Kompetisi NCAA dan Bekal Atlet di Masa Senja

Kompetisi NCAA dan Bekal Atlet di Masa Senja

- Sepakbola
Rabu, 08 Apr 2015 12:45 WIB
Stadion Universitas Harvard (philip.greenspun.com)
Jakarta -

Sore itu lapangan yang terletak tepat di sebelah bangunan mirip Colosseum, tampak ramai. Puluhan mahasiswa tengah bersiap lengkap dengan kostum sepakbola yang melekat pada tubuh mereka. Mereka tengah menunggu untuk mempertunjukkan kemampuan mereka bermain bola.

Rupanya, Universitas Harvard tengah menggelar seleksi. Syarat umumnya ada dua: bisa bermain bola dan memiliki IPK di atas 3,5. Mike Calise, asisten pelatih sekaligus koordinator perekrutan, ingin memiliki pesepakbola yang hebat secara atletik, juga pintar dalam hal akademik.

Soal sepakbola, Harvard bukanlah perguruan tinggi (PT) yang diunggulkan. Belum sekalipun mereka melaju hingga partai final sepakbola Kompetisi Olahraga Antar Perguruan Tinggi Amerika, NCAA (National Collegiate Athletic Association). Padahal, soal prestasi akademik, Harvard selalu menjadi simbol kegemilangan prestasi Amerika.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

NCAA merupakan wadah bagi mahasiswa untuk berolahraga; khususnya bagi atlet yang ingin melanjutkan kariernya selepas sekolah menengah. NCAA merupakan kompetisi bergengsi. Partai final sejumlah cabang biasanya terisi penuh oleh penonton. PT mencoba semaksimal mungkin mengikuti NCAA, salah satunya dengan memberi beasiswa untuk atlet. Gengsi antar universitas berperan besar dalam hal ini.

Selain itu, NCAA juga penting bagi karier atlet karena pemandu bakat dari klub olahraga juga hadir. Mahasiswa memiliki kesempatan yang besar untuk diikutsertakan dalam draft untuk musim kompetisi selanjutnya; dan ini pula terjadi di sepakbola.

Berawal dari Amerika

Bukan hal yang lumrah bagi seorang mahasiswa (student-athletes) untuk menjadi pesepakbola atau atlet profesional. Di saat anak lain sudah menekuni sepakbola sejak keluar sekolah menengah, mengawali karier sepakbola dari usia kepala dua, tidaklah strategis; baik untuk pesepakbola maupun kesebelasan.

Faktor ketatnya persaingan menjadi alasan pertama. Lionel Messi sudah berada di tim utama Barcelona sejak usia 17; Pun dengan Neymar yang bersinar bersama Santos pada usia yang sama. Sulit menyaingi pengalaman bertanding para pemain seperti Messi dan Neymar, yang mencicipi pertandingan kompetitif sejak dini.

Kondisi fisik pesepakbola yang harus kuliah pada pagi hingga sore hari jelas berbeda dengan pemain yang berlatih fisik setiap saat. Perbedaan ini terbilang vital karena usia 14-18 merupakan saat yang tepat bagi atlet untuk meningkatkan kondisi fisik.

Alasan kedua adalah karena industri sepakbola menyenangi pemain yang lebih muda. Bagi kesebelasan, pemain muda adalah tantangan. Jika berhasil memolesnya dengan tepat, maka ia akan menjadi investasi yang menguntungkan. Jika gagal? Setidaknya masih ada waktu untuk dipinjamkan.

Namun, sejak lama Amerika Serikat mematahkan pandangan ini. Sistem keolahragaan di Amerika Serikat memungkinkan mahasiswa yang berbakat dalam bidang olahraga untuk berkompetisi di level profesional; Istilah populernya “SuperDraft”.

NCAA menjadi wadah bagi itu semua. Klub yang menjadi juara NCAA biasanya menyumbangkan lebih banyak pemain dalam draft, maupun berdasarkan hasil pemantauan untuk kompetisi divisi dua Liga Amerika, NASL.

Contohnya adalah Virginia Cavaliers, yang sudah tujuh kali menjadi juara sejak diselenggarakan pada 1959. Setidaknya ada 10 pemain yang bermain untuk kesebelasan nasional dalam berbagai kategori umur.

Salah satu contoh suksesnya adalah Alecko Eskandarian. Ia bermain untuk Virginia selama tiga tahun mulai dari 2000 hingga 2002. Meskipun pada periode tersebut Virginia tidak masuk final NCAA, tapi ia berulangkali mendapatkan gelar pemain terbaik. Pada 1999/2000 saat masih di bangku sekolah, ia mendapatkan gelar “National High School Athlete of The Year”.

Bersama Virginia, Alecko menjadi pemain terbaik dalam Hermann Throphy pada 2002, dan membawa Virginia juara. Pada 2002, ia juga menjadi “Soccer America’s College Player of the Year”.



Usai kompetisi musim tersebut, pemain keturunan Armenia-Iran ini dipilih oleh DC United lewat draft. Ia kemudian melanglang buana ke Toronto, Real Salt Lake, Chivas USA, dan LA Galaxy.

Kesuksesan juga dirasakan Hunter Freeman yang masuk dalam MLS Super Draft pada 2005. Ia kemudian bergabung bersama Colorado Rapids. Ia juga sempat bermain di Liga Norwegia bersama IK Start. Hingga saat ini, Hunter masih tercatat sebagai pemain New York Cosmos.

