Pernahkah anda terpikir bahwa sebenarnya Sepp Blatter adalah seorang mutan? Observasi empirik yang saya lakukan terhadap Presiden FIFA tersebut menemukan kesimpulan bahwa Blatter bukanlah manusia biasa.
Lalu sebagai mutan, apa kekuatan super Blatter? Membuat semua orang benci kepadanya, namun di saat yang bersamaan tetap antusias menyambut Piala Dunia.
Belum pernah ada sosok di dunia sepakbola di abad 21 yang begitu tidak disukai secara aklamasi seperti Blatter. Bahkan Patung Pancoran punya lebih banyak penggemar dibanding pria asal Swiss tersebut. Menyukai Blatter sama seperti menyukai Chris Brown: anda belum tahu kelakuannya seperti apa. Tanya saja Rihanna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Blatter juga adalah orang yang mengatakan bahwa di negara-negara Amerika Latin, John Terry akan diberikan applaus karena punya hubungan di luar nikah dan solusi untuk mengatasi rasisme di lapangan sepakbola adalah dengan berjabat tangan di akhir pertandingan.
Pendeknya, Blater bisa menjadi penulis best-seller jika menerbitkan buku yang berjudul "Apa yang Seharusnya Tidak Dikatakan oleh Presiden FIFA".
Biasanya jika satu pihak tidak disukai, maka mereka yang tidak suka akan menolak untuk membeli dan menggunakan karya atau produk dari orang tersebut. Liverpool dan The Sun, misalnya.Inilah hebatnya Blatter. Tidak ada yang suka kepadanya, namun saya berani bertaruh, tidak satu pun orang yang benci kepada Blatter akan menolak menonton Piala Dunia yang jelas adalah produk FIFA dan diselenggarakan dengan restu Blatter.
Presenter acara talkshow Last Week Tonight di Amerika Serikat, John Oliver, beberapa hari lalu membawakan sebuah segmen yang membandingkan realita mengenai FIFA dan animo para penggila sepakbola yang tidak peduli dengan fakta tersebut dan larut dalam euforia pesta akbar sepakbola.
Bahkan di penghujung program yang ia bawakan, Oliver yang orang Inggris tersebut mengatakan bahwa tak peduli betapa tidak suka ia terhadap FIFA yang ia tuding menyerupai mafia, ia tetap akan menyambut dengan semangat Piala Dunia yang akan segera dimulai.
**
Euforia mengenai Piala Dunia memang sukar dijelaskan dengan logika, terlebih di Indonesia. Tidak ada penjelasan yang masuk akal mengapa Piala Dunia akan menyedot perhatian segenap masyarakat di negara yang tim nasionalnya tidak lolos ke putaran final turnamen tersebut.
Pengalaman yang sudah-sudah menyatakan bahwa Piala Dunia akan membuat banyak orang menjadikan penonton sepakbola sebagai profesi utamanya selama sebulan dan pegawai/wiraswasta/pelajar/mahasiswa sebagai aktivitas sampingan. Ini bisa terlihat dari bagaimana mereka rela untuk mengorbankan waktu tidur demi menonton Piala Dunia dan hadir pagi harinya di kantor atau sekolah dengan kantung mata yang tebal. Divisi HRD pasti ingin berpatroli untuk melihat siapa yang tidak datang ke kantor.
Piala Dunia juga akan menjadi sebuah periode di mana semua orang akan berubah menjadi fans sepak bola tanpa terkecuali. Rasio konversi non-pecinta sepakbola menjadi pecinta sepakbola akan melambung tinggi selama Piala Dunia yang akan membuat para evangelis iri. Selama Piala Dunia berlangsung, tidak ada orang yang tidak suka sepakbola, yang ada hanyalah orang-orang yang terlalu ngantuk untuk bergadang.
Yang juga akan jamak terjadi adalah mereka yang berusaha untuk menunggangi Piala Dunia untuk kepentingan masing-masing. Ada yang sekadar untuk memetik keuntungan ekonomi semata. FIFA menerapkan peraturan yang ketat mengenai merk dagang Piala Dunia untuk menanggulangi masalah ini.
