Carmen Martinez Ayuso adalah seorang janda berusia 85 tahun yang sudah lebih dari 50 tahun menghuni sebuah apartemen tua di distrik Vallecas, pinggiran kota Madrid. Sebulan sebelumnya polisi mengusir Carmen keluar dari tempat kediamannya karena apartemennya disita pengadilan.
Tanpa diketahui Carmen, anaknya meminjam uang dari seorang rentenir dan menjadikan tempat tinggal ibunya sebagai jaminan. Pinjaman yang awalnya berjumlah 40.000 euro itu membengkak menjadi 70.000 euro dan ia tak bisa membayar. Di malam terakhirnya, Carmen duduk termenung dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia tak pernah menyangka bahwa pada usia senjanya ia harus menjadi tunawisma. Demonstran berkumpul di depan rumahnya untuk memprotes keputusan pengadilan yang mengiris hati ini. Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Carmen pun ditendang keluar.
Apa yang dialami Carmen bukanlah sesuatu yang tidak lazim di Spanyol dalam 5 tahun terakhir. Krisis ekonomi yang melanda negara tersebut juga berimbas pada krisis properti. Banyak penduduk berekonomi lemah yang terpaksa kehilangan rumah karena tak sanggup membayar sewa atau memenuhi cicilan hipotek. Saat orang yang tak berdaya seperti Carmen tak kuasa untuk menahan kejamnya kehidupan dan negara pun tak sanggup untuk menolongnya, siapa yang bisa menyelamatkan dirinya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keesokan harinya, nama Carmen Martinez Ayuso terpampang dalam spanduk di tribun Campo de Futbol de Vallecas saat partai melawan Celta Vigo. Di sebelahnya ada spanduk lain yang bertuliskan βSolidaritas Kelas Pekerjaβ.
Rayo Vallecano bukanlah klub kaya, bahkan mereka adalah salah satu klub termiskin di La Liga. Lalu mengapa mereka rela untuk turun tangan dalam aksi kemanusiaan seperti menolong Carmen?
Karena ini adalah Rayo Vallecano dan Rayo Vallecano bukan klub sepakbola biasa.
**
βYa, letaknya di pinggir kota. Bisa naik kereta. tapi mau ngapain kamu ke Vallecas?β, tukas pemandu wisata hari itu.
Hal pertama yang saya tanyakan begitu sampai di Madrid adalah berapa jauh jarak dari pusat kota ke distrik Vallecas. Wajar jika pertanyaan saya mengejutkan dirinya karena hari itu adalah sehari sesudah Real Madrid memenangi La Decima dan seisi kota -- kecuali fans Atletico Madrid -- sedang bersiap untuk merayakan kemenangan.
Jika saya bertanya arah ke Santiago Bernabeu atau Vicente Calderon, masih bisa dimengerti. Tapi saya bahkan tidak bertanya bagaimana cara mencapai stadion Rayo Vallecano. Saya bertanya spesifik, βPor donde se va a Vallecas?β
Para pelancong yang datang ke Madrid biasanya menghindari Vallecas semata karena memang tidak ada yang menarik untuk dilihat di kawasan tersebut. Vallecas adalah sebuah kawasan pemukiman kelas pekerja di selatan kota Madrid yang terbagi ke dalam 2 distrik, Puente de Vallecas dan Villa de Vallecas.

Awalnya Vallecas adalah sebuah kota kecil yang independen sebelum pada tahun 1950-an, pemerintah Spanyol memasukkannya ke dalam daerah administrasi kota Madrid. Krisis kesejahteraan di Spanyol membuat banyak penduduk dari seantero negeri yang urbanisasi ke ibu kota dan kawasan yang paling murah untuk mereka tempati di Madrid adalah Vallecas.
Tidak hanya membuka diri pada arus urbanisasi dalam negeri, pada perkembangannya Vallecas menjadi tujuan utama para imigran dari seluruh dunia yang hijrah ke Madrid. Wajah Vallecas adalah pemukiman multietnis di mana para penduduk berdarah Afrika, Amerika latin, Arab, dan lain-lain membaur menjadi satu.
Karena identitasnya sebagai kawasan kelas pekerja, secara historis Vallecas adalah distrik di mana spektrum politik kiri dan sosialisme dijunjung tinggi. Bahkan pada era Franco sekalipun, Vallecas adalah kantung resistensi terbesar terhadap fasisme. Para penduduk Vallecas mengagungkan nilai-nilai kesetaraan, kemanusiaan, dan keadilan sosial -- sesuatu yang sudah terlihat sejak mereka menjadi kawasan yang membuka diri untuk para imigran.
