Marseille, Prancis, 27 Februari 2015. Kesebelasan tuan rumah, Olympique de Marseille, menjamu Stade Malherbe Caen di hadapan 44.614 pasang mata yang datang menonton pertandingan di Stade Velodrome.
Marseille memiliki peluang emas untuk memimpin setelah Michy Batshuayi dijatuhkan di kotak penalti di menit ketiga. Batshuayi sendiri yang mengeksekusi tendangan penalti, namun usahanya digagalkan Remy Vercoutre. Bagaimanapun, Marseille tetap memasuki ruang ganti dengan membawa keunggulan.
Para pendukung tuan rumah bersorak menjelang turun minum, tepatnya pada menit ketiga masa injury time babak pertama. Andre Ayew, putra legenda Marseille, Abedi Pele, memecah kebuntuan pertandingan dengan memanfaatkan bola muntah hasil tendangan Dimitri Payet. Rasa frustrasi yang dihadirkan Batshuayi, sedikit banyak, terobati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesebelasan yang mereka dukung unggul dua gol dan didukung catatan hasil pertandingan kandang yang positif, sehingga para pendukung Marseille berhak merasa percaya diri. Mereka berhak dimaafkan karena merasa sudah memenangi pertandingan sebelum laga benar-benar berakhir.

Tambahan tiga angka akan membawa Marseille naik peringkat, mengingat Paris Saint-Germain baru bertanding pada hari Minggu. Namun para pemain dan pendukung Marseille tampaknya lupa terhadap pesan moral yang terkandung dalam kisah gadis pemerah susu dalam kumpulan fabel Asop. Mereka sudah merasa untung sebelum benar-benar mendapatkan keuntungan.
Caen mencetak tiga gol dalam waktu dua puluh menit. Nicolas Seube menandai perlawanan Caen empat menit setelah Gignac menggandakan keunggulan Marseille. Tepat di menit ke-70, Caen menyamakan kedudukan lewat gol Emiliano Sala.
Nicolas Benezet menempatkan Marseille dalam keadaan tertinggal pada menit ke-87. Bergerak ke dalam dari area serangan sebelah kiri, Benezet melepaskan tendangan kaki kanan dari luar kotak Penalti. Steve Mandanda tidak mampu menepis bola, dan berakhir sudah rangkaian 12 pertandingan kandang tanpa kalah.
Memalukan, namun tidak mengejutkan. Kekalahan dari Caen hanyalah sebuah penegasan dari kehadiran sebuah kondisi bernama Efek Bielsa; kondisi berbahaya yang sudah lama menghinggapi Marseille.
Terlalu Dini Mencapai Puncak Performa
Kesepakatan antara Marseille dan Marcelo Bielsa terjalin pada 2 Mei 2014. Bielsa sendiri tidak langsung menangani Marseille, karena pihak kesebelasan masih menghormati kesepakatan yang mereka miliki dengan Jose Anigo, caretaker-manager mereka saat itu. Begitu Bielsa benar-benar mulai bekerja, perubahan langsung terasa.
Memasuki musim baru, musim 2014/15, Marseille benar-benar tampil berbeda. Namun perubahan yang dibawa Bielsa belum menghasilkan apa-apa. Setidaknya hingga pekan ketiga, saat Marseille mengantungi kemenangan pertama mereka di bawah arahan Bielsa.
Delapan tim takluk di tangan Marseille dalam delapan pertandingan sejak pekan ketiga. Dua di antara delapan kemenangan yang diraih Marseille adalah kemenangan besar 4-0 saat menjamu Nice dan kemenangan tandang lima gol tanpa balas di kandang Stade de Reims. Kesebelasan tersukses sepanjang sejarah Liga Prancis, Association Sportive de Saint-Etienne Loire, juga merasakan keganasan Marseille; mereka pulang dengan tangan hampa dari Stade Velodrome.
Selepas pekan ke-10, hasil pertandingan tidak selalu menyenangkan bagi Marseille. Tiga kekalahan (0-1 melawan Lyon, 0-2 melawan PSG, dan 0-1 melawan Monaco) disertai satu hasil imbang di kandang FC Lorient mewarnai perjalanan Marseille dalam sembilan pertandingan terakhir mereka di putaran pertama.
Puncak klasemen yang sudah menjadi milik Marseille sejak pekan keenam, bagaimanapun, berhasil mereka pertahankan hingga akhir putaran pertama. Gelar tak resmi champion d'automne – juara paruh musim – menjadi milik Marseille.
Entah apa yang terjadi selama jeda musim dingin. Bukannya tampil lebih baik dengan memanfaatkan batu pijakan yang tinggi, posisi pertama, Marseille malah berulang kali mengantongi hasil negatif. Kalah, menang, kalah, menang, imbang, imbang, imbang, dan kalah adalah hasil pertandingan Marseille sepanjang putaran kedua. Jika Ligue 1 menganut format Clausura dan Apertura seperti di Argentina, Marseille kini berada di peringkat 13.
Keadaan semakin buruk bagi Marseille karena sementara mereka hanya mampu mengumpulkan sembilan angka dari delapan pertandingan, Lyon dan PSG selaku dua pesaing terdekat berhasil mengumpulkan 15 poin dari jumlah pertandingan yang sama. Bukan yang paling banyak di antara semua kesebelasan Ligue 1, (dua posisi teratas “Clausura” Ligue 1 dikuasai Caen dan Montpellier) namun lebih dari cukup untuk mengirim Marseille sang juara paruh musim ke peringkat ketiga. Efek Bielsa benar-benar nyata terasa.
Mengenal Efek Bielsa dan Dampaknya untuk Marseille
Efek Bielsa, boleh dibilang, adalah efek samping dari keberadaan Marcelo Bielsa sebagai manajer atau pelatih kepala di sebuah kesebelasan. Gejala Efek Bielsa adalah penurunan performa sebagai hasil dari penumpukan rasa lelah. Normalnya, Efek Bielsa baru terasa di tahun kedua sejak kedatangan Bielsa.
Perhatikan saja tim-tim yang ditangani Bielsa: tampil mengesankan di musim (atau tahun) pertama, dengan permainan menyerang dan menekan yang bertenaga, namun melempem di musim berikutnya. Di Marseille, Efek Bielsa sudah mulai terasa jauh sebelum satu tahun berlalu sejak kedatangan Bielsa. Tepatnya, Marseille sudah mulai terjangkit Efek Bielsa sejak pekan ke-11.
Marseille tidak pernah meraih kemenangan tandang sejak kalah di Stade de Gerland pada 26 Oktober 2014. Setelah bertandang ke Lyon, Marseille kalah di kandang PSG, Monaco, Montpellier, dan Nice. Hanya dari Lorient saja Marseille membawa hasil; satu angka dari hasil imbang satu sama.
Kelelahan yang menumpuk dari pertandingan dan latihan, bersamaan dengan rasa lelah dari perjalanan menuju lokasi pertandingan tandang, telah membuat Marseille menjadi kesebelasan yang mudah ditaklukkan ketika jauh dari rumah. Sebagai catatan, selama rangkaian pertandingan tandang tanpa kemenangan ini berlangsung, Marseille melakoni tujuh pertandingan kandang dan selalu menang.
“Ini bukan Efek Bielsa. Susah menang di pertandingan tandang 'kan hal biasa.” Sah-sah saja jika Anda sepakat dengan pernyataan tersebut. Namun itu tidak dapat menjelaskan kondisi terkini yang terjadi di Marseille. Efek Bielsa yang dibiarkan terlalu lama telah membuat keadaan semakin parah.
Buktinya adalah hasil pertandingan Marseille dalam empat laga terakhir: imbang 1-1 di kandang Rennais, imbang 2-2 saat menjamu Reims, imbang 2-2 di kandang ASSE, dan kalah 2-3 saat menjamu Caen. Efek Bielsa telah semakin parah menggerogoti Marseille sehingga kini di kandang saja mereka sulit menang.

