi pula “derajat” bukan hanya kesebelasan, tapi juga liga secara keseluruhan.

Bukan Milik Pemerintah

Klub-klub di Liga Inggris umumnya dimiliki swasta. Mereka memiliki landasan yang kuat dengan menjadikan tim sebagai lahan bisnis.

Hal ini yang menjadikan cara pandang sebuah tim berbeda dengan mereka yang tidak bisa melepaskan diri dari konsep hibah dari pemerintah daerah. Kesebelasan sugar daddy yang dananya berasal dari APBD tidak punya beban untuk mencari sponsor. Mereka mengedepankan prestasi, ketimbang uang. Adapun kesebelasan yang telah mandiri, menjadikan prestasi dan money berjalan beriringan. Tanpa prestasi, tak akan ada uang.

Jangan salahkan, misalnya, saat Crystal Palace hanya menjalin kerjasama senilai 14 miliar dengan “Neteller” atau hanya 1,5% dari kesepakatan MU dengan General Motors. Ya, pasalnya secara historis Palace tak memiliki apa-apa. Akibatnya, jumlah suporter mereka, di dunia, tidak sebanyak West Ham United yang populer lewat film “Green Street Hooligans”.

Kurangnya daya tawar ini membuat tujuan utama sponsor, yang ingin lekat dengan kesebelasan, tidak terpenuhi. Sponsor di kostum pemain, khususnya di bagian dada, menjadi yang paling diingat baik oleh penggemar maupun penonton.

Untuk membedakan mana Manchester United dan Liverpool yang sama-sama merah, tinggal lihat saja sponsornya di dadanya; “Sharp” itu MU, “Carlsberg” itu Liverpool. Dulu.

Melawan Aturan Kompetisi

Sejumlah ahli sejarah, menyebut tim asal Uruguay, Penarol, sebagai kesebelasan pertama yang menempatkan logo sponsor di kostum mereka. Namun, rasanya penempatan sponsor di dada tidak akan sepopuler seperti sekarang ini andai tak ada gebrakan dari klub Jerman, Eintracht Braunschweig.

Braunschweig dikenal sebagai kota kreatif di utara Jerman. Tidak heran jika kota dengan populasi 300 ribu jiwa ini menjalin kerja sama “sister city” dengan Kota Bandung sejak 1960. Saking “kreatifnya”, mereka sampai mengelabui pengelola Liga Jerman kala itu.



Braunschweig tidak bisa menolak kala CEO Jaegermeister (produk bir), Guenter Mast, menawarkan 800 ribu marks (mata uang Jerman saat itu). Mark menawarkan ruang di dada Braunschweig ditukarkan dengan logo Jaegermeister.

Sebelum debut menghadapi Schalke, Brauschweig meminta izin kepada Asosiasi Sepakbola Jerman, DFB. Karena statusnya sebagai badan amatir, DFB menolak tegas kehadiran sponsor di kostum pemain. DFB hanya memperkenankan logo kesebelasan yang hadir di kostum.

Brauschweig tak kehabisan akal. Selain nilai kontrak yang besar, penempatan sponsor di kostum pemain akan mendatangkan tawaran lain di kemudian hari. Manajemen pun mengadakan voting untuk mengubah logo kesebelasan menjadi logo Jaegermeister. Mayoritas anggota klub setuju atas perubahan tersebut.

Sejak saat itu, logo singa merah khas Brauschweig berubah menjadi tanduk rusa dengan latar hitam. Pengelola liga tidak bisa melarang, karena yang menempel pada kostum Brauschweig adalah logo mereka sendiri.

Awalnya logo tersebut berukuran seperti logo tim pada umumnya. Namun, Brauschweig mengubah ukurannya menjadi berdiameter 18 sentimeter atau menutupi area tengah kostum. Akhirnya, DFB, mengalah. Pada Oktober 1973 atau tujuh bulan setelah kejadian tersebut, DFB, memperbolehkan sponsor hadir di kostum pemain.

Momen tersebut akan selalu disebut sebagai sebagai salah satu hari penting dalam sejarah sepakbola Jerman.

Liga Inggris Malu-Malu

Setelah Jerman, sejumlah klub liga top Eropa mulai melakukan hal yang sama. Pada 1976, kesebelasan Inggris, Kettering Town, menyablon “Kettering Tyres” pada kostum mereka. Ini menjadikan mereka sebagai klub sepakbola Inggris yang pertama kali menerakan sponsor pada kostum.

Sama halnya seperti DFB, Asosiasi Sepakbola Inggris, FA, juga melarang. Kettering Town tak habis pikir. Mereka lalu mengubahnya menjadi “Kettering T” yang bisa bermakna “Town” ataupun “Tyres”. Kettering disanksi seribu pounds oleh FA karena tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan atas penggantian tulisan tersebut.

Bolton Wanderrers dan Derby County ikut bersama dalam rombongan Kettering untuk melobi FA. Akhirnya, pada Juni 1977, larangan tersebut dicabut.

Sama seperti di Jerman, sejumlah klub langsung menjalin kerja sama. Liverpool menjadi tim profesional pertama di Inggris, menurut Bleacher Report, yang menerakan sponsor di kostum mereka.The Reds menjalin kerjasama dengan produsen elektronik asal Jepang, Hitachi, dengan nilai 50 ribu pounds selama semusim.

Terbilang lama bagi kesebelasan Liga Inggris untuk menjalin kerja sama dengan sponsor kostum. Salah satunya adalah karena belum adanya standar berapa harga yang pantas untuk sponsor di kostum.

