Melankolia dari Hanoi

Melankolia dari Hanoi

- Sepakbola
Jumat, 28 Nov 2014 10:32 WIB
foto: detiksport/eki
Jakarta -

Sudah 2 malam ini saya mimpi buruk dalam bahasa yang tak terdengar akrab di telinga. Tagalog, mungkin. Kita sudah terbiasa kalah dan saya tak terlalu ambil pusing jika untuk kesekian kalinya Indonesia gagal menang. Saya juga tak terlalu merisaukan jika untuk pertama kalinya kita kalah dari Filipina dalam pertandingan sepakbol - olahraga anak pungut di negara tersebut.

Seperti tren-tren tahun sebelumnya, negara-negara yang dahulu kita permainkan di lapangan sepakbola, satu per satu balik menertawakan kita. Dulu Vietnam dan Myanmar. Sekarang Filipina. Tapi bahkan dengan kenyataan seperti itu pun sebenarnya saya tak keberatan. Segala sesuatu berevolusi di dunia ini, tapi rupanya kita masih menganut paham kreasionisme sepakbola yang menganggap bahwa sedari lahir Indonesia adalah priyayi di Asia tenggara.

Yang membuat saya patah hati adalah bagaimana cara kita kalah empat gol tanpa balas dari Filipiina dalam sore hari yang kelam itu di stadion My Dinh, pinggiran kota Hanoi. Nyaris tanpa perlawanan berarti. Kita bermain layaknya petinju amatiran yang mendapati dirinya di atas ring berhadapan dengan Manny Pacquiao. Berusaha melepaskan serangan-serangan sporadis yang dengan mudah dimentahkan double-cover lawan. Sebaliknya ketika jab dan uppercut dilontarkan, kita tak tahu bagaimana cara menanggulanginya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di luar lapangan pun kita bukan yang terbaik. Ada lebih dari seratus pendukung Indonesia yang hadir sore itu di My Dinh, jauh lebih banyak dibanding dengan suporter Azkals yang hanya dua puluhan dengan mayoritas perempuan. Mereka bernyanyi tanpa henti selama 90 menit yang terkadang dibalas oleh teriakan suporter Indonesia tepat di tribun sebelahnya yang sama sporadisnya dengan serangan tim kita di lapangan.

Dari kemarin, pertanyaan yang paling banyak disampaikan adalah apakah saya menyesal terbang jauh-jauh ke Hanoi hanya untuk melihat tim nasional Indonesia kalah dan dipermalukan.

Apakah saya berharap sekarang saya berada di tempat lain dibanding menjadi saksi mata dari semakin merosotnya performa kita di lapangan hijau?

Tentu saja tidak. Peluang sekecil apa pun untuk merasakan kejayaan di tribun stadion selalu sebanding dengan rIsiko menelan kekecewaan yang dalam.

***

Dengan segala hormat pada pacar, mantan pacar, dan mereka yang belum sempat menjadi pacar, salah satu malam terbaik dalam hidup saya adalah 28 November 2012 di dalam stadion sepakbola. Kala itu di Bukit Jalil, Malaysia, Indonesia mengalahkan Singapura 1-0 lewat gol tunggal Andik Vermansyah hanya beberapa menit sebelum waktu menunjukkan menit 90. Ini adalah malam yang tak terlupakan karena tak ada yang mengira Indonesia akan menang hari itu.

Kita datang ke Malaysia dengan skuat compang-camping akibat kisruh dalam PSSI yang membuat hampir semua pemain terbaik tak bisa dibawa ke Piala AFF tahun itu. Hanya ada nama Andik, Bambang Pamungkas, Vendry Mofu, Taufik, dan trio pemain naturalisasi: Raphael Maitimo, Tonnie Cussell, dan Jhonny van Beukering -- yang semakin sedikit kata terucap mengenainya, semakin baik.

Tak ada yang bilang sebelum pertandingan bahwa kita akan menang hari itu, termasuk saya dan ribuan suporter Indonesia lain yang hadir di stadion kali saat itu. Di pertandingan pertama kita ditahan imbang 2-2 oleh Laos (Laos!). Sejujurnya, asal mencetak gol dan kalah sedikit saja dari Singapura saat itu saya sudah senang.

Tribun stadion Bukit Jalil yang kami tempati seperti hampir rubuh ketika Andik mencetak gol. Tak ada kata yang bisa melukiskan apa yang saya rasakan ketika wasit meniup peluit akhir dan kemenangan sah menjadi milik Indonesia. Saya seperti kerasukan roh gaib, berlari, melompat, berteriak beserta dengan ribuan orang lain yang juga tak percaya bahwa Indonesia baru saja memutarbalikkan semua prediksi.

Pelatih kala itu, Nil Maizar, menjadi orang pertama yang berlari menghampiri suporter Indonesia di tribun utara. Ia mengajak para pemain turut serta. Dengan gestur seperti menyembah, ia memberi salut pada para suporter Garuda. Semua yang hadir di Bukit Jalil tahu betul bagaimana perasaan pada petang hari itu. Perasaan yang terhebat di dunia.

Para suporter Indonesia melangkah keluar dari stadion dengan tinggi badan yang bertambah 2 meter dibanding tinggi asli. Mendongakkan kepala dan bernyanyi dengan nada gembira. Malam itu kita berpesta.

Tentu saja kita tahu bahwa Indonesia tak lolos ke semifinal karena di partai penentuan takluk 0-2 dari Malaysia. Namun momen kejayaan itu, walau hanya sesaat, selalu sepadan dengan risiko yang diambil untuk menonton tandang.

***

Hal yang paling melelahkan saat menyaksikan pertandingan tim nasional adalah berbagai prasangka politis yang menyertainya. Sepertinya kita tak bisa untuk sepakat barang sejenak untuk menyadari bahwa tim yang bertanding di lapangan dengan garuda di dada itu adalah tim saya dan saudara.

Dua tahun lalu, Ultras Malaya mengibarkan spanduk bertuliskan “Busuk Busuk Pahlawanku” di Bukit Jalil yang kurang lebih bisa diterjemahkan dengan “Jelek-jelek gitu tetap pemain kami”. Apapun yang terjadi, mereka yang berada di lapangan adalah representasi dari suporter dan rakyat yang mereka wakili.

Menjadi kritis tetap perlu, tapi ketika menyaksikan tim nasional berlaga, saya enggan untuk larut ke dalam debat kusir soal berbagai intrik politik di dalam organisasi PSSI, tidak peduli siapa ketua umumnya.

Waktu ketua umum PSSI, Azwar Anas, saya mendukung timnas Indonesia.

Waktu ketua umum PSSI, Agum Gumelar, saya mendukung timnas Indonesia.

Waktu ketua umum PSSI, Nurdin Halid, saya tetap mendukung timnas Indonesia.

Waktu ketua umum PSSI, Djohar Arifin, saya tetap mendukung timnas Indonesia.

Kenapa? Karena saya merasa bahwa tim nasional yang sedang berlaga itu, tak peduli betapa parah dan buruknya mereka bermain dengan umpan-umpan panjang tanpa arah itu, adalah tim saya. Mereka adalah representasi diri saya dan saya tak akan membiarkan orang lain untuk merenggut kebanggaan tersebut.

Jika timnas Indonesia menang, kita bangga. Jika timnas Indonesia kalah, kita malu.

Kita tentu saja mengharapkan yang terbaik dan segala kecaman yang kita lontarkan kepada performa timnas hanya berdasar pada keinginan untuk sukses.

Saat turun minum kontra Filipina 3 hari lalu, dengan sebal dan impulsif saya dan seorang kawan berlari mendekati terowongan pemain untuk meneriakkan kekesalan kami pada taktik Alfred Riedl yang tidak efektif itu. Keras memang, tapi apakah kami berharap Riedl dan timnas Indonesia kalah telak? Sebaliknya, kami berharap timnas menghujani Filipina dengan gol yang sayangnya tak pernah terjadi.

Tim nasional adalah kita. Busuk busuk pahlawanku.

***

Dalam buku Fever Pitch, Nick Hornby dengan miris menggambarkan bagaimana kita jatuh cinta pada sepakbola dengan cara yang sama kita jatuh cinta kepada lawan jenis. Tanpa logika. Irasional. Tak memperkirakan kepedihan yang akan terjadi sesudahnya.

Nasib timnas Indonesia di Piala AFF 2014 ini sudah tergambar jelas. Kita tak bisa menyelamatkan diri sendiri karena tergantung pada pertandingan lain antara Filipina, yang sudah tak punya kepentingan apa-apa, dan Vietnam. Seandainya Filipina mengalahkan Vietnam sekalipun, siapa yang optimistis bahwa kita bisa menjebol gawang Laos 6-7 kali tanpa balas?

Pendukung sepakbola adalah kawanan paling irasional sejagat. Berulang kali terkecewakan, tapi akan tetap terus menonton dan mereka yang lebih beruntung akan tetap hadir di tribun.

Bangga atau malu, sebenarnya kita semua mencintai suratan takdir kita sebagai fans timnas Indonesia. Amor Fati, begitu tulis Nietzche. Eksistensi kita dibentuk oleh kekecewaan menahun yang tak berujung.

Tapi sedikit asa dan peluang tipis untuk meraih kesuksesan selalu sepadan dengan risiko yang lebih besar ketika menyalakan televisi atau hadir di stadion untuk menyaksikan tim nasional.

Kita semua tahu bahwa peluang Indonesia untuk tersingkir di babak penyisihan grup sekarang hampir mutlak.

Tetapi, akan ada banyak waktu nanti untuk meratap dan menggeram.

Sekarang yang ada di dalam kepala sebelum partai melawan Laos hanya, “Ayo Indonesia!”


===

* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan

(a2s/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads