Biayai Transport Seleksi PPLP, Marinus Diam-Diam Jual Play Station Teman

One on One

Biayai Transport Seleksi PPLP, Marinus Diam-Diam Jual Play Station Teman

Mercy Raya - Sepakbola
Selasa, 29 Jan 2019 17:30 WIB
Marinus Wanewar menjual PS temannya untuk mengongkosi transportasi ke Jayapura. (Agung Pambudhy/detikSport)
Jakarta - Marinus Wanewar memiliki keinginan kuat menjadi pemain bola dan yakin PPLP menjadi salah satu jalan untuk menggapainya. Dia menjual PS milik temannya untuk biaya mengikuti seleksi di PPLP.

Marinus lahir dan besar di daerah pesisir di Kabupaten Sarmi, berjarak kurang lebih 300 km dari Jayapura. Saat Marinus kecil, kabupaten itu belum berkembang.

Marinus kecil juga bukan dari keluarga berkecukupan. Ayahnya seorang nelayan dan ibunya mengurus rumah tangga dan delapan anak, termasuk Marinus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak kecil Marinus sudah bertekad bulat untuk menjadi pemain bola. Misinya, bermain untuk Persipura Jayapra. Sebab, di sanalah pemain idolanya, Boaz Salossa, bergabung.

"Waktu itu, awalnya juga main-main saja. Dari kecil main, kemudian coba-coba ikut diklat di Papua, semacam Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP)," kata Marinus dalam One on One detikSport di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta.

Tapi, nyaris saja harapannya terbentur keuangan. Kedua orang tuanya tak memiliki dana yang cukup untuk biaya transportasi ke Jayapura. Waktu itu, Ongkos naik bus dari Sarmi ke Jayapura Rp 150 ribu tiap orang.

"Dari tempat tinggal saya perjalanan ke Jayapura enam sampai tujuh jam. Dan itu seleksi pertama saya di PPLP Papua. Waktu saya mau pergi, orang tua bilang enggak ada uang. Buat apa mau pergi sekolah di Jayapura? Tinggal di sini saja. Tapi, saya punya kemauan sendiri karena saat tembus PPLP kami kan sudah ditanggung asrama," Marinus menceritakan.


Marinus pusing tujuh keliling. Tiba-tiba dia teringat Play Station milik sahabat yang sudah cukup lama dipinjamnya.

Marinus nekad menjual Play Station itu. Lumayan, ongkos bus bisa ditutup.

"Kami jual Rp 300 ribu. Biaya itu yang menjadi ongkos kami naik bus. Karena satu orang ongkosnya Rp 150 ribu. Jadi, kami bagi dua. Kalau sepatu kami sudah ada, sementara jersey kan disiapkan dari sananya," ujarnya.

Kegigihannya membuahkan hasil. Marinus masuk Diklat Papua. Dia menimba ilmu selama tiga tahun di sana.

"Kami sudah terbiasa hidup mandiri. Jadi kalau orang tua bilang tak begitu (tak ada uang), tapi kemauan menjadi pemain bola tinggi, pasti orang tua ikut saja," katanya.

Kisah menjual PS itu tak akan dilupakan Marinus. Dia akan mengingatnya sebagai pembuka jalan terwujudnya mimpi menjadi pemain sepakbola profesional, bergabung dengan Persipura dan berada di tim yang sama dengan Boaz.

"Enggak menyesal lah. Ini sudah pilihan tepat. Karena hanya ini (main bola) yang saya tahu. Yang lain tak tahu," dia mempertegas.

(mcy/fem)

Hide Ads