Komdis PSSI menetapkan Hidayat bersalah atas kasus pengaturan skor pertandingan sepakbola tanah air. Hidayat kini dilarang berkecimpung di sepakbola Indonesia tiga tahun, dilarang memasuki stadion Indonesia dua tahun, dan denda Rp 150 juta.
Hidayat sendiri memutuskan mundur dari PSSI. Ia mengaku tidak ingin membebani PSSI dan kampus tempatnya mengajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukuman pada Hidayat diberikan PSSI usai menggelar investigasi terkait keterlibatan Hidayat pada pengaturan skor di Indonesia. Sebelumnya, Hidayat dituding terlibat skandal itu oleh manajer Madura FC Januar Herwanto dalam acara Mata Najwa, 28 November lalu.
Terkait hukuman untuk Hidayat. Kementerian Pemuda dan Olahraga sedikit mempertanyakan konsistensi PSSI. Pasalnya, federasi sepakbola tanah air itu dinilai kerap plin-plan alias tidak konsisten dalam memberi sanksi.
"Bukan masalah berat tidaknya, PSSI konsisten tidak dengan hukuman itu?" ucap Sekretaris Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto, saat dimintai tanggapan terkait hukuman untuk Hidayat.
"Kita kan tahu karakter PSSI, putusan pertama galak, seperti Persib, keputusan pertama galak, setelah itu direvisi. Jadi bukan berat tidaknya, PSSI konsisten gak? Karena PSSI punya karakter seperti itu," sambungnya.
Jika berkaca dari kasus sepakbola gajah beberapa tahun lalu, ketika itu PSSI tak tanggung-tanggung memberi hukuman. PSSI menghukum pelaku, baik pemain dan pelatih, dengan larangan beraktivitas di sepakbola tanah air seumur hidup.
Gatot juga mempertanyakan acuan sanksi yang dijatuhkan PSSI kepada Hidayat. Menurutnya, semua sanksi harus ada dasarnya dan tidak cuma sekadar diputuskan dalam rapat Komdis.
"Nah, PSSI menghukum itu menjadi tiga tahun atau seumur hidup kan tidak bisa hanya karena kata atau rapat Komdis, pasti ada acuannya," sambung Gatot.
"Sebagai contoh, UU ITE pencemaran nama baik lima tahun penjara, kan ada disebut pidananya. Nah, kembali ke PSSI, ada tidak acuannya begitu? Memberi tiga tahun dasarnya apa? Harus ada pasal rujukannya. Jangan main persepsi," tegas Gatot.