Maka kita bisa melihat berbagai program yang dilakukan oleh produk-produk korporat berusaha mengakali masalah merk dagang Piala Dunia ini dengan eufemisme yang lain. "Pesta Sepak Bola", "Turnamen Akbar", "Kejuaraan Sepakbola Dunia", hanyalah beberapa dari eufemisme yang coba dilakukan untuk menghindari penggunaan kata Piala Dunia. Tidak ada yang aneh, namun satu-satunya hal yang mengagetkan saya adalah belum ada satu pun yang menggunakan kata "Berhala Emas Sepp Blatter".

Yang lebih menarik adalah Piala Dunia kali ini digelar di tahun politik di Indonesia, di mana Pemilihan Umum diselenggarakan. Pemilu Presiden diselenggarakan tanggal 9 Juli, jatuh di hari yang sama dengan semifinal pertama Piala Dunia.
Karena pertandingan akan digelar pada pukul 3 pagi WIB, saya tidak hanya menanti untuk melihat wajah-wajah yang menahan kantuk di bilik pemungutan suara, tapi juga apakah pembicaraan mengenai Pilpres pada hari itu tetap menjadi topik primer atau tergusur menjadi topik sekunder akibat Piala Dunia.
Sejauh ini pembicaraan seputar Pilpres masih mendominasi dunia media sosial Indonesia, setidaknya begitu yang terlihat dari pantauan di timeline Twitter. Entah jika lanskap ini berubah seusai kickoff Brasil melawan Kroasia di pertandingan perdana.
Berhubung sepakbola adalah magnet bagi perhatian masyarakat, kita tidak perlu terlalu kaget jika akrobat-akrobat politik dalam sebulan ke depan dilakukan dengan warna sepakbola.
Jangan terkejut jika tiba-tiba wajah yang biasa orasi politik tiba-tiba membahas strategi lapangan tengah Brasil. Semua orang ingin turut andil dalam pesta sepakbola ini.
Justru karena tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik, saya malah menunggu kira-kira ada inovasi kombinasi politik dan sepakbola apalagi yang akan terjadi tahun ini.
Jika hanya sekadar politisi yang muncul sebagai komentator sepakbola, saya kira kita akan kecewa karena itu sudah pernah dilakukan sebelumnya. Kita menginginkan sebuah terobosan yang spektakuler. Bagaimana seandainya mereka melakukan juggling bola live on air sambil berbicara mengenai garis besar haluan negara?
Atau yang lebih seru lagi, meminta mereka untuk menirukan gaya selebrasi gol para bintang sepakbola dunia. Saya kira segenap rakyat Indonesia akan terhipnotis seandainya ada politisi yang berjoget samba atau membuka baju dan memamerkan otot seperti Mario Balotelli sambil mengucapkan janji kampanye. Hal-hal seperti ini tidak hanya sebuah terobosan inovatif, namun dijamin akan mendongkrak rating TV.

**
Sampai detik tulisan ini dibuat, protes dan kritik masih terus beterbangan ke arah penyelenggara Piala Dunia. Warga Brasil merencanakan demonstrasi besar yang dikhawatirkan akan mengganggu jalannya turnamen. Kecaman masih juga melayang ke arah Blatter setelah beberapa petinggi sepakbola Eropa, termasuk Greg Dyke, David Gill, dan Michel Platini, menyerukan agar presiden FIFA itu tidak maju lagi dalam pemilihan tahun depan.
Masyarakat olahraga dunia sudah pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Sebelum Olimpiade Beijing 2008, tingkat kecemasan begitu tinggi terhadap China yang mendapat serangan dari kanan-kiri. Nyatanya Olimpiade Beijing menjadi yang termegah sepanjang sejarah dan berlangsung tanpa banyak kesulitan.
Demikian juga yang terjadi menjelang Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan yang berjalan tanpa masalah berarti (well, kecuali bunyi vuvuzela yang menyebalkan itu).
Besar kemungkinan hal yang sama akan terjadi seusai wasit Yuichi Nishimura meniup peluit awal pertandingan pembuka antara Brasil dan Kroasia. Begitu turnamen dimulai, publik akan mengubur kapak perang sejenak dan larut dalam euforia Piala Dunia.
Nanti usai final tanggal 13 Juli, ingatan publik akan kembali dan bisa ramai-ramai mengecam Blatter lagi.
Namun ia tidak akan ambil pusing karena selama sebulan penuh, kita lupa siapa dia sebenarnya.
====
* Penulis adalah satiris dan presenter olahraga. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
(a2s/roz)











