Saluran identitas dan aspirasi politik penduduk Vallecas adalah Rayo Vallecano. Bukan hal yang aneh untuk melihat ada bendera Republik Spanyol yang merah-kuning-ungu ketika Rayo bertanding, dibarengi dengan banner berwajah Che Guevara dan bendera merah-hitam kaum sindikalis. Repertoir lagu yang sering dinyanyikan di stadion oleh suporter Rayo termasuk Internationale dan La Marseillaise, dua lagu kebesaran kaum pekerja. βIf you dont bounce, youβre a fascist!β, begitu teriak fans Rayo saat pertandingan sambil melompat-lompat di tribun.
Suporter Rayo mungkin fans yang paling kritis dan politis di Spanyol. Mereka menantang eksploitasi fans dalam sepakbola modern, harga tiket yang terlalu mahal, dan jam kick-off La Liga yang memang sering keterlaluan. Pandangan politik para penduduk Vallecas tersalurkan dengan jelas pada perilaku suporter Rayo Vallecano. Mereka menentang segala bentuk ketidakadilan.
Maka bukan sesuatu yang aneh jika para pemain Rayo tergerak untuk menolong orang-orang seperti Carmen. Energi yang diberikan oleh para fansnya terserap dengan baik oleh para pemain.
βMiskin tapi banggaβ, bunyi salah satu spanduk suporter Rayo.
***
Saya baru menjejakkan kaki di Vallecas seminggu sesudah pertanyaan saya yang membingungkan pemandu wisata tersebut. Campo de Futbol de Vallecas, kandang Rayo, terletak 5 km dari Puerta del Sol di tengah kota Madrid. Mereka yang berangkat dari Sol atau Gran Via hanya perlu sekali naik kereta dan turun di stasiun Portazgo. Perjalanan dari pusat kota menempuh sekitar 20 menit.

Meskipun bagian kota Madrid, para penduduk Vallecas menolak disebut Madrilenos. Mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Madrid. Mereka menyebut diri mereka Vallecanos. Mereka bahkan lebih suka untuk menulis daerah mereka dengan βVallekasβ, mengganti huruf βCβ dengan βKβ sebagai bentuk perlawanan terhadap tata baku bahasa Spanyol yang menurut mereka adalah representasi otoritarianisme. Tak sedikit Vallecanos yang menyebut daerah mereka sebagai The Independent Republic of Vallekas.
Aura yang berbeda langsung terasa ketika menjejakkan kaki di Vallecas. Madrid adalah kota metropolitan dengan modernitas yang kasat mata, namun bangunan pemukiman yang padat dan lingkungan yang sepi pada jam kerja memberikan nuansa yang berbeda.
Sikap politik para penduduknya langsung terlihat ketika tiba di Vallecas, setidaknya dari stiker yang menempel pada plang jalan dan mural di tembok. Hal pertama yang menyambut saya setiba di sana adalah stiker anti-Nazi yang menempel di mana-mana. Sentimen anti-Nazi ini sulit ditemui di sudut lainnya di Madrid, kota yang selama bertahun-tahun menjadi ranjang empuk bagi ideologi politik sayap kanan.
Campo de Vallecas sendiri adalah sebuah stadion yang bersahaja, baik secara kapasitas penonton dan arsitekturnya. Stadion ini hanya bisa menampung sekitar 14 ribu orang dan desain bangunannya pun biasa saja. Ada banyak stadion di Indonesia yang jauh lebih megah. Tapi di sekeliling stadion, sekali lagi banyak ditemui berbagai simbol yang menyiratkan ideologi politik mereka. Mural bernada anti rasisme dan Antifa (Anti-fascism) terlukis di mana-mana.
Hanya ada 3 tribun yang terdapat di Campo de Vallecas karena tidak ada tribun di belakang salah satu gawang. Hanya tembok dan papan iklan. Lucunya, di belakang gawang tanpa tribun itu ada bangunan apartemen yang lebih tinggi dari tembok pembatas stadion sehingga mereka yang berada di lantai 2 ke atas apartemen tersebut bisa menyaksikan pertandingan Rayo Vallecano dari ruang tidur mereka.

Campo de Vallecas sepi sekali hari itu karena musim liga sudah selesai waktu itu. Ini bukan Santiago Bernabeu atau Camp Nou yang selalu ramai pengunjung tak peduli hari apa. Saya satu-satunya tamu hari itu tapi saya tak bisa masuk ke stadion karena ternyata Rayo tak memiliki tur stadion, yang makin menguatkan impresi kebersahajaan mereka. Lagipula apa yang mau dilihat? Mereka tak punya piala untuk dipamerkan dan fasilitas mewah untuk dipamerkan.
Saya hanya berjalan mengitari stadion karena hanya itu yang bisa saya lakukan. Ada restoran di dalamnya yang para pramusajinya terkaget-kaget ketika saya masuk ke dalamnya. Mereka lebih kaget lagi saat tahu saya datang dari Indonesia.
βWhy Rayo?β, tanya mereka.
βBecause you guys are special. The pride of the working classβ.
Di salah satu sudut stadion ada gym, fasilitas yang biasa saja. Yang tak biasa adalah gym tersebut terbuka untuk umum dan siapa saja bisa memakai. Saya membayangkan beberapa tahun lalu Michu sedang angkat barbel di dalam sana bersama-sama dengan anak kampung setempat yang juga ingin membesarkan otot.
Saya mengakhiri ziarah spiritual hari itu dengan mampir ke toko ofisial Rayo Vallecano yang terletak tepat di sebelah gerbang utama. Saya kaget saat pintu terkunci dari dalam saat hendak masuk ke dalam padahal waktu menunjukkan jam operasional mereka. Ternyata saya harus memencet bel dulu sebab pintu terkunci karena penjaga tokonya sedang makan siang di belakang.
Tentu saya terkekeh dalam hati karena klub top-flight Eropa macam apa yang toko resminya cuma punya satu pegawai sehingga ketika pegawai semata wayang tersebut makan atau ke toilet, toko harus berhenti beroperasi beberapa menit.
Sudah pasti saya satu-satunya pelanggan toko Rayo hari itu dan saya melihat-lihat merchandise klub di bawah tatapan mata sang penjaga toko yang tetap ramah namun tak bisa menyembunyikan keheranannya. Lagi-lagi saya tergelitik ketika hendak membeli jersey Rayo sebagai souvenir.
βDo you have size M for this seasonβs shirt?β
βNo, this seasonβs shirts are already sold out. We dont have any shirt leftβ
βHuh? Why? I thought this is the only official Rayo storeβ.
βWe dont produce that manyβ.

Mungkin memang karena peminatnya tak banyak, tapi toko klub macam apa yang kehabisan stok baju timnya sendiri?
Ketika saya hendak membayar belanja, seorang bapak dengan baju Real Madrid masuk ke toko dan mencari jaket Rayo. Entah buat apa. Mungkin buat mengisengi temannya. Si bapak berbaju Madrid juga memberi tatapan aneh ke arah saya, mungkin ia mengira bahwa saya tersasar saat hendak mencari jalan menuju Bernabeu.
Belum cukup keterkejutan sekaligus kekaguman saya pada Rayo, barang belanjaan saya dimasukkan ke dalam kantung plastik berwarna putih polos. Bukan kantung kertas dengan desain cantik seperti lazimnya ditemui di megastore klub lain. Hanya kantung putih polos tanpa logo klub dan gambar apapun. Bahkan toko di Tanah Abang punya kantung plastik yang lebih baik untuk membungkus belanjaan pelanggannya.
***
Rayo Vallecano adalah satu-satunya klub kasta tertinggi di Spanyol yang memakai nama βkampungβ, bukan nama kota seperti yang lazim dipakai.
Bekas pelatih, Jose Ramon Sandoval mengatakan bahwa Rayo Vallecano adalah klub dengan jiwa. Apa yang ditunjukkan oleh Rayo dengan membantu orang-orang seperti Carmen menunjukkan dengan jelas sikap dan kedekatan mereka kepada publik.
Tidak peduli suara klaim yang terdengar dari Catalunya bahwa tim mereka βmes que un clubβ, sulit untuk melihat Rayo Vallecano dan membantah bahwa tim dari Vallecas ini bukan klub sepakbola biasa.
====
* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
(a2s/roz)











































