Hasil Komdis PSSI telah dirilis pada Selasa (2/10/2018). Dalam putusannya, Komdis mengeluarkan beberapa hukuman kepada Persib Bandung. Sanksi ini diberikan menyusul tragedi meninggalnya suporter Persija Jakarta Haringga Sirila yang dikeroyok oleh oknum bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).
Persib akhirnya dihukum terusir dilarang bermain di Pulau Jawa alias di Kalimantan tanpa penonton sampai akhir musim kompetisi Liga 1 2018. Selain itu, Persib harus menggelar laga kandang tanpa penonton di Bandung sampai setengah musim kompetisi Liga 1 2019.
Baca juga: Ridwan Kamil Dukung Banding Persib |
Suporter Persib, Bobotoh, juga dilarang menyaksikan pertandingan baik kandang dan tandang di Liga 1 hingga tengah musim depan. Panpel Persib pun dihukum selama dua tahun.
Pemerhati sepakbola Akmal Marhali menilai hukuman yang dikeluarkan tak sesuai ekpektasi. PSSI tak membuat solusi yang tepat dari permasalahan sebenarnya. Sebaliknya, hukuman itu terkesan formalitas semata agar kompetisi diputar kembali.
"Dari awal kasus kematian Haringga Sirila diharapkan mendapatkan satu rekomendasi komprehensif untuk tindakan preventif dan pencegahan terhadap potensi anarkisme yang berujung tumbal nyawa kembali di sepakbola Indonesia," ujar Akmal kepada detiksport, Rabu (3/10/2018).
"Kedua, PSSI semula berjanji akan serius menangani problem fundamental sepakbola ni dengan membuat SOP yang kemudian disosialisasikan kepada semua klub agar tak terulang lagi korban nyawa di sepakbola," sambungnya.
"Ketiga, PSSI membentuk tim pencari fakta yang ditugaskan untuk merekonstruksi kasus dan menemukan titik permasalahan akut rivalitas tanpa sportivitas kedua suporter dan akan mengungkapkannya secara terbuka kepada publik. Membuat rekomendasi kepada PSSI dan Komdis atas temuan yang mereka dapatkan di lapangan."
"Ibarat lintasan balap, belum selesai tugas tim investigasi (5 hari) Komdis sudah curi start mengeluarkan putusan. Tanpa ada penjelasan kepada publik hasil putusan yang dikeluarkan."
Terkait hukuman Persib yang terusir dari Pulau Jawa, Akmal juga mempertanyakan landasan apa yang digunakan oleh Komdis.
"Menurut saya itu sangat membingungkan. Landasan yuridis apa yang dipakai Komdis atau Yurisprudensi apa yang digunakan. Komdis tutup mulut soal ini semua."
Tak hanya itu, Akmal juga bingung dengan sanksi kepada pelaku yang dilarang masuk ke stadion seumur hidup. Bagaimana PSSI bisa melakukan itu, sedangkan alat pendeteksinya tak punya.
"Seperti apa cara Komdis (PSSI) menscreening-nya bahwa para pelaku itu dijamin tidak nontom sepakbola. Alat pendeteksi apa yang digunakan. Tidak jelas."
Menurut pria yang juga pengurus Save Our Soccer (SOS) itu keputusan Komdis tak mencerminkan penyelesaian masalah yang sebenarnya. Tidak ada langkah tegas atau aturan tegas yang diterapkan untuk menepis kejadian serupa terulang lagi.
"So. PSSI tidak menepati janjinya untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus kekerasan ini secara progresif. Menpora juga kembali cuma menggelar acara seremonial mengumpulkan suporter tanpa ada resolusi yang jelas untuk menyelesaikan masalah di akar rumput."
Baca juga: Sederet Hukuman untuk Pangeran Biru |
"Penyelesaian masalah lewat sanksi Komdis yang dipublikasikan tanpa penjelasan dan tanpa memanggil pihak bermasalah untuk didengarkan keterangannya untuk masalah yang fundamental merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam konteks hukum."
"Penyelesaian kasus yang dilakukan hanya dipermukaan. Short Problem Solving. Penyelesaian masalah jangka pendek. Kejar setoran agar kompetisi bisa cepat digelar lagi. Formalitas seolah sudah menemukan solusi masalah akut ini. Ibarat tumor, tidak diamputasi, hanya diberikan suntikan pereda rasa sakit. Artinya, penyakitnya akan tetap menjalar ke seluruh tubuh setelah pereda sakitnya hilang. Tak ada penyembuhan. Tetap sakit. Fatamorgana!," papar Akmal.
Saksikan juga video 'PSSI akan Siapkan SOP Anti Bentrokan Suporter':
(ads/mrp)