Alasan Van Gaal tak lagi ekspresif di pinggir lapangan terkait dengan laga final Liga Champions tahun 1995. Bersama Ajax Amsterdam saat itu dia membuat kejutan dengan mengalahkan AC Milan.
Manajer asal Belanda itu memprotes pelanggaran keras yang dilakukan Marcel Desailly pada strikernya, Jari Litmanen. Demi mengajukan protes pada wasit, Van Gaal sampai mempraktekkan gaya tendangan karate.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya melakukan tendangan karate," kata Van Gaal sambil tertawa.
"Itu adalah final Liga Champions 1995, Ajax menghadapi AC Milan, dan saya melakukan tendangan di udara. Kami menang 1-0, tapi kami harusnya dapat penalti atas tekel tinggi pada Litmanen. Saya marah, jadi saya melakukan tendangan karate di pinggir lapangan - hanya sekitar satu meter dari muka ofisial pertandingan. Saya ingin menunjukkan padanya apa yang terjadi pada Litmanen," kisah Van Gaal.
Karena merasa apapun yang dia lakukan tidak akan memengaruhi keputusan wasit, Van Gaal akhirnya 'malas' banyak tingkah di pinggir lapangan. Selain itu, usia yang bertambah tua juga memengaruhi keputusan tersebut.
"Dari momen itu, saya sadar seorang manajer tidak akan bisa memengaruhi wasit dengan apa yang dia lakukan di pinggir lapangan. Saya sadar kalau Anda harus mengendalikan semangat Anda. Saya tahu kalau fans suka melihat manajer yang meluapkan amarahnya di pinggir lapangan dan di Newcastle beberapa hari lalu saya marah saat Jesse Lingard gagal bikin gol," ucap Van Gaal di Mirror
"Saya sudah lebih tua sekarang. Tapi saya masih melihat wasit dari tahun 1995. Dia berada di komite wasit UEFA sekarang - dan dia mengingatkan saya apa yang terjadi malam itu."
"Setiap manajer punya identitasnya masing-masing, kepribadian sendiri-sendiri dan juga filosofinya. Saat saya memulai karier (sebagai pelatih), saya seperti Klopp." (din/din)