Pertandingan final leg kedua Piala Indonesia antara Persija melawan PSM Makassar seharusnya bergulir pada Sabtu (27/7/2019), di Stadion Andi Mattalatta. Namun PSSI memutuskan menunda karena faktor keamanan.
Sehari sebelum laga, bus Persija dilempari batu oleh oknum-oknum suporter. Akibatnya, beberapa pemain Persija mengalami luka-luka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CEO Persija, Ferry Paulus, mencoba meluruskan situasi agar tak berkembang liar. Persija merasa sudah banyak dapat tekanan sejak menginjakkan kaki di Makassar. Macan Kemayoran mulanya sudah mencoba santai, namun kejadian-kejadian tak diinginkan malah menimpa tim besutan Julio Banuelos.
"Pertama, Persija menganggap satu poin penting batalnya pertandingan tersebut karena ketidakcakapan Panpel dalam menjamu kami, banyak hal-hal yang tidak baik dalam ranah-ranah fair play. Salah satunya pressure secara visual melalui spanduk, yang kedua, pressure melalui petasan jam 00.00 dan jam 01.30 intinya mem-pressure kami di hotel," ujar Ferry di Kantor Persija, Kuningan, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
"Sampai saat itu, pemain Persija tidak ambil pusing, pemain masih rileks, dan bisa istirahat dengan baik. Namun, saat official training, ini yang menyebabkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan tim, yang akhirnya menyebabkan kami tidak ingin bertanding tanggal 28 (Juli)," sambungnya.
"Lalu bahwa ketidakcakapan panpel sudah diklarifikasi sama-sama di tanggal 28 Juli untuk mencarikan titik temu yang terbaik, dari pihak PSM pak Munafri lalu ada Kapolresta, dan Karo Ops Polda Sulsel," katanya.
Ferry menganggap Panpel tidak bisa membaca situasi dengan tingginya animo masyarakat PSM yang ingin menyaksikan pertandingan. Penumpukan suporter terjadi di kawasan stadion ketika Persija melakukan official training tanpa pengamanan.
"Karo Ops sampaikan panpel tidak minta keamanan dipertebal khusus offisial training, ini yang saya maksud ketidakcakapan panpel. Seharusnya panpel melihat animo masyarakat Sulsel, antisipasi kemungkinan-kemungkinan melalukan koordinasi dengan kepolisian, sehingga ketika kami OT (official training) semua berjalan baik."
"Lalu kenapa saat OT terjadi penumpukan? Dapat info di hari yang sama panpel menambah penjualan tiket secara langsung di sekitar stadion. Tiket yang dijual jelas-jelas menyalahi aturan karena kursi yang disiapkan persis di belakang bench kedua pihak, di regulasi jelas ada, tim tamu yang di bench harus nyaman, kenyamanan didapat dari space dengan penonton."
"Tanggal 27 Juli, dijual 800 tiket kalau tidak salah, animo masyarakat Makassar yang besar, jumlah 800 tiket itu habis dalam waktu singkat, sehingga banyak masyarakat yang tidak dapat tiket. Di Jakarta juga sering, hanya harusnya panpel buat antisipasi lengkap dan cerdas sehingga penumpukan massa bisa diantisipasi oknum-oknum yang anarkis sampai terjadi pelemparan-pelemparan tadi."
Ferry pun menegaskan Persija siap bermain kapan dan di manapun. Namun dia tidak mau ada kejadian-kejadian yang mengancam keselamatan dan kenyamanan tim.
"Sekali lagi, buat kami, Persija, tidak pernah khawatir main di mana pun, ketika bu Sekjen (PSSI) menyampaikan laga ditunda dan awalnya dipertandingkan di tempat nertal, karena PSM minta main di tempat itu juga, kami sanggup. Mari tanding secara fair, tanpa intimidasi sampai kami pulang ke Jakarta pun banyak hal janggal, semua tiket boarding pass pemain dan ofisial di-scan dan di-publish bahwa ada kata-kata yang tidak baik, dari sisi etik penerbangan tidak diperkenankan, itu pribadi sifatnya," katanya menjelaskan.
(ads/ran)