Sepakbola Indonesia kembali berduka. Kapten Persela, Choirul Huda, meninggal dunia usai mengalami benturan dada dan rahang dalam pertandingan dengan Semen Padang pada lanjutan Liga 1.
Huda, yang juga kapten Persela, jatuh dan meringis kesakitan usai berbenturan dengan pemain lain dalam pertandingan di Stadion Surajaya, Minggu (15/10/2017). Huda, 38 tahun, segera dilarikan ke RSUD dr Soegiri dengan ambulans. Namun, nyawanya tak bisa diselamatkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
[Baca Juga: Mempertanyakan Pertolongan Pertama pada Choirul Huda di Lapangan]
Insiden yang dialami Huda menjadi satu di antara beberapa kejadian yang menimpa atlet-atlet lain. Sebelumnya, tercatat ada empat pesepakbola di Indonesia yang meninggal dunia akibat kecelakaan di pertandingan sejak tahun 2000.
Kenapa insiden itu bisa terulang? Bagaimana sebenarnya standar keselamatan pemain atau atlet dalam sebuah pertandingan?
[Baca Juga: Empat Pesepakbola Indonesia yang Meninggal Akibat Insiden di Pertandingan]
Tim Medis Mampu Mengklasifikasi Cedera dengan Cepat
Basuki Supartono, salah satu dokter di Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON), mengatakan atlet harus mendapatkan penanganan yang cepat saat terjadi insiden. Pertolongan pertama di tengah lapangan sangatlah krusial. Makanya, tim medis dituntut mampu menganalisis dan mengklasifikasikan jenis cedera yang mereka alami dengan cepat.
Menurut pria yang pernah menjadi direktur RSON itu ada lima klasifikasi jenis cedera yang bisa dialami atlet saat pertandingan. yakni, kelompok mengancam nyawa, kelompok mengancam anggota gerak, cedera berat, cedera sedang, dan cedera ringan.
Untuk klasifikasi mengancam nyawa, mengancam anggota gerak, dan cedera berat idealnya harus dirujuk ke rumah sakit yang sudah ditetapkan oleh panitia penyelenggara. Sementara, klasifikasi sedang dan ringan penanganannya bisa langsung dilakukan di tempat kejadian.
"Penentuan ini pun tentu harus cepat dan tepat. Misalnya, oh ini mengancam nyawa berarti harus dirujuk ke rumah sakit. Poinnya, klasifikasi nomor satu sampai tiga itu harus dirujuk ke rumah sakit. Misalnya, cedera otot putus, patah tulang, atau misalnya ada gangguan di dada, dsb. Jadi penanganannya langsung sejak di tempat kejadian," kata Basuki kepada detikSport, Senin (16/10/2017).
"Sementara, untuk yang ringan, misalnya memar terbentur tapi masih normal. Tidak patah, boleh ditangani di lapangan, itu bisa tidak dengan rujukan," dia menjelaskan.
Pertolongan Pertama Harus Mulai di TKP
Menurut Basuki, pertolongan pertama harus diberikan di tempat terjadinya perkara (TKP), tanpa perlu memindahkan atlet. Pertolongan itu bisa diberikan dengan tepat, jika kemampuan menganalisis cedera juga tepat. Selain itu, Basuki membeberkan sederet peralatan standar pertolongan pertama.
"Penanganan itu harus mulai dari TKP. Jika ada gangguan napas kita kasih oksigen. Lalu, ada alat untuk mengecek yang ditempel di jari, nadinya berapa, oksigennya berapa. Jika di atas 65 itu normal, di bawah itu tidak normal dan harus memberikan oksigen 6 liter per menit," ujar Basuki.
![]() |
"Jika tidak sadar juga, medis bisa memasang hard collar (penyangga leher) yang tujuannya untuk stabilisasi tulang leher. Jumlah medis yang memasang bisa mencapai tiga sampai 5 orang. Jadi pemimpinnya mempertahankan kondisi tulang leher, lalu tim lainnya menjaga pernafasan dan lainnya," dia menjelaskan.
Tandu yang Tepat dan Ambulans Harus Siaga
Alat transportasi pemindahan atlet dari tempat kejadian menuju ke ambulans tidak bisa menggunakan tandu biasa, melainkan dipindahkan scoop serether. Tandu ini tak bisa sembarangan karena cedera juga memiliki level-level yang berbeda.
"Karena, kita tidak bisa memastikan kemungkinan apakah cedera tulang leher, tulang belakang," ujar dia.
"Jadi prinsipnya, transportasinya itu harus menggunakan alat stabil. Di antaranya scoop serether ini sehingga tidak mencederai tulang belakang (dari mulai tulang leher sampai tulang punggung). Jika melintir, khawatir urat sarafnya tambah terplintir sehingga malah putus," Basuki membeberkan.
"Di ambulans sendiri harus dikawal medis, dipertahankan jalan napasnya (hidung-sampai ke paru-paru), lalu dikendalikan pernapasannya (paru-parunya dilihat ada cedera atau tidak Jika ada cedera, tentu gerakan parur-paru kanan dan kirinya tidak sama. Intinya memastikan keadaan si atlet," katanya.
Rumah Sakit Rujukan Sudah Ditentukan
Karena insiden itu bisa terjadi sewaktu-waktu dengan kadar yang berbeda maka, menurut Basuki, panitia penyelenggara sudah menetapkan rumah sakit yang bisa dijadikan rujukan.
"Sehingga, ketika ada kejadian bisa langsung berkomunikasi dengan wasit untuk menghentikan pertandingan. Apalagi kalau beladiri. Jangan buru-buru, hentikan saja, lalu perlu rujuk apa nggak. Jika aman ya bisa dibilang ke wasit jalan lagi," ujar Basuki.