Sang Messi(ah) yang Urung Jadi Penebus

Sang Messi(ah) yang Urung Jadi Penebus

Sunlie Thomas Alexander - Sepakbola
Senin, 25 Jun 2018 13:52 WIB
Lionel Messi akankah benar-benar menjadi juru selamat untuk Argentina? (Lucy Nicholson/Reuters)
Jakarta - Rakyat Argentina telah mengultuskan Lionel Messi, bocah kurus kecil berumur 13 tahun yang menangis tanpa suara dalam penerbangannya dari Rosario ke Buenos Aires untuk bertolak ke Barcelona, sejak jauh hari sebelum ia bisa menjadi seorang "santo" bagi negaranya.

Setiapkali ia mengenakan seragam Tim Tango, harapan seluruh negeri seolah berada di atas bahunya. Mereka tak henti-hentinya menyandingkan sekaligus membandingkannya dengan Diego Maradona, sang Tuhan sepakbola Argentina. Bukan saja lantaran nomor punggung yang sama, tetapi juga postur tubuh, kekidalan dan kemampuan mengocek bola keduanya yang mirip. Bahkan mereka memplesetkan namanya menjadi Messiah, sang juru selamat atau sang penebus yang di-nubuat-kan Alkitab dan menjadi gelar Yesus.

Lihat saja di tribun Spartak Stadium, Moskow, dalam laga kontra Islandia Sabtu (16/6/2018) lalu, para suporter La Albiceleste lagi-lagi membentangkan poster Hati Kudus Messi, sebuah tiruan atas lukisan Hati Kudus Yesus (Sacratissimum Cor Iesu) yang dimuliakan oleh Gereja Katolik Roma.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang suporter Argentina membawa poster besar Lionel MessiSeorang suporter Argentina membawa poster besar Lionel Messi Foto: Clive Brunskill/Getty Images


Orang Argentina barangkali memang punya kebiasaan rada ganjil dalam mengekspresikan iman dan memuja bintang sepakbolanya. Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang memperlakukan para pahlawan lapangan mereka seperti mereka memperlakukan Maradona. Sebagai mayoritas pemeluk agama Katolik, mereka punya Paus di Roma, selain itu juga memiliki Iglesias Maradoniana; mereka memanjatkan doa Bapa Kami sekaligus mengubah doa itu menjadi kidung pujian bagi si boncel.

Bagi orang Argentina, El Diego adalah mukjizat hidup yang memberi mereka kebanggaan sebagai bangsa, dalam sepakbola maupun secara politis.

Tetapi 1986 sudah lama berlalu. Sudah begitu lama, serasa telah ribuan tahun.



Maka di sebuah sudut kota Buenos Aires, tepatnya di markas klub Sportivo Pereyra di distrik Baracas, sebuah mural tiruan dari lukisan terkenal Michelangelo, "La Creazione di Adamo" di Kapel Sistine pun dibuat dan dengan jelas mengungkapkan kegelisahan itu: Figur Tuhan digantikan oleh sosok Maradona yang sedang mengulurkan tangan kanannya kepada Nabi Adam yang berubah jadi Messi!

Empat kali partai final (Copa America 2007, Piala Dunia 2014, Copa America 2015 dan Copa America 2016) tanpa trofi rupanya belum juga membuat ekspetasi publik Argentina pada Messi padam. Setelah Diego tak lagi turun ke lapangan, Leo seolah-olah menjadi tumpuan doa mereka satu-satunya. Alhasil, harapan itu pun seakan menjelma jadi kutukan bagi si Kutu (La Pulga) dari waktu ke waktu, dari satu turnamen akbar ke turnamen akbar lainnya.

"Messi memiliki pistol yang ditaruh di dalam kepalanya yang disebut Piala Dunia. Dan jika ia tidak memenangkannya, ia akan menembakkannya dan terbunuh. Akibatnya ia tidak bisa menikmati bakatnya," kata Jorge Sampaoli, sang pelatih, sebagaimana dilansir oleh media.