Membawa Nama Negara

Contoh terbaik alumni NCAA adalah sepakbola perempuan. Salah satunya Christen Press yang menjadi tulang punggung tim nasional Amerika Serikat.

Press adalah pencetak gol terbanyak sepanjang masa untuk Universitas Stanford. Ia mengawali kariernya di kompetisi olahraga antarsekolah menengah, NSCAA, pada 2006. Sepanjang empat tahun bermain untuk Chadwick Dolpins, ia mencetak 128 gol!

Kariernya berlanjut saat Press masuk kesebelasan sepakbola perempuan Universitas Stanford. Selama empat musim berkiprah di NCAA, ia mencetak 71 gol dan 41 assist. Capaian tersebut membuatnya masuk dalam draft Liga Profesional Perempuan pada 2011. Namun, karena liga tersebut ditutup pada 2012, Press melanjutkan karirnya ke Swedia bersama Goteborg.

Di musim pertamanya ia membawa Goteborg menjadi juara Liga Swedia. Hasil yang impresif ini membuatnya dipanggil ke sangara Amerika Serikat. Ia pun begitu menonjol dengan mencetak dua gol dari dua pertandingan pertamanya.

Kini, Press menjadi tulang punggung sangara perempuan Amerika Serikat untuk Piala Dunia Perempuan 2015 di Kanada. Press sendiri satu angkatan dengan Alex Morgan yang mendapatkan peringkat ketiga pesepakbola perempuan terbaik versi FIFA pada 2012.

NCAA menjadikan Press dan Morgan lebih dari sekadar mahasiswa. Mereka membela negara dalam kompetisi internasional.



Bekal Usia Senja

Atlet bukanlah profesi yang dijalankan dalam rentang waktu yang panjang. Umumnya atlet hanya bertahan hingga akhir usia 30-an dalam olahraga yang mengandalkan fisik.

Perlu bekal bagi atlet saat menjalani masa pensiun. Tidak sedikit yang mengambil tes kepelatihan, menjadi komentator, dan lainnya yang masih berkaitan. Sayangnya, “lowongan” untuk hal yang berkaitan sepakbola, tidak sebanyak mereka yang pensiun.

Ada banyak alasan mengapa atlet perlu lulus dari perguruan tinggi. Penelitian dari The College Board pada 2013 menunjukkan bahwa pendapatan penerima gelar sarjana 65 persen lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan SMA.Di Amerika, sejumlah perusahaan juga secara spesifik membuka lowongan bagi student-athlete.

Sejumlah pemain lulusan Virginia, hanya bermaih hingga maksimal usia 30. Setelah itu, mereka melanjutkan sekolah dan beberapa di antaranya mengikuti kursus kepelatihan.

Ini yang terjadi pada Alecko. Pada usia 28, ia berhenti sebagai pesepakbola profesional. Padahal, kariernya saat itu masih terbilang bagus dengan membela LA Galaxy; meskipun cedera juga memengaruhi keputusannya untuk berhenti.

Setelah itu, ia menyelesaikan studinya yang sempat tertunda di Virginia. Pada 2011, ia bergabung bersama Philadelphia Union sebagai direktur teknik. Lalu, pada 2013, ia direkrut sebagai asisten pelatih New York Cosmos. Kini, Alexco didaulat sebagai pelatih utama New York Cosmos B.

Anthony Wood juga memilih karier yang mirip dengan Alexco. Ia pensiun sebagai pemain pada usia 28, meskipun kala itu karirnya masih bersinar bersama DC United. Ia akhirnya bergabung bersama DC United sebagi pelatih tim muda.

Sementara itu, bekas pemain Kansas Wizard, San Jose Earthquakes, dan Toronto FC, Nick Garcia, berhenti dari sepakbola karena tidak masuk draft MLS. Daripada memaksakan bermain untuk kesebelasan NASL, ia lebih memilih berhenti pada usia 30. Nick lalu membuka sebuah grup konsultan olahraga bernama “G3”. Perusahaan tersebut lebih banyak menangani ruang terbuka publik khususnya di Kansas. Ini sejalan dengan jurusan “Public and Environmental Affairs” saat ia menimba ilmu di Indiana University Bloomington.

Menjadi Atlet dengan Masa Depan yang Lebih Baik

Lewat NCAA, kesebelasan nasional Amerika Serikat mendapatkan keuntungan yang besar. Faktanya, NCAA melahirkan banyak pesepakbola perempuan yang menjadi tulang punggung Amerika dalam kompetisi internasional.



Lewat sistem yang rapi dan terorganisir dengan baik, NCAA begitu dinantikan utamanya bagi atlet yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi (PT). Meski tidak langsung bergabung dengan klub olahraga usai lulus sekolah menengah, mereka masih punya kesempatan untuk bergabung dengan klub profesional lewat draft.

Belajar di universitas memberikan mereka kesempatan kerja yang lebih besar. Jika atlet merasa tidak bisa mencapai penampilan yang maksimal, atau mendapatkan cedera sehingga tidak bisa mengembalikan performa terbaik, mereka masih memiliki harapan untuk membuka peluang usaha lain.

Penerapan sistem draft serta memaksimalkan kompetisi antar PT, setidaknya dapat meminimalisasi atlet atau pesepakbola yang hidup tak layak setelah ia pensiun dari sepakbola. Apalagi pesepakbola yang secara karier tidak sukses sehingga tidak menghasilkan uang yang cukup untuk hidup.


====

* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball

(a2s/din)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads