Salah satu alasan mengapa sepakbola di dunia nyata jauh lebih kompleks dari game Football Manager adalah karena anda tak bisa menaruh para pemain top di lapangan begitu saja dan menyuruh mereka untuk mencari cara sendiri membobol gawang lawan.
Di Football Manager, jika anda menaruh Robin van Persie, Wayne Rooney, dan Angel Di Maria, di tempat yang bukan posisi natural mereka sekali pun, skill yang mereka miliki cukup untuk membuat mereka membobol gawang. Football Manager adalah game realistis yang memungkinkan opsi untuk melakukan micro-management, seperti mengatur seberapa sering pemain berlari ke dalam kotak penalti atau jenis umpan macam apa yang harus dilakukan seorang pemain. Tapi tanpa menyetel detail seperti ini pun, jika anda mempunyai pemain hebat, di FM anda bisa mencetak gol.
Sayangnya sepakbola sungguhan tidak sama dengan FM dan Louis van Gaal mendapati kenyataan tersebut dengan cara yang memilukan. Sembilan puluh menit berlalu di lapangan dan tak sekali pun Manchester United bisa melakukan tendangan ke gawang Southampton. Skuat United ini berharga kurang lebih 270 juta poundsterling dan untuk mencatatkan satu shot on target saja mereka tak mampu. 270 juta pounds!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini adalah untuk pertama kalinya Manchester United gagal melakukan shot on target dalam pertandingan liga sejak terakhir kali Maret 2009. Van Gaal beruntung karena ia adalah Van Gaal. Seandainya nama depan Van Gaal adalah David dan nama belakangnya adalah Moyes, sekarang media Inggris sudah menyeretnya ke papan penyiksaan seperti yang dulu dilakukan terhadap Wiliiam Wallace.
***
Jika ada penghargaan untuk tim paling kurang ajar musim ini di Premier League, pemenangnya pastilah Southampton. Untuk sebuah tim yang para pemain bintangnya dijarah diawal musim oleh Steven Gerrard FC, Southampton lupa mengikuti naskah yang mengatakan harusnya mereka menjadi kandidat degradasi musim ini. Entah mereka pikir mereka siapa, tapi tahun baru sudah berlalu dan The Saints sekarang bertengger di peringkat ketiga. Ronald Koeman melakukan pekerjaan yang sensasional dan manajemen Manchester United bisa jadi sedang merenung apakah mereka mengontrak manajer asal Belanda yang salah.
Ketika rentetan kekalahan demi kekalahan diderita oleh Southampton bulan lalu dari Chelsea, Manchester City, dan Arsenal, sekilas nampak bahwa momen Cinderella mereka sudah berakhir. Waktu sudah menunjuk tengah malam dan kereta kencang Southampton akan berubah kembali menjadi labu. Pesta sudah bubar dan kenyataan kembali direstorasi. Namun lagi-lagi Southampton keras kepala dan menolak untuk menyerah pada narasi klasik.
Imbang melawan Chelsea dan menang dari Arsenal dan Manchester United --yang terakhir ini di kandang lawan yang dalam 19 pertandingan terakhir di Old Trafford, hanya 3 kali Southampton meraih imbang, sisanya pulang sebagai pecundang. Terakhir kali Southampton menang di Old Trafford adalah pada tahun 1989.
Prestasi ini sebenarnya tidak lagi istimewa karena belakangan ini, terlebih di era David Moyes, Manchester United telah berubah menjadi Sinterklas baik hati yang membiarkan banyak klub untuk memecahkan rekor tak pernah menang di Old Trafford. Namun bagi Southampton dan Koeman, ini adalah testimoni dari kemampuan mereka sebenarnya. Bahwa Southampton bukan cuma boyband one-hit wonder.
Soal bagaimana Koeman piawai dalam mendatangkan pemain baru di musim ini adalah lagu lama, termasuk juga soal bagaimana ia setengah mati mempertahankan Morgan Schneiderlin. Lagu yang jarang dinyanyikan di hadapan Koeman adalah senandung bagaimana hebatnya ia meramu lini pertahanan dari The Saints.Lini belakang Southampton adalah yang terpelit di Premier League. Dari 21 pertandingan, mereka hanya membiarkan lawan untuk mencetak 15 gol ke gawang mereka. Sebagai perbandingan, dalam rentang waktu yang sama, Chelsea kebobolan 19 kali, sementara Manchester City 20 kali. Di awal musim penampilan defensif Southampton yang impresif hanya dianggap gabungan antara keberuntungan plus jadwal yang mudah. Sekarang musim sudah setengah jalan dan lini pertahanan The Saints masih berdiri kokoh. Tidak seperti Tembok Jerikho, dinding Southampton tidak rubuh meski sudah ditiupi terompet tujuh kali.
Gambaran terbaik soal kekuatan lini belakang Southampton mungkin bisa dilihat dari partai melawan United. Koeman menyuruh lini belakangnya untuk bertahan di dalam sehingga walau United mendominasi bola, mereka tak bisa menembus kotak penalti Southampton. Koeman membiarkan United untuk bisa melepaskan umpan silang berkali-kali dari sayap, namun ia tahu bahwa Jose Fonte dan Florin Gardos tak akan takluk dari para pemain United di udara. Schneiderlin pun bermain luar biasa sebagai pemecah ombak serangan United. Jika ia menengok ke belakang, mungkin Schneiderlin akan malu melihat dirinya sendiri 5 bulan yang lalu meminta pindah ke Tottenham Hotspur.
Namun prestasi terbesar di Old Trafford pada partai itu dari Koeman adalah ia menunjukkan bagaimana kemampuan sesungguhnya dari Van Gaal sekarang ini. Seperti anak kecil yang menjadi orang pertama yang berani mengatakan bahwa sang raja tidak mengenakan baju apa pun dalam cerita Emperorβs New Clothes, Koeman menjadi orang pertama musim ini yang mengeksploitasi keterbatasan Van Gaal.
Dalam posisi tertinggal, Van Gaal memasukkan Marouane Fellaini, sebuah keputusan yang diikuti dengan amnesia mendadak. Secara tiba-tiba Van Gaal lupa bahwa dirinya berasal dari negara yang sama dengan Rinus Michels dan Johan Cruyff dan mengira bahwa dirinya adalah orang Britania dengan mengubah taktik menjadi memainkan sepak bola route one: umpan lambung langsung ke pertahanan lawan.
***
Dalam teater dan dramaturgi, ketika terjadi sebuah konflik pelik yang tak terselesaikan di dalam lakon, maka si dramawan bisa memasukkan sebuah jalan keluar instan dalam kehadiran tuhan/dewa yang dalam pementasan kerap diusung dalam mesin tingkat. Lalu figur tuhan ini akan menjadi penyelesai masalah dengan divine intervention. Istilah untuk konsep ini adalah Deus Ex Machina.
Van Gaal mengulangi apa yang dilakukan Moyes musim lalu dengan menganggap bahwa saat jalan buntu ditemui, maka ia mencari intervensi supranatural dari sosok agung bernama Marouane Fellaini yang akan membuat kerusuhan di kotak penalti lawan dengan posturnya yang menjulang.
Namun seperti yang sudah-sudah, jarang sekali solusi Deus Ex Marouane ini berhasil. Yang ada malah ini menggarisbawahi kemampuan taktis dari Van Gaal dan United. Jika United tertinggal dan Fellaini berada di kotak penalti lawan untuk membuat huru-hara, maka pasti United sudah desperate.
Masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab Van Gaal seperti mengapa ia ngotot dengan formasi 3-5-2, kenapa Wayne Rooney terus dipaksa bermain di tengah, dan mengapa Angel Di Maria kerap diplot sebagai pemain terdepan, tapi untuk sekarang, sepertinya hanya ada satu hal yang harus disampaikan kepada Van Gaal:
Jika Marouane Fellaini adalah jawabannya, maka apa pertanyaannya?

====
* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
(a2s/cas)











