Lukisan Lionel Messi dan Diego Maradona yang terinspirasi karya MichelangeloLukisan Lionel Messi dan Diego Maradona yang terinspirasi karya Michelangelo Foto: Twitter @SamuraiFC9


Ya, seperti yang telah kerap diungkapkan, ekspetasi demikian besar dari rakyat Argentina pada dirinya itulah yang justru membuat seorang Messi tertekan dan tak bisa bermain lepas. Sehingga di bawah bendera Argentina, ia seperti menjadi seorang yang lain, yang acap kehilangan rasa percaya diri dan keriangan bermain. Bukan lagi Messi di Barcelona, si peraih Ballon d'Or lima kali.

Yang lebih celaka lagi, harapan (yang barangkali boleh disebut ketergantungan) tersebut juga seringkali menempatkan dirinya menjadi sasaran hujatan maupun olok-olok dalam bentuk meme di media sosial setiap ia gagal. Ia sering dianggap tak berkomitmen penuh ketika turun laga membela negaranya. Wajarlah kalau Messi pun kemudian meradang: "Aku rela menukar semua gelar yang kudapatkan dengan sebuah trofi Piala Dunia!"



Dan kita semua tentu saja bisa melihat betapa nelangsanya ekspresi wajah si Kutu tatkala eksekusi penaltinya ke gawang Irlandia digagalkan oleh kiper Hannes Thor Haldorsson. Bahkan kita bisa menyaksikan bagaimana dengan tegang ia mengusap-usap keningnya sendiri ketika lagu kebangsaan negaranya berkumandang di Stadion Nizhny Novgorod, 22 Juni 2018 kemarin sebelum Tim Tango digilas 0-3 oleh Kroasia yang membuat para suporter La Albiceleste terbelalak tak percaya. Maklum, itu merupakan kekalahan terbesar Argentina di fase grup Piala Dunia sejak mereka dibantai oleh Cekoslowakia 1-6 pada tahun 1958.

***

ORANG Argentina agaknya memang sulit menerima kenapa Messi, sang Messiah yang ditunggu-tunggu itu-dengan segala kepiawaiannya di atas lapangan-tak bisa seperti Maradona; tak kunjung menjadi juru selamat bagi mereka.

Lionel Messi mati kutu di pertandingan dengan KroasiaLionel Messi mati kutu di pertandingan dengan Kroasia (Matthew Childs/Reuters)


Mereka tidak mau tahu bahwa Leo bukanlah Diego. Bahwa ia hanyalah seorang anak kekurangan hormon pertumbuhan yang dilahirkan kembali oleh akademi sepakbola La Masia untuk menjadi penebus bagi Barcelona. Warga Catalan dan para Barcelonistas tentunya belum lupa betapa manisnya ia kala pertama kali muncul di Stadion Camp Nou mengenakan seragam Blaugrana. Saat itu usianya barulah 17 tahun.

Ya, berseragam Barcelona, Messi-meminjam kata-kata Gianluigi Buffon sebelum timnya Juventus ditaklukkan Barca 3-1 pada Final Champion 2014-2015 di Olimpia Stadion, Berlin, 6 Juni 2015 - seakan seorang alien yang mendedikasikan dirinya bermain sepakbola bersama manusia.

Meskipun selera makan dan dialeknya masih teramat Rosario, tetapi tampaknya hanya di Barca-lah ia bisa mengamalkan tradisi sepakbola Argentina yang syahdan bertumpu pada kegembiraan bermain seorang bocah, seorang pibe itu.



Pibe, dalam bahasa Spanyolnya Argentina dan Uruguay berarti 'kid' atau 'youngster'. Ia juga lazim dipakai sebagai sapaan akrab yang kira-kira semakna dengan guy (boy, dude, male, dll) dalam bahasa Inggris. Namun lebih luas, seorang pibe-kata sosiolog Eduardo Archetti seperti dikutip Simon Kuper dalam The Football Men-adalah figur yang telah berada dalam kepala para penggemar sepakbola Argentina setidaknya sejak 1920an.

Pibe mempelajari sepakbola di potrero, wilayah perkotaan tak rata di mana hanya merekalah yang bisa mendribel dan menguasai bola; ia memainkan permainan kreatif yang disebut orang Argentina sebagai 'la nuestra' (milik kami), yakni sebuah gaya permainan yang berasal dari (kemurnian) imajinasi anak-anak.

