Olahraga di Korea Selatan telah berkembang dengan pesat sejak lebih dari lima dasawarsa. Jika Pemerintah Jepang menekankan pentingnya olahraga demi kesehatan, di Korea Selatan (Korsel) bukan itu tujuan utama pada awalnya.
Sejak 1996, raihan emas Korsel di Olimpiade selalu stabil dan cenderung meningkat. Berbeda dengan Jepang yang pada Olimpiade 2004 sukses meraih 16 emas, tapi menurun menjadi sembilan emas pada Olimpiade 2008.
Di Piala Dunia 2002, Korsel berhasil mencapai babak semifinal --meskipun dengan segala kontroversi yang menyertainya. Ini merupakan raihan tertinggi yang bisa dicapai wakil Asia. Capaian tersebut sekaligus "memenangkan" Korsel dari perang gengsi khususnya dalam hal sepakbola dengan Tiongkok, Korea Utara (Korut), dan Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melawan Penjajah
Di Korea olahraga digelorakan sebagai simbol anti penjajahan. Seperti halnya negara-negara lain di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang juga turut menduduki Korea. Letak Korea terbilang strategis karena merupakan wilayah yang paling dekat dengan Tiongkok. Ini yang menjadi motivasi Jepang untuk menundukkan Korea demi merebut wilayah Tiongkok.
Jepang menduduki Korea sejak 1910 hingga 1945. Sama seperti yang dituliskan dalam buku-buku sejarah Indonesia, pendudukan Jepang “walaupun sebentar, tapi menimbulkan luka yang dalam”.
Jepang membutuhkan warga Korea sebagai tentara tambahan dan sebagian lainnya diperlakukan tidak manusiawi untuk kepentingan perang. Selain itu, Jepang juga memiliki tujuan ingin menggabungkan Korea ke dalam tatanan sosial masyarakat Jepang.
Sejumlah larangan pun dilakukan. Jepang melarang penggunaan bahasa Korea dan segala kebudayaan asli mereka. Urusan kepercayaanpun turut diatur. Masyarakat Korea mesti menyembah Shinto yang merupakan kepercayaan mayoritas masyarakat Jepang.
Selain menyengsarakan sumber daya manusia dan mengeruk sumber daya alam, Jepang juga mengambil identitas Korea sebagai suatu bangsa. Ini yang membuat masyarakat Korea begitu marah pada Jepang, tapi tak tahu harus berbuat apa.
Pada Olimpiade 1936 yang digelar di Jerman, dua pelari marathon Korea berhasil menyabet satu medali emas dan satu perunggu. Namun, lagu kebangsaan Korea tak pernah terdengar di Berlin. Bahkan, kedua atlet tersebut berdiri di podium dengan Hinomaru, lambang bendera Jepang, di dada mereka.
Olahraga pun dipilih sebagai medium perlawanan. Di sekolah-sekolah milik kaum nasionalis, olahraga dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Mereka menekankan pentingnya tubuh yang kuat dan sehat sebagai bagian dan representasi orang Korea yang mau bergabung dalam gerakan melawan imperialis. Olahraga pula yang mengajarkan masyarakat Korea pentingnya nasionalisme dalam bentuk rasa memiliki dan rasa bangga atas identitas bangsa.
Hal tersebut difasilitasi lewat pertandingan olahraga yang sering digelar antara Korea dan Jepang. Pertandingan tersebut menjadi sarana bagi masyarakat Korea untuk menumpahkan kemarahan dan kekesalannya terhadap Jepang. Perselisihan antarpenonton menjadi hal yang biasa kala itu.
Gara-Gara Piala Dunia 1966
Korea lepas dari Jepang karena dampak bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang membuat Jepang menyerah serta menarik pasukan. Doktor sejarah Universitas Boston, Kallie Szczepanski, menuliskan, sebelum menyerahnya Jepang tentara Uni Soviet mulai menduduki Korea bagian utara, sedangkan tentara Amerika Serikat menduduki Korea bagian selatan.
Setelah tidak ditemukan kata sepakat, Korea bagian selatan (Korsel) mendirikan negara sendiri yang anti-komunis pada 1948, sementara Uni Soviet menunjuk Kim Il-sung untuk memimpin Korea bagian utara (Korut) pada tahun yang sama.
Pemisahan kedua negara tersebut tidak membuat olahraga mundur. Malah, seiring dengan dimulainya Perang Dingin (cold war) terdapat peningkatan infrastruktur olahraga atas nama gengsi. Salah satu pemicunya adalah keberhasilan Korut melaju ke Piala Dunia 1966 yang dihelat di Inggris.
Sebelumnya, Korsel juga berhasil lolos ke Piala Dunia 1954 yang digelar di Swiss. Itu merupakan debut mereka di Piala Dunia sekaligus yang terakhir karena absen selama lebih dari 30 tahun hingga 1986. Namun, penampilan Korsel di Piala Dunia 1954 jauh dari kata memuaskan. Mereka kebobolan 16 gol dan tidak mencetak satu gol pun.
Dr. Jung Woo-lee dalam The Memory of Colonialism and Imagined Unification, menuliskan bahwa olahraga menjadi pertarungan ideologis antara komunis di utara dan kapitalis di selatan. Kedua negara pun menginvestasikan sejumlah besar dana untuk infrastruktur olahraga.
