Tuan Rumah Kena Brazilian Wax

Tuan Rumah Kena Brazilian Wax

- Sepakbola
Sabtu, 12 Jul 2014 19:37 WIB
Getty Images/Jamie McDonald
Jakarta -

Yang membuat Maracanazo (tragedi di Maracana) 64 tahun yang silam begitu membekas dalam hati para penduduk Brasil dan menjadikannya bencana nasional adalah karena ada unsur “nyaris” yang begitu kental di dalamnya.

Ketika Friaca mencetak gol pembuka bagi Brasil, 200 ribu orang bersorak di dalam stadion yang membuat tanah bergetar dan mengacaukan seismograf milik badan pemantau gempa. Namun tak lama Juan Schiaffino menyamakan kedudukan bagi Uruguay dan Alcides Ghigga mencetak gol kemenangan yang membungkam seluruh orang yang berada di Maracana.

Sastrawan Uruguay, Eduardo Galeano, mengatakan dalam buku Football in Sun and Shadow bahwa kesunyian di Maracana yang terjadi usai gol Ghiggia adalah kesunyian yang paling bising dan memekakkan telinga dalam sejarah sepak bola. Musisi Ary Barroso, yang ditunjuk sebagai komentator TV untuk partai itu, bersumpah tak akan lagi menjadi komentator usai pertandingan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presiden FIFA, Jules Rimet mengatakan usai pertandingan bahwa ia tak tahu apa yang harus dilakukan ketika peluit akhir berbunyi. Di dalam kantungnya, ada naskah pidato yang ia persiapkan untuk kemenangan Brazi. Beberapa sumber mengatakan setidaknya ada 3 kasus bunuh diri yang terjadi usai kekalahan mengejutkan di Maracana.

Brasil tersentak dan memutuskan tak akan lagi memakai seragam putih beraksen biru yang mereka pakai waktu itu. Mereka sepakat bahwa seterusnya mereka akan memakai baju kuning beraksen biru yang digunakan hingga sekarang. Takhyul cukup kuat di Brasil dan sebagian masyarakat mereka percaya bahwa Maracanazo murni terjadi karena kesialan. Skor yang tipis dengan hanya selisih 1 gol memperkuat argumen ini.

Tapi takhyul tak lagi bisa berbicara usai Brasil dibantai Jerman 1-7 dalam pertandingan di stadion Mineirao, Belo Horizonte yang membuat para pemuntir bahasa menyebutnya sebagai Mineiraoca. Mimpi Hexa warga Brasil menemui akhir yang pedih dan terpaksa menyaksikan bagaimana Jerman membuat para pemain Selecao terlihat seperti sekumpulan turis di pantai yang menang undian untuk berlaga dalam partai amal melawan pesepakbola sungguhan.

Gol pertama Jerman adalah hasil kesalahan man-marking (Thomas Mueller dikenal sebagai manipulator ruang karena kemampuannya memanfaatkan celah sedikit apa pun. Membiarkan dirinya tak terkawal di kotak penalti adalah kejahatan intelektual).

Gol kedua Jerman adalah hasil serangan balik kilat yang sulit untuk membuat penulis paling politically correct sekalipun untuk tak mendeskripsikannya sebagai blitzkrieg.

Namun gol ketiga Jerman dan seterusnya adalah hasil dari mental para pemain Brasil yang tak sekuat dan serimbun rambut David Luiz. Para pemain Brasil yang berbaju kuning terlihat seperti sekumpulan anak itik yang kocar-kacir. Mereka tak tahu apa yang menghantam mereka.

Air mata mulai bertetesan usai gol keempat. Jika pada 3 gol pertama Brasil masih terlihat bahwa mereka sedang mempersiapkan sebuah comeback spektakuler, usai gol keempat segenap masyarakat Brasil sadar bahwa semua sudah usai. Akan ada karnaval di Rio de Janeiro tanggal 13 Juli dan Brasil tak diundang.

Maracanazo membuat kiper Moacyr Barbosa menjadi kambing hitam sepanjang hidupnya karena gagal menepis tendangan lob Ghiggia. Barbosa dikucilkan oleh orang Brasil yang membuatnya mengatakan, “hukuman paling berat untuk tindakan kriminal di Brasil adalah 30 tahun penjara. Saya sudah dihukum 43 tahun sepanjang hidup saya atas kesalahan yang tak saya lakukan”.

Brasil tak bisa menemukan Barbosa lainnya kali ini. Yang menjadi pesakitan adalah mereka semua yang mengenakan seragam kuning di Mineirao. Brasil dipermalukan, dihancurkan, diluluhlantakkan. Argumen apa pun yang akan dikatakan oleh David Luiz di masa depan, orang lain akan dengan mudah mematahkannya dengan mengatakan, “Tapi anda di sana waktu dikalahkan Jerman 1-7”.

Ketika Gary Neville dulu mengatakan bahwa David Luiz terlihat seperti seorang pemain yang dikontrol oleh anak 10 tahun yang memainkan Playstation, banyak yang mengatakan bahwa Neville hanya sirik semata. Tapi yang terjadi malah lebih buruk. Karena kerap meninggalkan posnya di lini belakang dan maju ke depan melewati garis tengah lapangan dengan sporadis, David Luiz terlihat seperti Sideshow Bob dari The Simpsons.

Bahkan untuk mengatakan permainan Brasil saat menghadapi Jerman seperti film horor tidak benar-benar menggambarkan keadaan sesungguhnya. Permainan Brasil nampak bagai film horor yang diproduksi pas-pasan sehingga membuatnya terlihat seperti film parodi, mirip-mirip filmnya Nayato F. Nuala.

Menteri Olahraga Brasil, Aldo Rebelo, mencoba untuk menghibur hati rakyatnya dengan menegaskan bahwa Maracanazo tahun 1950 lebih buruk dari bencana yang mereka hadapi sekarang. Rebelo mengatakan bahwa kondisi sepak bola Brasil saat ini tidak cukup baik dan kualitas pemainnya pun tidak mumpuni. Yang ingin dikatakan Rebelo namun tak terucap adalah, “Kita bisa bikin apa kalau strikernya macam Fred?”

Walau begitu, rasanya apa yang dikataka Rebelo mengingkari optimisme yang membubung tinggi di Brasil sebelum Piala Dunia dimulai. Tak ada yang berbicara mengenai kualitas pemain mereka. Brasil ingin jadi juara dan hasil apa pun yang didapatkan selain mengangkat Piala Dunia akan dianggap sebuah kegagalan, apalagi kebobolan 7 gol di kandang sendiri. Mineiraoca akan meninggalkan luka yang tak akan lekang dimakan waktu, seperti halnya Maracanazo.

Tahun 1987, 7 orang kakak beradik keturunan Brasil membuka salon di Los Angeles dan memperkenalkan metode baru pencabutan rambut di daerah genital yang kemudian dikenal dengan nama populer, Brazilian Wax. Metode ini kontroversial karena rasa pedih luar biasa yang dihasilkan ketika helai demi helai rambut di daerah sensitif dicabut dengan wax.

Banyak pelanggan yang tak tahan melanjutkan ketika metode ini dilanjutkan dan beberapa hampir dilarikan ke rumah sakit. Namun metode ini mendunia karena memberikan hasil yang estetis dan membuat banyak orang mencantumkan Brazilian Wax ke dalam daftar hal yang harus dilakukan sebelum berlibur ke pantai.

Kekalahan di Mineirao adalah Brazilian Wax bagi sepak bola Brasil. Air mata menetes ketika satu per satu kebanggaan sepak bola Brasil tercabut dari akarnya seiring gelontoran gol dari Jerman. Brasil meringis kesakitan setiap kali Julio Cesar memungut bola dari gawangnya. Ini adalah titik nadir dari sepak bola Brasil.

Karena ini adalah ground zero, maka apa yang akan mereka bangun dari puing-puing reruntuhan akan menjadi momen yang menentukan bagi sepak bola Brasil. Partai melawan Belanda seharusnya hanya menjadi partai lucu-lucuan untuk tim yang berambisi juara seperti Brasil. Namun hasil dari pertandingan memperebutkan peringkat ketiga ini akan menentukan mood Brasil selama 4 tahun ke depan.

Pertandingan lucu-lucuan tak pernah sepenting ini.

===

* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola. Dia juga presenter BeIn Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan

(mrp/mrp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads