Whiplash, Terence Fletcher, dan Louis van Gaal

Whiplash, Terence Fletcher, dan Louis van Gaal

- Sepakbola
Rabu, 25 Feb 2015 13:13 WIB
Jakarta -

Whiplash adalah film yang paling menyegarkan untuk ditonton tahun ini. Siapa yang sangka bahwa film soal musik bisa sebegitu menegangkan layaknya film thriller?

Siapa yang kira melihat seorang guru musik setengah gila berteriak-teriak sambil melempar bangku ke arah muridnya bisa begitu mengasyikkan?

Daripada menghabiskan waktu dan uang untuk mengikuti seminar motivasional oleh pembicara yang tak jelas juntrungannya, lebih baik anda menonton Whiplash, di mana seorang instruktur musik bernama Terence Fletcher, mengikuti saran Sir Alex Ferguson bahwa hairdryer treatment adalah metode terbaik untuk mengeluarkan kemampuan terbaik anak didiknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak mengherankan jika J.K Simmons diganjar dengan penghargaan pemeran pembantu pria terbaik dalam Oscar tahun ini. Penampilan Simmons sempurna dalam memerankan Fletcher, yang lazimnya seorang sociopath, tak bisa berempati dan dengan seenaknya memainkan emosi orang-orang di sekitarnya. Ia sesuka hati dalam menggonta-ganti drummer utama di bandnya, ia menggunakan pendekatan psikologis dengan mentalitas teroris, dan terkadang ia bisa berpura-pura mengangkat moral pemainnya untuk kemudian menghempaskannya kembali dengan telak.

Hal yang paling menakutkan adalah kita tak akan terkejut jika karakter Terence Fletcher sesungguhnya didasarkan pada Louis van Gaal. Beberapa kotak kepribadian Fletcher dicentang pula oleh manajer Manchester United tersebut, namun tak ada adegan yang lebih menggambarkan Van Gaal dibanding ketika Fletcher meminta muridnya yang telah ia teror berkali-kali, Andrew Neimann, untuk bermain di sebuah festival jazz.

“Yang akan kita mainkan adalah lagu-lagu yang selama ini sudah sering kita latih”, bujuk Fletcher. Neimann menyanggupi.

Ketika tiba saatnya pertunjukan, di atas panggung Fletcher malah menginstruksikan bandnya untuk bermain lagu lain yang tidak diketahui oleh Neimann. Tak familiar dengan repertoir malam itu, Neimann berantakan dalam memainkan drum sebelum akhirnya menangis.

Bayangkanlah ini yang terjadi pada Angel Di Maria setiap pekannya.

Sehari sebelum pertandingan: “Angel, saya tahu kamu pemain sayap. Besok kamu akan main di sayap”.

Tanpa pemberitahuan, pada hari pertandingan orkestra Van Gaal memainkan komposisi di mana Di Maria bermain sebagai pemain depan dan pemain Argentina tersebut harus menerima kenyataan. Sesungguhnya Di Maria menangis dalam hati dalam hampir setiap pertandingan. Dalam sebuah momen di mana ia sudah begitu kesal, Andrew Neiman menerjang Fletcher di atas panggung. Kita kagum kepada Di Maria yang sampai detik ini masih menahan diri untuk tidak membanting Van Gaal di pinggir lapangan.

“Are you rushing or are you dragging?!” teriak Fletcher kepada Neimann ketika sang drummer belia salah dalam memainkan ketukan drum. Fletcher ingin agar muridnya menunjukkan di mana letak kesalahannya, apakah lebih cepat atau lebih lambat dari seharusnya. Ini pertanyaan yang sederhana, namun di bawah intimidasi, otak manusia bisa gagal bekerja dan Neimann pun kesulitan menjawab pertanyaan yang membuat Fletcher menyingkirkannya dari posisi drummer utama.



Selain Michael Carrick, pemain United dengan kemampuan menjadi metronom permainan adalah Ander Herrera, yang entah mengapa tidak terlalu digemari oleh Van Gaal. United hampir selalu lebih solid di lini tengah ketika Herrera ada di lapangan, namun Van Gaal rupanya berpikiran lain.

Satu-satunya alasan yang masuk akal dari sering tersingkirnya Herrera adalah ia gagal dalam menjawab ketika Van Gaal bertanya, “Are you going to pass to Fellaini or are you going to pass to Rooney?”. Herrera gelagapan dalam menjawab. Van Gaal berteriak lagi “Answer me!” sebelum ia melempar botol minum ke arah Herrera.



