Seperti saya katakan sebelumnya, terpilih menjadi volunteer resmi Piala Dunia 2014 menjadi kebahagiaan tak terkira buat saya. Mimpi saya suatu saat bisa mengunjungi Brasil, akhirnya terwujud melalui Piala Dunia. Apalagi hanya saya satu-satunya relawan dari Indonesia, tentu saja saya merasa sangat bangga.
Saya meninggalkan tanah air pada 5 Juni, dengan rute penerbangan Jakarta-Sao Paulo. Setelah transit selama 9 jam di Dubai, saya mendarat di Guarulhos International Airport pada 6 Juni pukul 16.40 waktu setempat. Itu berarti perjalanan menuju Brasil menghabiskan sekitar 32 jam.
Nah, dari Sao Paulo saya mesti langsung melanjutkan penerbangan ke Porto Alegre, kota di mana saya ditugaskan sebagai volunteer. Hanya saja, saya harus menunggu sekitar 13 jam lagi untuk penerbangan tersebut. Wow banget, bukan?

Sambil mengisi waktu -- walaupun lama-lama mati gaya juga, hehehe,-- saya memperhatikan apa saja yang ada di dalam bandara, dari kursi tunggu atau di dalam kafe, sambil mencicipi kopi di negeri penghasil kopi terbesar di dunia ini.
Bandara Sao Paulo ini menurut saya biasa-biasa saja, tidak terkesan mewah seperti dugaan saya sebelumnya. Hiruk-pikuknya cuma sampai jam 9 malam, karena setelah itu suasana mulai sepi. Lalu lalang orang tidak seramai sebelumnya.
Suasana yang mulai sepi, plus tubuh yang mulai terasa penat, tak ada pilihan menunggu yang lebih baik kecuali … tidur. Apalagi, jujur saja, ternyata membosankan juga melakukan perjalanan panjang ini sendirian, karena saya terbiasa berkomunikasi dengan orang. Jadi, walaupun bangku-bangku di bandara ini tidak terlalu nyaman, saya pun mencoba memejamkan mata dan merebahkan badan. Saya juga tidur sambil memeluk semua barang bawaan, jaga-jaga dari kemungkinan yang buruk.
Penantian dari sore berakhir di jam 4.30 pagi, ketika saya check-in untuk penerbangan ke Porto Alegre. Di sinipun ada sedikit kendala karena sulit juga menemukan petugas bandara yang bisa berbahasa Inggris. Saya lalu mencoba berbahasa Spanyol yang saya kuasai, dan untungnya mereka cukup mengerti karena bahasa Portugis mirip-mirip dengan Espanola.
Sudahpun begitu, proses check-in pun sangat lama, mungkin dikarenakan sistemnya. Saya harus mengantre 1,5 jam (!) untuk memastikan tiket di tangan.
Yang terburuk adalah, setiap turis yang tak bisa berbahasa Portugis pasti akan kesulitan mengerti setiap pengumuman di bandara, karena disampaikan hanya dengan bahasa Portugis. Tak ada pengumuman berbahasa Inggris sama sekali untuk penerbangan lokal.
Saya mendarat di Porto Alegre pukul 08.20, setelah terbang 1,5 jam. Di bandara saya dijemput oleh pemilik apartemen tempat saya tinggal selama di Brasil. Kala itu suasana kota cukup sepi karena semua orang masih tidur di Sabtu pagi -- matahari terbit kira-kira jam 8 pagi. Suhu juga masih dingin: tertinggi 19 derajat celcius, tapi dinihari turun sampai 5-6 derajat.
O iya, pihak penyelenggara Piala Dunia menyediakan semua fasilitas untuk para relawan, mulai dari tiket pesawat PP, akomodasi, transportasi, dan lain-lain.

**
Jadi, beginilah rasanya Brasil. Sejak sampai di apartemen, saya masih berbunga-bunga, tetap tak percaya mimpi ke negara ini kesampaian juga. Untuk hal-hal seperti ini, boleh dong kita norak, hehehe ....
Seharian itu saya lebih banyak istirahat dan tidur di apartemen. Saya juga belum bisa bertemu dengan Clare, teman sekamar saya, volunteer dari Afrika Selatan, karena ada giliran kerja di Estadio Beira-Rio. Dan kedatangan dia malam itu sungguh mengagetkan saya.
Saya masih tertidur ketika pintu kamar diketuk-ketuk dari luar. Saya cukup kaget ketika membukanya, yang muncul adalah sekuriti aparmen. Dalam bahasa Portugis dia bertanya, "apa benar ini kamar, Clare?" Setengah bingung saya menjawab, "ya, benar."
Si sekuriti lalu berkata, "teman kamu ada di bawah, dan dia akan naik ke atas." Beberapa menit kemudian Clare datang dengan penuh tangis. Saya makin kebingungan menyambut pertemuan pertama kami itu. Apalagi ketika dia bercerita bahwa dia baru saja dirampok saat menunggu bus untuk pulang ke apartemen. Astaghfirullah.
Jadi, dari stadion Beira-Rio ke apartemen, kami harus naik bus kota dua kali, dan Clare dirampok saat berdiri menunggu bus kedua sekitar pukul 7 malam. Dia bilang, saat itu kebetulan jalanan sepi, hanya ada dirinya. Tiba-tiba seorang pria datang dan langsung menarik tasnya. Terjadi tarik-menarik, Clare berusaha keras mempertahankan tasnya karena selain dompet dan kartu kredit, passport-nya juga tersimpan di situ.
Clare sampai terjatuh karena tarikan keras si perampok, yang akhirnya berhasil merebut handphone miliknya. Untungnya, sehabis itu Clare bisa bangkit dan berlari, dan pas bus kedua muncul. Walaupun tasnya terselamatkan, namun Clare hanya bisa menangis sepanjang perjalanan pulang, karena akun bank dan nomor kontak kerabat dan keluarganya ada di HP yang dirampok itu.
Mengetahui musibah yang dialami Clare, tetangga di apartemen kami membantu menelepon polisi. Clare pun dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Pemilik apartemen membantu juga karena dia bisa berbahasa Inggris, sedangkan si polisi tidak. Saya menunggu di apartemen sendiri, sambil ikut menenangkan diri, karena saya harus menemui pengalaman yang tidak mengenakkan di hari pertama ini, walaupun itu dialami orang lain.
Saya harus lebih berhati-hati terutama saat bepergian sendirian, mengingat shift kerja yang membuat saya lebih sering pulang lama. Sementara bagi Clare, ini sungguh mengejutkan dan menyedihkan buat dirinya, mengingat ia pernah menjadi volunteer di Piala Dunia Putri di Jerman, dan juga panitia Piala Dunia 2010 di negaranya, Afrika Selatan. Baginya ini pengalaman pertama yang buruk selama terlibat di event-event olahraga besar internasional.
Training, Dikira Orang Brasil
Tibalah jadwal training buat saya. Tempatnya di volunteer center, masih di areal Estadio Beira-Rio. Saat berkenalan dengan teman-teman baru, mereka ternyata selalu mengira saya orang Brasil, kemungkinan besar karena warna kulit saya saya coklat dan rambut keriting. Tapi begitu melihat pada name tag tertulis INDONESIA, mereka malah merasa terkaget-kaget. Berhamburanlah pertanyaan dari mereka tentang seperti apa Indonesia dan segala macamnya. Menurut mereka, mengagumkan sekali ada orang Indonesia yang bisa menjadi panitia Piala Dunia. Dan saya sangat bangga menjadi orang Indonesia :)

Trainingnya sendiri menyenangkan. Selain sesi di dalam ruangan, kami juga dibawa berkeliling stadion sampai areal terluar, supaya dapat mengenali lokasi dengan baik. Kami juga diberi waktu bebas dan saya beserta teman-teman memanfaatkannya dengan masuk ke stadion. Stadion ini terlihat biasa saja dari luar karena masih dalam pengerjaan beberapa aspal, tapi ketika masuk ke dalam, suasananya beda dan bernuansa warna-warni indah.
Di Estadio Beira-Rio saya akan bertugas sebagai transport stadium volunteer, mengurusi akreditasi tiap kendaraan yang akan masuk ke areal stadion, seperti kendaraan tim peserta, FIFA, media dan broadcast, dan lain-lain, kecuali transportasi penonton. Tugas saya adalah memastikan mereka menurunkan tamu di tempat yang benar dan memarkirkan kendaraan di tempat yang benar pula. Tentu saja, setiap kendaraan itu harus memiliki tanda khusus yang mesti ditempelkan di kaca.
Jadi, boleh dibilang tugas utama saya di Brasil ini adalah sebagai… tukang parkir, hahahaaa. Tapi buat saya, apapun itu, yang penting adalah saya bisa mendapat pengalaman luar biasa yang takkan ternilai harganya, dan belum tentu bisa didapatkan oleh setiap orang.
Saya mulai tak sabar nih, untuk menunggu dan mengatur kedatangan bus rombongan Karim Benzema, Tim Cahill, Son Heung-min, Robin van Persie, dan Lionel Messi, karena negara mereka akan memainkan satu pertandingan grupnya di Estadio Beira-Rio. Duh, seneng deh.
Salam,
Vidyah Payapo
@vidyahpooh
(a2s/krs)