Efek Bielsa, Salah Siapa?
Menjawab pertanyaan “mengapa Efek Bielsa muncul begitu cepat di Marseille?” bukanlah perkara sulit. Ada sebuah katalis bernama Vincent Labrune dalam reaksi ini. Labrune yang dimaksud di sini tidak lain dan tidak bukan adalah presiden klub.
Salah satu syarat yang diajukan Bielsa saat Marseille mendekatinya adalah sebuah daftar berisi dua belas nama pemain incaran. Dua di antaranya adalah Benjamin Stambouli dan Toby Alderweireld. Labrune kabarnya telah menyetujui daftar tersebut dan akan membawa semua pemain yang diinginkan Bielsa ke Marseille.
Namun Labrune tidak memenuhi janjinya. Stambouli pindah ke Tottenham Hotspur dan Alderweireld bergabung dengan Southampton. Sepuluh pemain lain yang ada dalam daftar Bielsa pun tidak ada yang merapat ke Marseille.
Labrune malah menghabiskan dana transfer untuk merekrut Michy Batshuayi, Doria, Romain Alessandrini, dan Abdelaziz Barrada. Yang lebih parah lagi, Labrune melepas Morgan Amalfitano ke West Ham United padahal Bielsa ingin sang pemain dipertahankan. Pemain lain, seperti Mathieu Valbuena, Lucas Mendes, Jordan Ayew, dan beberapa nama lainnya tidak begitu dipermasalahkan karena Bielsa tidak membutuhkan mereka.
Kebijakan transfer Labrune menyebabkan Bielsa hanya memiliki (tidak termasuk para pemain pelapis yang hanya dimainkan ketika Bielsa benar-benar tidak memiliki pilihan lain) 17 outfield player. Rinciannya adalah enam pemain belakang, enam pemain tengah, dan lima penyerang. Untuk memainkan taktik Bielsa, jumlah ini tidak cukup. Dengan jumlah sebanyak itu, Bielsa kesulitan memberi waktu istirahat yang cukup kepada para pemainnya. Di bursa transfer musim dingin, Labrune hanya mendatangkan Lucas Ocampos.
Walau semuanya tampak seperti kesalahan Labrune, Bielsa juga memainkan peran yang tidak kalah buruknya. Boleh dibilang sifat keras kepala Bielsa sudah kelewat berlebihan dalam hal ini. Orang Argentina ini sepenuhnya sadar bahwa dirinya tidak memiliki jumlah pemain yang cukup, namun ia masih saja menolak memainkan para pemain yang tidak ia inginkan.
Terang-terangan Bielsa menyampaikan rasa enggan memainkan Doria, walaupun sang pemain dipandang sebagai wonderkid oleh banyak pemerhati sepakbola. Doria akhirnya dipinjamkan ke Sao Paulo hingga akhir musim.
Selain menolak pemain yang tidak ia inginkan, Bielsa juga memiliki hubungan kurang baik dengan beberapa pemain. Hal ini tentunya membuat jumlah pemain yang bisa ia pilih semakin sedikit.
Untuk kali pertama sejak ditinggal Didier Deschamps menangani tim nasional Prancis, Marseille akhirnya memiliki manajer yang cukup baik untuk membawa mereka menjadi juara, dalam diri Bielsa. Namun situasinya menjadi rumit karena Bielsa pula, dengan sifat keras kepalanya, yang menjauhkan (para pendukung) Marseille dari pesta perayaan gelar juara.

====
* Penulis adalah analis dari @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @nurshiddiq
(a2s/din)