Karena Piala Dunia, popularitas Vuvuzela meningkat. Sejak hari pertama menjejakkan kaki di Afrika Selatan, Vuvuzela terdapat di mana-mana, bisa dibeli di hampir semua toko-toko; dari mall besar di pusat kota, sampai dijajakan oleh pedagang kaki lima di perempatan jalan.
Saking populernya, banyak rekan di Indonesia yang menitip untuk membeli vuvuzela sebagai oleh-oleh nanti, ketimbang maskot turnamen Zakumi misalnya. Mereka bilang, merchandise berlisensi bisa dibeli di Indonesia, tapi vuvuzela hanya ada di Afsel sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demam vuvuzela pun sudah terasa di kalangan penonton asing di Afsel. Orang-orang berkulit putih, seperti para pendukung Belanda yang saya temui di Stadion Soccer City, Johannesburg, juga banyak yang menenteng benda plastik panjang itu.
Seorang Jamie Carragher, pemain Inggris, bahkan mengaku sudah membeli dua terompet vuvuzela untuk oleh-oleh buat anak-anaknya yang merengek meminta dibelikan.
Meski populer, Vuvuzela belakangan banyak dikritik karena suaranya yang kelewat kencang dia dianggap mulai mengganggu Piala Dunia. Padahal alat tiup tersebut telah jadi bagian dari kultur sepakbola Afrika Selatan.
Awalnya pemain dan pelatih yang mengeluhkan kebisingan yang dimunculkan Vuvuzela. Alat sejenis terompet yang terbuat dari plastik itu mempersulit komunikasi di dalam lapangan, baik antarpemain maupun dengan pelatih.
Berbeda dengan terompet, baik yang ditiup maupun menggunakan gas, vuvuzela punya suara yang lebih nyaring tapi juga berat. Bunyinya lebih menyerupai kumpulan lebah atau suara lenguhan gajah yang sangat berat.
Seiring berjalannya Piala Dunia, protes-protes lain bermunculan. Dari sisi medis, vuvuzela disebut bisa menyebabkan tuli. Sementara itu muncul pula keluhan kalau suara vuvuzela mengganggu siaran langsung pertandingan Piala Dunia.
Ujung-ujungnya, muncul usulan untuk melarang vuvuzela masuk stadion selama Piala Dunia 2010. FIFA sepertinya cukup serius menangani persoalan yang sebelumnya terkesan sepele itu.
"FIFA tak bisa melarang kami membawa vuvuzela ke dalam stadion. Vuvuzela adalah bagian dari kami Afrika Selatan, bagian dari sepakbola kami," ketus James, seorang warga Afsel yang ditemui detiksport di Soccer City Stadium.
Dunia mungkin baru mengenal vuvuzela setahun ke belakang, tepatnya saat Piala Konfederasi dihelat tahun 2009 kemarin. Padahal, vuvuzela telah lama jadi bagian sepakbola negara Nelson Mandela tersebut.
"(Meniup) vuvuzela merupakan cara kami merayakan sesuatu di sepakbola. Kami melakukannya sudah lama. Kami tak akan terima jika dilarang meniup vuvuzela," lanjut pria yang datang bersama pacarnya itu.
"Saya tak tahu pasti bagaimana semua ini berawal dan dari suku mana yang memulainya. Mungkin itu terkait kebiasaan orang dulu yang suka meniup tanduk atau gading. Tapi sekarang terompet itu terbuat dari plastik," paparnya kemudian. (arp/a2s)