Dimenangi Lewat Olimpiade
Pertarungan gengsi tersebut tak berhenti hingga dua dekade selanjutnya. Pada 1981, Korsel mengikuti bidding untuk Olimpiade 1988. Seoul pun terpilih secara tak terduga dan mengalahkan calon lainnya, Nagoya. Sejumlah suara sumbang pun terdengar. Olimpiade di Seoul dilaksanakan tak lain untuk meningkatkan citra politik Korsel belaka.
Jepang pantas bingung. Saat itu, Korsel tengah didera ketidakstabilan ekonomi dan politik. Bahkan, pada 1983, terjadi kudeta militer di mana Jenderal Chun Doo-hwan berkuasa. Korsel kian tersudut setelah dunia internasional mengutuk pembunuhan massal demonstran di Gwangju, dan pemenjaraan aktivis oposisi. Banyak yang bilang kalau soal kekuasaan, Korsel kala dipimpim militer sama “komunis-nya” dengan Korut.
Kala itu, citra Olimpiade tidak benar-benar baik. Olimpiade Montreal 1976, Moscow 1980, dan Los Angeles 1984, diboikot oleh negara blok barat dan blok timur. Kekhawatiran ini pula yang mendera Olimpiade Seoul yang terancam diboikot negara blok timur.
Sekitar 1983-1984, pemimpin Korut, Kim Il-sung kembali menjalin hubungan dengan Uni Soviet, setelah sekian lama menjaga jarak. Sergey Radchenko dalam "Sport and Politics on the Korean Peninsula-North Korea and The 1988 Seoul Olympics", menyebut penjalinan ulang hubungan tersebut bertujuan untuk menggagalkan olimpiade yang digelar di Seoul.
Korut pun menggoda Korsel untuk bersama-sama menggelar Olimpiade. Namun, ide ini jelas ditolak oleh International Olympic Committee (IOC). Lewat wakil presidennya, Ashwini Kumar, IOC menegaskan kalau olimpiade tidak mungkin dilangsungkan di dua negara.
Namun, Korsel berhasil mengatasi itu semua dan Olimpiade 1988 tetap terselenggara. Faktor kesiapan tempat pertandingan dan infrastruktur yang telah dibangun menjadi alasan. Blok Timur dan Blok Barat turut berpartisipasi. Uni Soviet, Jerman Timur, Amerika Serikat, dan Jerman Barat ada di lima peringkat teratas, termasuk Korsel yang berada pada peringkat keempat dengan 12 emas.
Korsel menjadikan momen tersebut sebagai etalase pertunjukkan keberhasilan pembangunan. Infrastruktur yang mereka buat sejak 1960-an, turut ditonjolkan agar dunia tahu Korsel siap menjadi negara industri baru.
Persiapan Menuju Olimpiade
Korsel seperti tak memiliki beban saat mengajukan diri menjadi penyelenggara Olimpiade 1988. Mereka sudah terpilih lebih dahulu menjadi penyelenggara Asian Games 1986, dua tahun jelang olimpiade. Dua event besar tersebut membuat Korsel tak perlu dua kali membangun dan menyiapkan tempat pertandingan (venue).
Salah satu lokasi penyelenggaraan adalah Seoul Sports Complex. Terdapat lima bangunan dalam kompleks yang dibangun sejak Desember 1976 tersebut. Kompleks ini merupakan salah satu yang terbesar di Korea dengan total luas 402.816 meter persegi. Lima bangunan yang berdiri di sana yakni stadion baseball, gimnasium, kolam renang, gimnasium untuk siswa, dan stadion olahraga dengan lintasan atletik.
Pemerintah Korea pun sengaja membangun Olympic Park yang ditujukan khusus untuk Olimpiade 1988. Kini, Olympic Park digunakan sebagai pusat rekreasi di pusat kota Seoul yang dilengkapi dengan leisure sports park, culture art park, eco park, dan taman sejarah.
Pemerintah Korsel pun meningkatkan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi. Sepanjang 1980-an, pembangunan sarana telekomunikasi secara masif dilakukan. Dampaknya besar karena Pemerintah Korsel juga membangun institut milik pemerintah, Korea Information Society Development Institute (KISDI) yang merupakan bagian dari Kementrian Komunikasi.
James F. Larson dan Park Heung-soo dalam Global Television and the Politics of the Seoul Olympics, menyatakan bahwa pada prinsipnya KISDI berdiri dengan tujuan untuk membangun masyarakat yang melek informasi dan pada akhirnya memberi keuntungan bagi masyarakat Korea, industri, pemerintah, dan hubungan dengan negara lain.
Korsel percaya diri karena selama dua dekade terakhir, mereka telah mengembangkan ekonomi mereka menjadi sedemikian pesat. Olahraga dijadikan media bagi Korsel untuk mempertunjukkan seberapa kuat mereka dalam hal ekonomi. Namun, jelas hal tersebut belum lengkap tanpa prestasi di olahraga. Keberhasilan mereka menempati peringkat keempat Olimpiade 1988 menjadi prestasi tersendiri, meski prestasi tersebut dicapai susah payah atas nama gengsi.
====
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar dengan akun Twitter @Aditz92
(roz/krs)