Kegembiraan Para Underdog

Catatan Piala Dunia

Kegembiraan Para Underdog

- Sepakbola
Jumat, 18 Jun 2010 09:04 WIB
Jakarta - Seandainya Amerika Serikat gagal memenangi sebuah pertempuran, mungkinkah koran-koran di sana memasang headline penuh kegembiraan? Saya kurang yakin. Tapi jika mereka hanya berhasil menahan seri kesebelasan lawan yang dianggap tim unggulan, sangat besar kemungkinan koran-koran di Amerika memasang headline penuh kemenangan.

Begitulah. Saat berhasil menahan seri tim unggulan Inggris, publik Amerika senang bukan main. Tak peduli hasil seri itu pun dibantu oleh blunder kiper Inggris, beberapa koran Amerika memberitakan laga itu dengan nada yang cerah. Edisi Minggu surat kabar New York Post bahkan memasang headline: "USA Wins 1-1: The Greates Ties Against the British Since Bunker Hill".

Judul itu jelas merujuk The Batlle of Bunker Hill, salah satu pertempuran paling legendaris dalam Perang Kemerdekaan antara Inggris dengan Amerika. Pertempuran pada Juni 1775 sebenarnya dimenangi Ingris, tapi tewasnya sepertiga pasukan Inggris saat itu membuat kemenangan tadi bisa saja dianggap sebagai kekalahan, terlebih kemenangan itu sama-sekali tidak signifikan bagi laju pasukan Inggris. Dengan kata lain, bisalah dianggap pertempuran itu berakhir imbang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

The Battle of Bunker Hill dikenang dalam waktu lama oleh kubu Amerika. Bersama dengan kemenangan di Lexington, Charleston atau Concord, The Battle of Bunker Hill dikenang sebagai salah satu titik balik. Betapa tidak, pasukan Inggris yang terlatih dan berpengalaman yang dilengkapi dengan persenjataan yang lebih canggih ternyata bisa ditandingi oleh pasukan yang sebagian besarnya adalah orang-orang sipil dan tak terlatih.

Sejak itu, dalam psike orang-orang Amerika mulai berbiak keyakinan bahwa mengalahkan Inggris bukanlah hal yang mustahil dan kemerdekaan juga bukan mimpi iseng di tengah bolong. Optimisme menjadi terasa lebih masuk akal karena momentum itu.

Lagi pula, "win" (menang) dengan "twin" (kembar, 1-1) hanya beda satu huruf saja, bukan?

Saat itu, Amerika masih tertatih-tatih menyaingi nenek moyangnya sendiri, Inggris Raya. Butuh waktu seratus tahun lebih bagi Amerika untuk perlahan tapi pasti mensejajarkan diri dengan Inggris Raya, dan masih butuh dua Perang Dunia bagi Amerika untuk menjadi adikuasa dan adidaya dunia sekaligus melampaui pengaruh Inggris Raya di muka bumi.

Kini, tentu saja, tak ada yang menyangkal kuatnya Amerika Serikat dalam nyaris semua segi kehidupan. Kita mengenal frase "Polisi Dunia" sebagai perumpamaan betapa kuatnya pengaruh Amerika. Merekalah yang kini menjadi adikuasa dan adidaya sekaligus simbol paling sempurna dari Dunia Pertama.

Tapi sepakbola punya pengertiannya sendiri tentang apa itu adikuasa dan adidaya.

Di lapangan sepakbola, Amerika sama sekali tak bisa mendaku dirinya sebagai adikuasa dan adidaya. Mereka bukan apa-apa. Di hadapan Brasil, misalnya, Amerika akan tampak seperti kurcaci. Mungkin seperti Afghanistan di perang memerangi terorisme ala Amerika.

Maka, mestikah diherankan jika New York Post memasang headline berbunyi "USA Wins 1-1: The Greates Ties Against the British Since Bunker Hill" saat hanya berhasil menahan seri Inggris, itu pun dengan "bantuan" blunder kiper Robert Green? Headline semacam itu menggambarkan dengan benderang psike kaum underdog, mereka yang lemah dan jauh dari tahta kekuasaan. Mungkin seperti para gerilyawan di Kabul yang meloncat-loncat kegirangan saat berhasil merontokkan sebiji Black Hawk punya Amerika seakan-akan mereka baru saja melantakkan Gedung Putih.

Bahwa mereka bisa bergembira karena bantuan sebuah blunder seperti Amerika atau menang dengan strategi bertahan seperti Swiss tidaklah menjadi soal. Blunder, bertahan atau serangan balik barangkali semacam remah-remah sepakbola yang masih bisa direngkuh oleh para underdog. Jika istilahnya James Scott bisa disebut di sini, itulah senjatanya orang-orang yang lemah ("In weapons of the weak").

Meminta Amerika, Swiss atau DPR of Korea bermain menyerang total dan indah saat menghadapi adidaya macam Inggris, Spanyol atau Brasil adalah permintaan yang terasa sedikit mengada-ada. Ini seperti memaksa orang miskin yang harus bekerja 7 hari dalam seminggu untuk bertahan hidup agar mau seharian melihat-lihat lukisan Andy Warhol atawa dengan membaca Hegel. Menyerang atau menari-nari dengan bola saat menghadapi para raksasa bukanlah jatah para underdog, seperti halnya heli secanggih dan semahal Black Hawk tak mungkin bagi Afghanistan.

Orang Amerika mungkin akan berkata: bagaimana bisa kalian meminta kami bermain jogo bonito? Kenapa semuanya harus diukur dengan standar permainan para adikuasa dan adidaya sepakbola? Dengan itulah sepakbola memberikan pukulan balik kepada kepongahan Amerika yang sudah sangat terbiasa menuntut negara Dunia Ketiga untuk mempraktikkan demokrasi sesuai standar dan cara Amerika.

Sepakbola memang manis, bukan?




==
*) Penulis adalah penggemar sepakbola, editor di Indonesia Boekoe Jakarta. Tulisan ini bersifat opini pribadi dan tidak mencerminkan sikap redaksi. (a2s/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads