Pemerintah China sangat ingin menjadikan sepakbola negeri mereka menjadi terbaik di Asia, mengalahkan Jepang dan Korea Selatan. Bahkan mereka juga bercita-cita menjadikan China sebagai kiblat sepakbola di masa depan.
Cita-cita tersebut bukanlah bualan belaka. Rencana-rencana besar untuk mencapai cita-cita tersebut sudah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh mereka. Mereka sadar bahwa sebesar apapun cita-cita yang mereka miliki tentu tidak akan terwujud jika tidak ada usaha untuk mewujudkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengaturan skor dan korupsi sempat cukup mendarah daging di sepakbola China. Bagaimana tidak, pada 2010 dua pemegang tanggung jawab tertinggi di CFA (Chinese Football Association) yaitu Nan Yong dan Yang Mimin ditangkap karena kasus pengaturan skor. Begitu pun dengan kasus korupsi, seorang pemain yang ingin bermain untuk tim nasional harus membayar 15 ribu dolar dan jika ingin bermain sebagai pemain pengganti harus membayar 18 ribu dolar.
Akibat dari pengaturan skor dan korupsi tersebut, masyarakat China yang terkenal cukup fanatik akan olahraga paling digandrungi di dunia ini pun mulai tidak percaya dengan kredibilitas sepakbola di negara mereka. Mereka mulai meninggalkan sepakbola di negeri mereka sendiri, mereka sudah terlanjur muak dengan semua kemunafikan dalam bentuk pengaturan skor yang terjadi di sepakbola mereka. Mereka lebih tertarik menyaksikan dan membeli merchandise kesebelasan-kesebelasan Eropa semisal Manchester United dan Real Madrid.
Hal ini pun terbukti dari remaja-remaja China yang terlibat dengan sepakbola semakin berkurang dari tahun ke tahun. Pada akhir 2000, ada sekitar 600 ribu remaja yang bermain sepakbola profesional. Pada 2005, jumlah tersebut turun ke angka 180 ribu. Lalu pada 2011, berada pada angka di bawah 100 ribu.
![]() |
Kasus pengaturan skor dan korupsi ini terjadi karena adaanya gap kesejahteraan di antara para pemain dan wasit di China. John Hollins, salah satu pemain asing yang pernah bermain di China mengatakan kepada koran The Guardian bahwa membeli pertandingan di China sangat mudah, karena hanya segelintir pemain dan wasit saja yang gajinya tinggi.
Bahkan akibat dari gap tersebut, menurut pengakuan Hollins, ada pemain yang tinggal di ruang ganti dan mengalami kekurangan gizi. Pemain asing lainnya yang tidak mau menyebut namanya juga mengatakan kepada The Guardian bahwa gaji pesepakbola lokal China hanyalah sekitar 4 juta rupiah.
Situasi tersebut semakin memburuk ketika tim nasional China tersingkir dari Piala Dunia 2002 tanpa mencetak satu gol dan poin. Para investor dan sponsor ramai-ramai menarik diri kompetisis domestik, hal yang membuat kondisi finansial pemain semakin memburuk. Padahal di saat bersamaan, ekonomi China sedang berada dalam tahap pertumbuhan sehingga uang yang berputar di meja judi semakin meningkat.
Pada 2009, ketika rasa muak masyarakat China terhadap kebobrokan sepakbola mereka telah mencapai puncaknya, dibuatlah gerakan untuk memberantas pengaturan skor di bawah pimpinan Wei Di. Seorang dengan latar belakang olahraga air dan tidak pernah berurusan dengan sepakbola sebelumnya.
Dalam memberantas pengaturan skor tersebut, gerakan ini menganut prinsip kelicikan harus dibalas dengan kelicikan. Mereka melakukan semacam penangkapan terselubung kepada orang-orang yang terlibat dengan sepakbola. Orang-orang yang tertangkap tersebut dipaksa untuk menyebut nama-nama yang terlibat dengan pengaturan skor.
Media pun ikut mendukung aksi tersebut. Ini terbukti dengan media akan melaporkan orang-orang yang tetangkap tersebut dengan hanya menyebut mereka tidak terlihat di tempat kerjanya. Lalu media juga menyiarkan pengakuan dari para pesakitan tersebut secara langsung sehingga publik bisa mengetahui praktik pengaturan skor tersebut.