Seperti halnya Fletcher yang menjustifikasi pendekatan terornya sebagai cara untuk memotivasi muridnya, Van Gaal melakukan pembelaan atas tuduhan bahwa United mengecewakan dan taktik permainannya hanya mengandalkan bola jauh. Menjawab tudingan pertama, Van Gaal mengatakan bahwa United hanya kalah sekali dalam 15 pertandingan terakhir dan menuduh balik bahwa media massa sengaja membingkai berita untuk menekan United. Menjawab tudingan perihal long ball, Van Gaal melakukan tribut kepada Rafa Benitez dengan membagi-bagikan lembaran statistik dan chalkboard passing United kepada wartawan sebagai bukti kuantitatif bahwa United tidak mengandalkan bola-bola jauh.

Tentu saja pembelaan Van Gaal terhadap tudingan pertama gugur sudah usai kalah dari Swansea akhir pekan lalu dan menyebabkan Arsenal sementara menyalip ke peringkat 3 di klasemen. Menyoal justifikasi Van Gaal bahwa United tidak bermain long ball, ada benarnya bahwa United tak melulu melambungkan bola dari lini belakang langsung ke depan atau route one menurut istilah Inggris. Kita bisa melihat bahwa ball possession selalu dijaga United dari lini belakang hingga melewati garis tengah, namun mereka seperti selalu kehilangan akal ketika memasuki sepertiga pertahanan lawan dan umpan silang lambung adalah pilihan pertama.

Biasanya kontra-kritik yang selalu dilontarkan ketika seseorang yang bukan pelatih sepakbola mengecam pelatih sepakbola adalah bahwa sang pelatih lebih tahu dibanding dengan orang awam. Namun pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi mengatakan bahwa tak perlu jadi kuda untuk bisa jadi joki. Tak perlu jadi pelatih untuk tahu bahwa United sekarang bermain buruk di lapangan.

Saya selalu berpikir bahwa musik jazz adalah a beautiful organised chaos. Kekacauan yang terorganisir sehingga menghasilkan bebunyian yang indah. Ketika para musisi jazz melakukan jam session, masing-masing bisa bermain sesuka hati namun terpadu dalam sebuah alunan yang indah. Pianis memainkan denting piano dengan kord minor, disambung dengan cabikan bass yang berjalan, dengan jeritan gitar yang melengking, dan diselimuti oleh ketukan drum dan simbal sebagai patokan tempo.

Van Gaal sepertinya ingin mengikuti pakem jazz dalam mengarahkan permainan United. Ia membuat komposisi aneh di lapangan dan berharap para pemain instrumen kelas dunia yang ia miliki bisa mengolah sendiri dengan kemampuan improvisasi mereka. Namun satu hal yang luput dari perhatian Van Gaal adalah bahkan dalam lingkungan yang chaos dan anarkis seperti jam session musik jazz sekalipun, spesialisasi adalah mutlak. Anda tak bisa menyuruh gitaris untuk bermain drum dan berharap band anda akan bermain dengan brilian.

“Not quite my tempo”, kata Terence Fletcher ketika Andrew Neimann bermain dalam ketukan yang tak ia inginkan.

Maka sekarang fans United wajar untuk mengatakan bahwa apa yang mereka saksikan saban akhir pekan adalah “Not quite my United”.



Eksperimen tanpa henti formasi 3 bek atau 4 bek, Di Maria bermain di luar posisi naturalnya, mengira bahwa Marouane Fellaini adalah Zinedine Zidane dan menaruhnya di belakang striker, rentetan umpan silang tanpa henti, terkadang kita dipaksa untuk berpikir bahwa Van Gaal sebenarnya tahu bahwa ada cara lain yang lebih efektif bagi United untuk menang, namun ia ngotot untuk memakai caranya karena, seperti Terence Fletcher, ia adalah seseorang dengan kecenderungan megalomania.

Melihat bagaimana Wayne Rooney, topskor United ketiga sepanjang masa, bermain di tengah dan terreduksi perannya hanya sebagai pengoper bola dan petarung, memberikan kesan yang sama seandainya Van Gaal kembali ke tahun 60-an untuk menjadi manajer The Beatles, memaksa Paul McCartney untuk menggantung bass-nya dan menyuruhnya untuk bermain kastanyet saja.

Di situ kadang saya merasa sedih.


====

* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan

(roz/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads