Aroma Calciopoli Tak Pernah Hilang di Derby d'Italia

Aroma Calciopoli Tak Pernah Hilang di Derby d'Italia

- Sepakbola
Sabtu, 16 Mei 2015 16:26 WIB
Getty Images/Valerio Pennicino
Jakarta -

Semula, laga derby d’Italia antara Juventus dan Inter Milan adalah masalah kebanggaan dan juga persaingan dalam mendominasi Serie A. Namun, dalam satu dekade ke belakang atmosfer pertarungan ini dipenuhi kebencian dan caci maki.

Tak terkecuali Sabtu (16/5) malam nanti. Meski Juventus telah memastikan gelar juara dan kemungkinan besar turun dengan pemain pelapis, pertandingan yang bertajuk derby akan selalu menyimpan amarah dan kebencian untuk siapa pun pemain yang diturunkan.

Apalagi kedua kubu pendukung akan ikut terlibat membakar tensi pertandingan, terutama terkait polemik kedua kubu ini di tahun 2006.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam derby d’Italia, bau amis skandal Calciopoli memang akan selalu tersuguh sebagai pemantik kebencian yang kemudian tercermin melalui koreografi kedua kubu pendukung. Status Juventus yang pernah terdegradasi ke Serie B pun akan selalu menjadi bahan olok-olokan bagi pendukung Inter, seolah nama derby d’Italia tak lagi pantas untuk diucapkan karena Juventus pernah terdegradasi ke Serie B.

Namun Derby d’Italia bukan sekadar siapa yang pernah atau belum pernah terdegradasi. Rivalitas antar-keduanya telah tersimpan lama selama puluhan tahun.

Gianni Brera Pencetus Derby d’Italia

Dalam pepatah lama, keakraban melahirkan kebencian. Dalam kasus Inter dan Juventus, keakraban pula yang melahirkan Derby d'Italia. Kedua kesebelasan ini memang pernah begitu akrab saling kejar mengejar di klasemen Serie A. Lalu, dengan terbiasa menjadi rival di Liga Italia sejak era 60’an, kebencian pun mulai tumbuh.

Pada 1967, seorang jurnalis terkenal dari Gazzetta, Gianni Brera, kemudian melabeli pertemuan keduanya sebagai duel nasional. Istilah itu dimaksudkan untuk merayakan kontes dua tahunan antara kesebelasan yang paling sukses di Italia.

Derby ini dikenal membawa keganasan dari Milan dan Turin. Namun, derby ini pula yang menjadi contoh wajah buruk sepakbola Italia yang lintasan sejarahnya dipenuhi skandal.

Pemicu awal di era 60’an adalah ketika pendukung Juventus menginvasi lapangan di pertemuan kedua musim 1960/1961. Akibat ulah tersebut, Lega Calcio memberikan kemenangan pada Inter Milan. Namun, mereka menarik keputusan tersebut setelah Juventus melakukan banding ke FIGC dan memerintahkan kedua kesebelasan agar melaksanakan tanding ulang.

Presiden Inter kala itu, Angelo Morratti, marah dan menuduh FIGC berpihak pada keluarga Agnelli, pemilik Juve.

Sebagai bentuk protes, Inter menurunkan pemain mudanya pada pertandingan ulangan. Hal ini lalu tidak disia-siakan oleh Bianconeri dengan meraih kemenangan tebesar sepanjang sejarah Derby d'Italia, 9-1. Enam dari sembilan gol tersebut dicetak oleh legenda Juve, Omar Sivori.

Di musim 1962/1963, Inter akhirnya mampu membalas dendam dengan dua kali menggebuk Juventus di laga kandang dan tandang , serta mengondol Scudetto ke lemari etalase kesebelasan.



Persaingan Hingga ke Parlemen Italia

Kebencian di atas lapangan kemudian merambat ke banyak hal lain, tak terkecuali wakil rakyat.

Pada 1998, rapat parlemen Italia dihentikan setelah deputinya saling menyerang satu sama lain terkait keputusan kontroversial wasit Piero Ceccarini. Kala itu Piero memutuskan untuk tidak memberikan hadiah penalti pada Inter padahal Mark Iuliano melanggar Ronaldo di kotak terlarang.

Dalam sebuah siaran televisi, politisi Domenico Gramazio berkali-kali meneriakkan, "Mereka semua pencuri!" kepada politisi Massimo Mauro, yang merupakan mantan pemain Juventus. Gramazio pun terlibat dalam beberapa bentrokan dengan para petugas saat ia mencoba untuk melepaskan pukulan ke arah Mauro.

Aksi Gramazio ini membuat siaran televisi langsung itu dipotong. Kemudian, beberapa politisi, termasuk Gramazio, harus menerima sanksi dari pemerintah.

"Kami tidak berada di stadion. Ini adalah tontonan yang tidak layak, memalukan dan aneh," ujar Wakil Perdana Menteri, Walter Veltroni, menanggapi insiden di parlemen.

Bahkan wartawan BBC Sport, Harry Peart, mengatakan jika insiden itu telah menyebabkan perdebatan sengit di kalangan penggemar sepakbola di seluruh Italia dan menarik perhatian media.

Peart menambahkan, dalam intrik tersebut ada pandangan yaitu sering terjadi kesalahan yang menguntungkan Juventus dan bahwa hal tersebut mengurangi nilai perebutan juara liga.

Perdebatan tentang indikasi kecurangan kemudian menjadi melebar dan berkisar pada pertanyaan apakah wasit Italia benar-benar objektif dan apakah mereka mau membuat keputusan yang salah demi Juventus?

Skandal Calciopoli 2006 dan Keputusasaan

Skandal Calciopoli dimulai saat Gazetta dello Sport memuat transkrip pembicaraan antara Luciano Moggi dengan beberapa pihak dari komisi wasit. Dengan semakin gencarnya pemberitaan di media, FIGC pun terpaksa membuka penyelidikan.

Adriano Galliani yang saat itu menjabat sebagai presiden FIGC juga dituntut mundur karena dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan karena AC Milan juga terlibat dalam kasus tersebut. Selanjutnya, Guido Rossi mengambil alih kepemimpinan FIGC untuk penyelidikan calciopoli.

Kasus itu pun lalu membuat Juventus terpinggirkan dan peran sebagai kesebelasan penguasa Italia diambil alih Inter Milan.

La Beneamata mampu memaksimalkan dengan baik diusirnya Juventus dari Serie-A. Di musim 2006/07, Inter memenangi gelar pertama sekaligus mengakhiri kutukan angka 13. Sebelumnya, terakhir Inter memenangi Scudetto ke-13 terjadi pada 1989.



Buah dari skandal calciopoli ini membuat mantan pemain Juventus, Gianluca Pessotto, berusaha menghabisi nyawanya sendiri dengan meloncat dari balkon setinggi 15 meter di markas timnya. Beruntung, setelah melewati masa kritis ia selamat.

"Rasanya seperti mendapat tendangan di kepala tanpa tahu datangnya dari mana," ucapnya kepada La Stampa seperti dilansir Channel4.

"Saya merasa jadi terdakwa, selalu dikejar-kejar, seakan-akan saya orang yang paling bersalah. Setiap orang yang saya lihat bagaikan setan atau patung Bunda Maria," sambungnya.

Kasus calciopoli memang membuat sepakbola Italia menjadi porak-poranda. Semua orang secara seketika melupakan bahwa Italia juara dunia 2006 dengan seluruh dunia lebih tertarik mengamati skandal, kecurangan, kebusukan, pengaturan skor yang muncul ke permukaan karena calciopoli.

Semenjak kembalinya Juventus ke Serie A satu musim kemudian, setiap kali Juventus dan Inter Milan bertemu, bumbu-bumbu kecurigaan akan skandal pengaturan skor selalu mewarnai hasil akhir pertandingan.

Meskipun di pertemuan dini hari nanti pelatih Inter, Roberto Mancini, meminta persaingan antara Inter dan Juve dijauhkan dari isu kasus tersebut, sepertinya akan menjadi hal yang sulit. Sebab kasus calciopoli memang telah menjadi senjata yang empuk untuk kedua kubu pendukung saling menyerang.

====

*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @RandyPrasatya

(roz/krs)

Hide Ads