Ancelotti, meski lebih dikenal karena suksesnya bersama AC Milan baik sebagai pemain atau pelatih, namun merintis nama besarnya bersama Roma. Memulai karier di Parma, pria berjuluk Carletto itu menemukan kebintangan bersama Roma.
Dia memperkuat Giallorossi selama delapan tahun sebagai pemain, tampil total 227 kali dan mencetak 17 gol. Dengan jumlah penampilan itu, Roma pun menjadi tim yang paling mendapatkan servisnya. Dipercaya menjadi kapten tim, Ancelotti mengantarkan Roma meraih gelar Liga Italia pada 1982-1983, empat trofi Coppa Italia, dan meloloskan I Lupi ke final Piala Champions atau yang sekarang dikenal dengan Liga Champions.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka jika ada klub yang meninggalkan kesan istimewa untuk Ancelotti, itu adalah Roma dan Milan. Dua tim ini juga yang kemungkinan bakal jadi prioritasnya saat kembali dari masa istirahat.
"Saya akan sangat senang untuk menjadi pelatih Roma suatu hari nanti, karena ini adalah sebuah tim yang saya cintai di kota yang juga saya cintai. Saya juga akan senang kembali ke Milan. Mereka sempat menghubungi saya, tapi saya harus menjalani operasi punggung dan memilih berisitirahat setahun," katanya kepada Corriere dello Sport.
"Saya senang mengambil waktu rehat, karena saya benar-benar membutuhkannya. Saya tidak buru-buru dan sejujurnya tidak akan mempertimbangkan mengambil pekerjaan di tengah musim."
"Kami akan membicarakannya lagi di akhir musim, untuk menyusun sebuah petualangan baru dengan layak. Bisa juga bekerja di luar negeri, karena saya sekarang menguasai banyak bahasa," imbuhnya seperti dilansir Football Italia.
Selain sebagai pemain, Ancelotti juga meraih sukses besar bersama Milan sebagai pelatih. Dia meraih dua titel Liga Champions, satu gelar Serie A, dan berbagai trofi lain seperti Piala Super Eropa, Coppa Italia, Piala Super Italia, dan Piala Dunia Antarklub.
Justru sampai saat ini dia belum mendapatkan kesempatan untuk menukangi Roma, tim yang disebutnya memberikan banyak memori sebagai pemain. Selain terkesan dengan kota Roma, Ancelotti juga punya kesan mendalam dengan gairah para penggemarnya.
"Kotanya mengagumkan dan penggemarnya fantastis. Dulu ketika saya turun dari kereta dan naik taksi ke markas klub, para penggemar kemudian mulai menghina si supir yang malang, menudingnya pasti seorang penggemar Lazio karena meminta bayaran untuk mengantar saya," ujarnya.
"Itu adalah tahun-tahun yang indah. Kami adalah tim yang fantastis dan hampir seluruhnya tetap menjadi teman sampai kini. Saya punya memori-memori indah dan tidak cuma soal Scudetto."
"Ada sejumlah kekecewaan juga, karena saya tidak bisa ambil bagian di Piala Dunia 1982 dan final Piala Champions (Liga Champions) melawan Liverpool di Olimpico. Saya menyaksikannya dari tribun dan amat terluka dengan kekalahan dalam adu penalti tersebut. Saya rasa ada tekanan yang terlalu besar di kota dan orang-orang merasa hampir yakin dengan hasilnya," demikian Ancelotti.
Roma kalah 2-4 dari Liverpool di final Piala Champions musim 1983-1984 dalam adu penalti, setelah bermain imbang 1-1 di waktu normal. Ancelotti absen di laga itu karena mengalami cedera.
(raw/mfi)