Pengaturan skor dan korupsi di sepakbola China semakin dikeruk sampai ke akar-akarnya ketika Xi Jinping menjadi Presiden. Ia memerintahkan KPK China untuk menyelidiki federasi sepakbola China. Salah satu hal yang dilakukan adalah transparasi terkait pemilihan pemain dan wasit.
Kesuksesan bersih-bersih pengaturan skor dan korupsi yang dilakukan China pada sepakbolanya sudah mulai terlihat sekarang. Ini terbukti dari semakin banyak para pengusaha yang menginvestasikan uangnya untuk sepakbola China. Hal ini diikuti dengan kedatangan para pemain dan pelatih kelas dunia ke sepakbola China.
Memasukkan Sepakbola ke Kurikulum Sekolah
Sejak jabatan Presiden China beralih ke tangan Xi Jinping pada 2013, perubahan besar-besaran di sepakbola China benar-benar terjadi. Jinping merupakan Presiden gila bola. Ia sangat serius dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas sepakbola negerinya.
Hal ini terbukti dengan dibangunnya sekolah sepakbola terbesar di dunia di China. Lebih dari 50 lapangan sepakbola dibangun dalam satu lokasi untuk menampung lebih dari 2.400 siswa. Lalu pemerintah China juga memasukkan sepakbola ke dalam kurikulum sekolah. Sepakbola akan menjadi salah satu materi wajib di sekoiah.
![]() |
Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah China untuk memasukkan sepakbola ke dalam pendidikan, pada 2016 lalu Perguruan Tinggi sepakbola pertama di dunia resmi didirikan di China. Perguruan Tinggi tersebut bernama Guangzhou Sport University. Pendidikan di Perguruan Tinggi tersebut berlangsung selama empat tahun layaknya Perguruan Tinggi lainnya.
Pemerintah China juga sudah merencanakan akan membangun 20.000 lapangan sepakbola pada 2017 ini dan mengharapkan dari proyek tersebut akan lahir sekitar 100 ribu pesepakbola baru yang akan menjadi masa depan China.
Rencana-rencana tersebut disusun oleh Pemerintah China karena mereka menganggap bahwa anak-anak adalah pondasi utama jika ingin sepakbola mereka bangkit. Bahkan mereka sudah menyiapkan proyek pengembangan sejak masih bayi.
Hal yang sama telah diterapkan oleh pemerintah China pada cabang olahraga lain. Mereka sudah mulai mengukur apakah seorang atlet bisa kompetitif di cabang olahraga atau tidak. Hal tersebut dilakukan sejak mereka masih di sekolah dasar, karena pada saat itu umumnya bakat sang anak belum terlihat. China pun mencoba mengubah pencarian bakat melalui bentuk dan struktur tubuh. Mereka memprediksi berapa tinggi pemain saat mencapai usia 20-an, berapa pula massa otot yang bisa mereka raih.
[Baca juga: Tuntutlah Ilmu (Pembinaan Sepakbola) Hingga ke China]
Metode tersebut sudah terbukti ampuh pada Olimpiade 2008 di Beijing. China berhasil menjadi juara umum dengan meraih 100 medali, 51 diantaranya adalah medali emas. Mereka mengharapkan metode ini juga akan sukses di sepakbola.
Mendatangkan Pemain Kelas Dunia
Jika membangun akademi dan lapangan sepakbola serta memasukkan sepakbola ke dalam kurikulum sekolah agar terciptanya banyak pesepakbola di China merupakan rencana jangka panjang. China juga memiliki rencana jangka pendek mereka untuk memajukan sepakbola di negara mereka yaitu dengan mendatangkan pemain kelas dunia ke kompetisi domestik mereka.
Perkembangan ekonomi China yang saat ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia menjadi salah satu penyebab dicetuskannya rencana ini. Dan mulai bersihnya sepakbola China dari hal-hal buruk seperti pengaturan skor dan korupsi membuat banyak konglomerat China menginvestasikan uangnya di sepakbola.
Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan-perusahaan China yang mengakuisisi kesebelasan-kesebelasan China, seperti Evergrande Group dan Alibaba yang mengakuisisi Guangzhou Evergrande, Suning Group mengakuisisi Jiangsu Suning, dan Greenland Holdings mengakuisisi Shanghai Greenland Shenhua.
Akibat dari investasi besar-besaran yang dilakukan oleh para konglomerat China tersebut, membuat kesebelasan-kesebelasan China tidak ragu untuk mengeluarkan dana yang tak terbatas untuk membeli pemain baru.
Pemain-pemain kelas dunia yang sudah uzur dan pemain-pemain kelas dunia berusia matang sebagai pesepakbola namun tidak mendapatkan kesempatan bermain yang layak di timnya menjadi target utama dari kesebelasan-kesebelasan kaya asal China.
Godaan harga yang tak masuk akal dari kesebelasan-kesebelasan China dalam membeli pemain incarannya tentu meluluhkan kesebelasan pemilik sang pemain incaran. Selain itu, para pemain incaran tersebut juga diiming-imingi gaji selangit. Siapa yang menolak surga dunia tersebut terutama untuk para pemain yang kariernya sudah tidak lama lagi dan yang kariernya sedang stagnan. Hidup bermewah-mewahan dengan uang tidak terbatas tentu menjadi pilihan yang sangat tepat.
![]() |
Lihatlah bagaimana Shanghai Greenland Shenhua membeli Carlos Tevez yang sudah berusia 32 tahun, dan menjadikannya sebagai pemain dengan gaji tertinggi di dunia. Ia menerima gaji 615 ribu poundsterling per pekan atau setara dengan Rp 10 miliar per pekan.
[Baca juga: Ini yang Bisa Dilakukan Tevez dengan Gaji Selangitnya]
Selain Tevez, ada empat pemain lainnya yang masuk ke dalam 50 pemain termahal di dunia setelah dibeli oleh kesebelasan-kesebelasan China. Mereka adalah Oscar yang dibeli oleh Shanghai SIPG dengan harga 70,4 juta euro berada pada posisi ke-11 dalam daftar pemain termahal di dunia, Hulk yang juga dibeli oleh Shanghai SIPG dengan harga 55,8 juta euro berada pada posisi ke-23, Alex Teixeira yang dibeli oleh Jiangsu Suning dengan harga 50 juta euro berada pada posisi ke-28, dan Jackson Martinez yang dibeli oleh Guangzhou Evergrande dengan harga 42 juta euro berada pada posisi ke-43.
Selain lima pemain tersebut, terdapat nama-nama pemain tenar lainnya juga pernah dan sedang merumput di kompetisi domestik China seperti Didier Drogba, Obafemi Martins, Ezequiel Lavezzi, Demba Ba, dan yang terbaru adalah John Obi Mikel.
Para pelatih kelas dunia juga pernah dan sedang melatih di kompetisi China seperti Marcelo Lippi, Manuel Pellegrini, Luiz Felipe Scolari, dan Sven Goran Eriksson.
![]() |
Kedatangan para pemain dan pelatih kelas dunia tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas dan pamor kompetisi domestik China terutama Liga Super China. Dan tentunya dengan kedatangan beberapa pemain dan pelatih kelas dunia tersebut diharapkan dapat menarik minat para pemain dan pelatih lainnya untuk pindah ke China.
Mungkin saja dalam beberapa tahun ke depan China akan menjadi salah satu tujuan pemain dan pelatih untuk melanjutkan kariernya, bukan hanya untuk mereka yang kariernya akan berakhir, namun juga untuk mereka yang sedang berada pada puncak kariernya.
Namun, tentu ada pertanyaan besar yang muncul dibalik keroyalan kesebelasan-kesebelasan China tersebut yaitu apakah mereka tidak terkena financial fair play (FFP) seperti kesebelasan-kesebelasan di Eropa? Jawabannya tentu tidak, karena FFP hanya berlaku di kompetisi Eropa saja. Jadi, kesebelasan-kesebelasan China bebas mengeluarkan uang semau mereka karena tidak ada aturan yang menghalanginya.
***
Presiden China saat ini, Xi Jinping mempunyai cita-cita pada 2020 China mempunyai 50 juta pesepakbola, lalu pada 2030 menjadi yang terbaik di Asia, dan pada 2050 menjadi yang terbaik di dunia dan menjadi kiblat sepakbola dunia.
Cita-cita yang tentu saja bisa diwujudkan oleh China melihat keseriusan mereka dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Ditambah lagi kekuatan ekonomi China di dunia semakin kuat, tentu hal ini membuat China tidak akan terlalu memusingkan masalah dana untuk memuluskan mereka dalam menyelesaikan rencana-rencana yang telah mereka persiapkan.
Keseriusan China dalam memajukan sepakbola mereka, meskipun sebagian besar karena faktor uang, kembali mengingatkan kita bahwa sesungguhnya Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara di Asia.
[Baca juga: Sepakbola Indonesia Sudah Ketinggalan 100 Tahun dari Jepang]
![]() |
(krs/krs)