"Di Barcelona, Messi selalu dijaga dan dicari dalam pertandingan. Semua pemain selalu memberi umpan kepadanya. Situasinya berbeda ketika ia bermain bagi Argentina. Karena itu mematikan Messi di timnas lebih mudah ketimbang di Barca," demikianlah kata Sampaoli kepada Radio Metro menjelang laga Final Copa America Centenario 2016. Kala itu ia adalah pelatih timnas Chile.

Tetapi lucunya, Sampaoli kini seolah-olah lupa kalau ia pernah membuat Messi frustasi dan berniat pensiun dari timnas Argentina selepas kekalahan menyakitkan Tim Tango dari Chile lewat drama adu penalti itu, dan dengan entengnya malah mengeluh kepada pers bahwa mandulnya Leo saat berhadapan dengan Islandia lantaran permainan defensif Strakarnir Okkar telah membuat si Kutu tak nyaman dan tak bisa menemukan ruang yang dibutuhkan.

Apa boleh buat, Messi-seperti kata Hristo Stoichkov beberapa tahun silam-memang sudah menjadi mitos dalam sepakbola, yang bukan saja dipercayai oleh rakyat Argentina, tetapi juga para pelatih La Albiceleste dari masa ke masa. Dan Sampoali, saya kira, adalah puncak dari kepercayaan terhadap sang mitos itu. Karenanya tidak heran jika sedari awal ia sudah terobsesi untuk membangun sebuah tim yang sempurna seperti Barca bagi Messi; alih-alih mencoba menganalisa karakteristik dan kemampuan setiap pemain dalam tim asuhannya.

Dalam tradisi Katolik, Hati Kudus Yesus berhubungan erat dengan tindakan reparasi pada Yesus Kristus. Paus Pius XIII, dalam enskliknya Miserentissimus Redemptor, menyatakan: "Semangat untuk memperbaiki kesalahan (reparasi) selalu menempati posisi terpenting dan terdepan dalam penyembahan kepada Hati Yesus yang Paling Kudus."

Lionel Messi lebih riang memainkan sepakbola dalam seragam Barcelona Lionel Messi lebih riang memainkan sepakbola dalam seragam Barcelona Foto: David Ramos/Getty Images


Namun yang dilakukan oleh seorang Sampaoli hanyalah bertaruh taktikal dengan melakukan eksprimen skema dari laga ke laga demi menghadirkan seorang Messi Barcelona ke dalam Tim Tango. Paling tidak, sejak ditunjuk menjadi pelatih, ia telah menjalani 13 pertandingan dengan 13 formasi yang berbeda-beda demi melayani kebesaran mitos yang ia percayai.

Hasilnya? Seperti yang sudah kita saksikan dalam laga melawan Kroasia, bermain dengan skema 3-4-3 yang kemudian berkembang jadi 3-4-2-1, permainan La Albiceleste kian lama justru kian porak-poranda di semua lini. Semua pemain seperti kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa, kemudian menjadi semakin kocar-kacir selepas gol yang dilesatkan Ante Rabic ke gawang mereka pada menit ke-53 akibat blunder yang dilakukan kiper Wilfredo Caballero.

Dan yang paling mencengangkan: Messi raib dari lapangan! Begitulah teriak orang-orang seusai pertandingan. Betapa tidak, selama 90 menit laga ia hanya bisa melakukan satu tembakan yang membentur tubuh pemain Kroasia, dua operan kunci dan 49 sentuhan bola. Si kutu betul-betul mati kutu!

Lantas apa kata Sampaoli setelah tim asuhannya betul-betul berada di pinggir jurang? Dengan terus-terang, ia hanya menyatakan bahwa Messi tidak dapat dukungan yang cukup dari rekan-rekannya agar bisa bersinar seperti kerap dilakukan di Barcelona.

"The reality of the Argentina squad clouds his briliance. Messi adalah kapten kami. Ia memimpin tim ini, tetapi kami tidak dapat membantunya seperti di Barca. Kami bekerja memberinya bola, tetapi tim lawan mengisolasinya."

Begitulah. Dan saya kira, sebagai seorang pelatih Jorge Sampaoli telah "membunuh" Lionel Messi untuk yang kedua kalinya di Piala Dunia 2018 ini.[]



=============

Penulis adalah cerpenis, tinggal di Yogyakarta. (din/krs)

Hide Ads