Rivalitas Persija dan Persib Bandung memang panas. Terhitung dari Mei 2012, sudah ada tujuh korban meninggal dunia karena perseteruan suporter kedua tim.
Komdis PSSI memang memberikan hukuman pada insiden-insiden sebelumnya. Tapi, sanksi yang didapati dinilai tak sebanding dan juga tegas jika diukur oleh nyawa seseorang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menengok kejadian yang berulang, rasanya tak semua suporter bisa mengambil pelajaran. Harus ada sesuatu yang lebih nyata dilakukan.
Melihat kebrutalan suporter di Indonesia, ada yang layak dicontoh dari eropa sana, tepatnya di Belgia. Di kota Liege, sebuah organisasi non-profit bernama Fan Coaching menciptakan sesuatu yang rasanya patut dicontoh di Indonesia.
Menurut BBC, organisasi ini berdiri pada akhir 1980-an dan dibangun untuk mengedukasi fans sepakbola agar tak membuat keributan ketika menikmati sepakbola.
Klub Belgia, Standard Liege, bekerja sama dengan Universitas Liege dan pemerintah kota tersebut membangun organisasi Fan Coaching. Dilihat dari namanya saja, kita sudah tahu tujuan utama dibuatnya organisasi ini untuk memberi pelatihan bagi suporter.
Didukung penuh oleh Belgian Federal Public Service Home Affairs, Fan Coaching sudah melakukan pelbagai kegiatan sosial dan pendidikan yang ditujukan untuk mencegah kekerasan antar suporter dan terpenting mengubah mindset fans itu sendiri dalam hal mendukung. Bahkan pendekatan mereka sudah diakui oleh institusi nasional dan internasional.
Untuk menanggulangi keributan dan kebrutalan suporter, mereka menggunakan beberapa cara yang sangat profesional. Sebagai penghubung mindset kepada suporter dengan memberitahukan risiko insiden. Mereka kerap ikut fans Standar Liege ke semua laga yang dimainkan di Belgia maupun luar Belgia.
Menurut situs UEFA, Fan Coaching juga membuat kegiatan olahraga dan budaya demi merangsang fans untuk melakukan hal-hal positif. Hal ini bisa didapati bagi mereka yang bergabung dengan komunitas bernama Fan-Home. Sejak awal setiap kegiatan Fan Coaching sudah diteliti dan dipandu oleh orang-orang ahli di Universitas Liege.
Banyak acara yang dibuat oleh Fan Coaching. Karena dukungan dari dewan kota, mereka mampu menciptakan pusat dukungan berupa ekstrakulikuler untuk fans muda. Bagi Tunawisma, mereka menggunakan olahraga sebagai alat integrasi sosial dalam kesulitan ekonomi.
Lebih dari satu dekade Fan Coaching sudah berkontribusi secara internasional. Terutama dalam forum-forum dengan seminar serta konferensi pers untuk menyuarakan tentang pencegahan kekerasan dalam olahraga serta memberitahukan bagaimana mengelola sebuah acara olahraga yang baik.
Pada 2011 lalu, Fan Coaching bahkan memenangi penghargaan UEFA European Footbal Supporter karena inisiatif mereka melawan kekerasan dalam sepakbola.
"Fan Coaching, organisasi non-profit di kota Liege, memberikan kontribusi spesial untuk membuat suasana positif di sekitar stadion sepakbola. Mereka mendapat penghargaan karena ilmu yang diberikan tentang respek kepada musuh, hormat dengan wasit, loyalitas kepada tim favorit, menerima kekalahan, dan fairplay dalam arti yang sesungguhnya," tulis UEFA kala itu.
Apa yang dilakukan Fan Coaching pantas dicontoh di Indonesia. Mungkin tidak mudah membangun sebuah organisasi untuk fans, tapi ini bisa menjadi salah satu opsi untuk meminimalisasi keributan antar suporter.
Pada akhirnya mindset suporter tentang sepakbola itu sendiri yang harus diubah. Dengan adanya sebuah wadah non-komunitas yang punya tujuan khusus mengedukasi fans, bukan tak mungkin suporter bisa mendapat ilmu lebih banyak terkait cara mendukung yang santun tapi tetap fanatik. (mrp/rin)