Indonesia kalah tiga gol dari Vietnam di Stadion Rizal Memorial, Manila, Selasa (10/12/2019). Gol Vietnam didapat lewat brace Doan Van Hau serta satu gol Do Hung Dung.
Kekalahan 0-3 bisa dibilang di luar prediksi. Sebab, Indonesia bisa tampil sama baiknya dengan Vietnam, sejak fase grup hingga ke final.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Permainan Keras
Vietnam menerapkan pendekatan berbeda, saat menghadapi Indonesia di fase grup dan final. Pada pertemuan pertama di fase grup, Vietnam memainkan ball possession, sabar dalam membangun serangan. Hasilnya, Vietnam menang 2-1 meski sempat tertinggal.
Di final, Vietnam bermain berbeda. Anak asuh Park Hang-seo tampil lebih tegas sejak peluit kick off, di mana Ha Duc Chinh dkk memainkan pressing ketat, keras, dan cepat dalam membangun serangan.
Taktik itu merepotkan Indonesia. Kendati dihuni pemain-pemain cepat untuk melancarkan serangan balik, serangan Indonesia tak berkembang sepanjang babak pertama.
Di babak pertama, peluang bersih Indonesia cuma didapat lewat tendangan bebas Zulfiandi dari luar kotak penalti pada menit-menit awal. Sisanya, aliran bola ke sisi sayap praktis bisa dimatikan Vietnam.
Permainan keras Vietnam menjadi yang paling menyulitkan Indonesia. Evan Dimas sampai menjadi korbannya, dengan tekel Doan Van Hau memaksanya keluar di babak pertama.
2. Minim Taktik
Keluarnya Evan Dimas banyak dianggap sebagai sumber kekalahan Indonesia. Namun patut diingat, sebelum Evan Dimas ditarik, Saddil Ramdani dan Witan Sulaeman juga minim suplai bola untuk membangun serangan lewat sayap--yang menjadi andalan Indra Sjafri.
Hampir tak ada peluang didapat lewat kreasi kedua sayap-sayapnya. Ketika Evan Dimas akhirnya diganti, maka benar-benar terputuslah jembatan lini belakang dan depan, yang biasanya diemban pemain Barito Putera tersebut.
Di babak kedua, serangan Indonesia sedikit terlihat sejak masuknya Egy Maulana. Namun, hal itu juga cukup minim sebab pressing ketat membuat Egy kesulitan mendapat ruang bergerak. Dalam situasi itu, tak banyak yang bisa dilakukan Indonesia untuk membangun serangan sebab semua sisi sudah terkunci Vietnam.
Indonesia pun mulai frustrasi. Di babak kedua, Indonesia malah ikutan terpancing bermain keras. Osvaldo Haay misalnya, pemain yang sudah mencetak 8 gol di SEA Games 2019 itu beberapa kali terlihat emosi, dan sempat menghadirkan pelanggaran-pelanggaran di daerah sendiri.
3. Bola-bola Mati
Taktik permainan keras itu yang pada akhirnya menguntungkan Vietnam, sebab punya alternatif serangan lewat bola-bola mati. Gol pertama dan ketiga menjadi buktinya.
Pelanggaran yang dilakukan Asnawi Mangkualam di sisi kanan daerah sendiri pada babak pertama, membuat Vietnam mendapat tendangan bebas. Hal itu bisa dimaksimalkan menjadi gol.
Bola kiriman Do Hung Dung, bisa ditanduk Doan Van Hau. Dengan postur tingginya, Van Hau tanpa kesulitan memenangi duel udara dengan Bagas Adi dan Andy Setyo dan mengirim bola masuk ke gawang Indonesia di menit ke-39.
Gol ketiga tercipta lewat skema yang sama. Tendangan bebas yang dilepaskan Nguyen Hoang Duc, gagal ditepis dengan baik Nadeo Argawinata. Bola muntahnya kemudian bisa disambar Doan Van Hau menjadi gol ketiga Vietnam pada menit ke-73.
Ancaman-ancaman bola mati Vietnam sedianya sudah diingatkan banyak pihak. Eks pelatih Rahmad Darmawan misalnya, mengatakan kepada detikSport bahwa sebaiknya Indonesia menghindari membuat pelanggaran-pelanggaran di daerah sendiri.
Permainan keras Vietnam pada akhirnya memaksa Indonesia, yang minim taktik, terkesan bunuh diri. Mulai dari ikutan terpancing bermain keras, membuat pelanggaran di daerah sendiri, dan akhirnya kebobolan lewat bola-bola mati.
Emas SEA Games pun gagal didapat. Dengan hasi ini, Garuda Muda memperpanjang puasa medali emas dari sepakbola SEA Games, sejak terakhir kali meraihnya pada 1991.
(yna/mrp)