Chairman Liverpool kala itu, John Smith, menyatakan total pemasukan Liverpool pada 1978 mencapai 2 - 4 juta pounds. Namun, keuntungan yang diraih hanya 70 ribu pounds. Pada masa itu, jumlah ini terbilang kecil bagi kesebelasan yang sukses di Inggris dan di Eropa. Smith bahkan mencontohkan pemasukan Everton yang hanya dua ribu pounds, dan keuntungan 184 pounds saja.

“Ini adalah masa di mana kesebelasan seperti kami, dapat mengatur nasib dari uang yang datang. Ini sangat esensial untuk menghasilkan pemasukan dari sumber lain,” kata Smith kepada Daily Express seperti dikutip Kjellhanssen.



Harga Diri Tinggi

Lain Liverpool, lain Bayer Leverkusen. Pada musim 2013/2014, Leverkusen hampir saja tampil tanpa logo sponsor yang melekat pada kostum mereka. Ini bukan karena mereka dijauhi sponsor, tapi karena mereka sengaja jual mahal.

“Kalau harganya tidak cocok, kami akan tampil tanpa sponsor. Kita mampu, kok,” kata CEO Leverkusen, Wolfgang Holzhauser seperti dikutip ESPNFC.

Tentu saja langkah Leverkusen ini bukan karena mereka idealis.Toh, mereka juga dapat sponsor abadi: Bayer-AG, yang merupakan perusahaan medis terbesar di Jerman.

Leverkusen barangkali ngeri dengan dua kali kejadian yang mereka alami. Pada 2007, dua hari jelang kompetisi dimulai, Leverkusen menjalin kerja sama dengan TelDaFAx, perusahaan telekomunikasi. Mereka mendapatkan kucuran dana 6 juta euro setiap tahunnya.

Mengetahui ada gelagat buruk, Leverkusen membatalkan kontrak dengan TelDaFax karena perusahaan tersebut nyaris didera kebangkrutan. TelDaFax tak terima dan menuntut Leverkusen dengan nilai 16 juta euro, karena alasan yang terkesan mengada-ada. TelDaFax menyatakan kalau Leverkusen masih menerima uang mereka, meski tahu kalau perusahaan tengah menghadapi masalah keuangan.

Selepas dari TelDaFax, Leverkusen menjalin kerja sama dengan perusahaan energi matahari, Sun Power pada Agustus 2011. Kerja sama tersebut berjalan dalam waktu tiga tahun atau berakhir pada 2014. Sialnya, pada Oktober 2012, Sun Power memutuskan menarik semua lini perusahaannya dari Eropa dan membatalkan kontrak dengan Leverkusen.

Leverkusen menginginkan sponsor yang sehat secara finansial perusahaan mereka, dan stabil sehingga kerjasama bisa dilakukan sejak awal hingga akhir masa perjanjian kontrak.Buat mereka, sponsor di dada pemain adalah simbol luhur karena dapat berdampak besar bagi kesebelasan dan sponsor itu sendiri.

Mengapa Tidak Ada Sponsor di Kostum Timnas?

Anda mungkin menyangka kalau tim nasional (timnas) tidak punya sponsor. Hal tersebut belum tentu tepat karena, misalnya, timnas Inggris menjalin kerja sama dengan “Nationwide”, tapi logo mereka tak muncul dalam pertandingan resmi FIFA.

Timnas yang berlaga pada ajang resmi FIFA, mesti mengikuti aturan, salah satunya adalah dengan tidak menyertakan logo sponsor pada kostum. Maka, logo “Nationwide” pun hanya terlihat saat sesi latihan Inggris.

Pertanyannya adalah mengapa FIFA melarang logo sponsor di kostum timnas?

Salah satu alasan yang dikemukakan FIFA adalah menyangkut integritas pertandingan tersebut. Selain itu, biasanya sudah ada sponsor utama dalam setiap kompetisi yang dihelat FIFA. Pelarangan tersebut sebenarnya merupakan cara agar sponsor kompetisi tetap eksklusif.

Timnas tidak dilarang untuk menyertakan logo sponsor di luar laga resmi FIFA baik itu turnamen, maupun pertandingan persahabatan. Negara yang pernah melakukannya adalah Irlandia yang menyertakan logo “3” di kostumnya, serta Prancis dengan logo “Carrefour”.

Namun, pelarangan ini tidak berlaku bagi produsen penyedia kostum pemain (apparel). Mereka masih diperkenankan untuk nampang di kostum pemain, walaupun FIFA juga biasanya sudah memiliki sponsor apparel resmi untuk suatu kompetisi.

FIFA sendiri sudah punya aturan ketat, bukan hanya soal sponsor, tapi juga bagaimana bentuk hingga corak kostum timnas yang semestinya. Selain sponsor, FIFA juga melarang kehadiran hal-hal yang berbau politis, agama, atau pernyataan pribadi pada alat kelengkapan kesebelasan.

Dalam pembukaannya, FIFA mempersilakan penyedia kostum untuk sekreatif mungkin dalam mendesain kostum timnas. Namun, mereka juga punya aturan agar desain tersebut sesuai dengan standar estetika.

Sebenarnya FIFA secara prinsip tidak melarang kehadiran sponsor di kostum pemain. Hanya saja, untuk menjaga agar tidak ada tuduhan pengaturan pertandingan oleh timnas dengan sponsor yang sama, penempatan sponsor dilarang.

FIFA, sebagai lembaga yang independen secara finansial, juga menjaga agar sponsor yang sudah mengucurkan dana demi sebuah turnamen, hak ekslusivitasnya masih bisa terjaga. Aturan ini juga sebenarnya berlaku bagi sejumlah liga, bahkan dengan aturan yang jauh lebih ketat soal estetika kostum – yang akan diuraikan di bagian kedua tulisan ini.


===

* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball

(a2s/krs)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads